nusabali

Nyoman Wirata Respons Sajak Para Penyair Post Budaya Lewat Sketsa

Didedikasikan untuk Mahaguru Penyair Umbu Landu Paranggi dalam Peluncuran Buku 'Blengbong'

  • www.nusabali.com-nyoman-wirata-respons-sajak-para-penyair-post-budaya-lewat-sketsa

Pelukis Nyoman Wirata pun mengakui ada puisi dari seorang penyair di buku Blengbong yang cukup lama dikerjakan sketsanya. Maklum, puisi tersebut masuk ke wilayah mistik Bali, hingga Wirata perlu beberapa kali mengulang sketsanya

DENPASAR, NusaBali

Ada yang menarik dalam peluncuran buku kumpulan puisi berjudul ‘Blengbong’ yang didedikasikan untuk mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi, di halaman Gedung Kriya Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar, Selasa (25/5) malam. Pelukis I Nyoman Wirata, 72, membuat 60 lukisan sketsa rupa untuk merespons sajak-sajak dari 58 penyair Pos Budaya yang tertuang dalam buku Blengbong tersebut.

Karya 60 lukisan sketsarupa  tersebut dipamerkan Nyoman Wirata di dalam Gedung Kriya, Taman Budaya Provinsi Bali selama sehari, sejak pagi pukul 10.00 Wita hingga malam. Namun, pameran 60 lukisan sketsa karya Nyoman Wirata tersebut baru dibuka secara resmi Ni Putu Putri Suastini, seniwati multitalenta yang notabene istri Gubernur Bali Wayan Koster, seusai launching buku Belngbong, Selasa malam.

Putri Suastin Koster menyempatkan diri mengunjungi pameran sketsa rupa karya Nyoman Wirata, bersama undangan lainnya. Masing-masing karya sketsa yang dibuat memiliki makna tersendiri, sesuai dengan pemaknaan puisi yang direspons olah Nyoman Wirata.

Kepoada NusaBali, Nyoman Wirata mengatakan bahwa pembuatan 60 karya sketsa rupa tersebut merupakan keinginannya untuk ikut serta mendukung peluncuran buku Belngbong, yang disusun trio penyarir Ketut Syahruwardi Abbas, GM Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta.

Semula, trio Syahruwardi Abbas, GM Sukawidana, dan Jengki Sunarta sempat mengajak Nyoman Wirata ikut untuk menggarap buku kumpulan puisi Blengbong ini. Namun, karena pertimbangan kondisi kesehatan, pelukis berusia 72 tahun kelahiran, 19 Desember 1953 ini tidak mau dan meminta bikin karya skesta saja sebagai pendukung.

"Mereka (tim penyusun buku Blengbong) sempat menyampaikan lewat telepon, saya mau diajak mengerjakan buku dan ikut rapat untuk mempersiapkan buku ini. Tapi, karena kondisi saya yang tidak memungkinkan, saya katakan agar buku itu dikerjakan oleh mereka saja. Saya mengambil pekerjaan lain untuk mendukung penerbitan buku ini dengan membuat karya sketsa," papar Nyoman Wirata seusai acara malam itu.

Menurut Wirata, butuh waktu sekitar dua minggu untuk menyelesaikan 60 karya sketsa rupa tersebut. Diakuinya, membuat sketsa tidaklah terlalu sulit jika sudah menemukan visual dari maksud puisi atau sajak si penyair. Ada puisi yang mudah dibaca visualnya, ada pula yang sulit dicari bentuk visualnya.

Wirata mengaku pembuatan sketsanya itu bervariasi, tergantung seberapa kuat visual yang bisa ditangkap dari puisi yang akan direspons. Ada sketsa yang bisa selesai dalam waktu 3 menit, ada pula yang membutuhkan waktu seminggu dan mengulang sketsa hingga 5 kali.

"Yang membuat lama itu adalah menentukan fokus apa yang akan kita ambil dari puisi tersebut untuk dijadikan visual. Jadi, harus paham isi dan makna puisinya dulu. Ketika kita sudah ketemu makna puisi itu, paling lama 10 menit sketsanya sudah selesai," terang suami dari Ida Ayu Putu Alit Susrini ini.

Wirata pun mengakui ada salah satu puisi dari seorang penyair di buku Blengbong itu, yang paling lama dikerjakan sketsanya. Maklum, puisi tersebut masuk ke wilayah mistik Bali. Wirata perlu beberapa kali untuk mengulang sketsa.

"Puisinya sudah masuk ke wilayah mistik Bali. Itu susah dan harus hati-hati sekali. Ketika sudah menemukan visualnya, harus juga memikirkan bagaimana efek dari sketsa itu agar menyentuh unsur-unsur magisnya," beber pensiunan Guru Seni Budaya SMPN 5 Denpasar ini.

Wirata menyebutkan, pameran 60 karya sketsa rupa untuk merespons 58 penyair Pos Budaya dalam buku Blengbong tersebut hanya digelar sehari. Selanjutnya, masing-masing penyair yang namanya tercantum dalam buku Blengbong berhak memiliki sketsa rupa karya Wirata tersebut.

"Itu semua gratis untuk para penyair. Kebanyakan dari mereka itu juga saya anggap teman seperjalanan dalam belajar sastra. Bagi penyair yang sudah meninggal, karya sektsanya nanti akan diserahkan ke anak atau keluarganya," terang pelukis asal Banjar Titih, Kelurahan Dauh Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Barat ini.

Sementara, dalam peluncuran buku Blengbong malam itu Wirata juga sekaligus memberikan penghormatan kepada mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi. Jika menilik dari sejarah pertemuannya dengan Umbu, Wirata termasuk murid tertua dari sang mahaguru berjuluk Presiden Malioboro itu. Pada masa-masa Umbu baru pindah ke Bali tahun 1979 dan mengasuh rubrik sastra di Bali Post, karya sajak Wirata termasuk yang pertama dimuat kala itu.

Bahkan, jauh sebelum Umbu merancang tahapan kelas ‘Pawai’, ‘Kompetisi’, ‘Kompetisi Promosi’, hingga ‘Pos Budaya’ untuk menggembleng potensi kepenyairan di Bali, Wirata sudah menulis puisi. "Waktu itu, peralihan dari redaksi dari yang sebelumnya dipegang Pak Made Taro, kemudian dipegang Umbu," kenang Wirata.

Menurut Wirata, Umbu memberinya inspirasi dan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan. Umbu yang dikenal orang sangat misterius, namun bagi Wiurata  adalah pribadi yang hangat, ramah, dan perhatian. Bahkan, tak jarang Wirata berkeluh kesah tentang kegundahannya menjadi guru kepada Umbu. Wirata pun mengaku mengadopsi metode atau cara mengajar Umbu yang diterapkannya dalam mendidik anak-anak di sekolah.

"Kadang-kadang, Umbu berkunjung ke rumah. Kami pun menyiapkan makanan kesukaannya seperti ikan goreng besar, sayur gonda, dan kopi pekat tanpa gula. Orang lain yang jauh-jauh datang untuk menemuinya belum tentu diterima oleh Umbu, sedangkan kami dikunjungi. Itulah yang membuat saya merasa Umbu seperti saudara, teman, dan orangtua bagi saya," terang pelukis yang menyelesaikan pendidikan formal terakhir di SSRI Denpasar ini.

Sembari menjadi guru dan melukis kala itu, Wirata juga aktif bersastra seperti membuat sajak-sajak. Namanya juga menjadi satu dari 58 penyair yang tercantum dalam buku Blengbong yang disusun trio penyair Syahruwardi Abbas, GM Sukawidana, dan Jengki Sunarta, pentolan Jatijagat Kampung Puisi Bali.

Versi Syahruwardi Abbas, buku Blengbong dikerjakan selama hampir 6 bulan lamanya. Kata Blengbong berarti hujan yang amat lebat di tengah laut. Jika nelayan menghadapi blengbong di tengah laut, mereka hanya memiliki dua pilihan: mengalah kembali ke pantai atau melanjutkan pelayaran dengan risiko berjumpa hujan badai yang dahsyat. Bagi yang mampu melaluinya, dia akan memiliki kemungkinan untuk bertemu langit yang cerah setelah badai dan ikan-ikan yang mudah ditangkap karena kelaparan.

“Sehingga kami mengambil judul ini dengan inspirasi makna yang sama seperti blengbong. Dalam konteks kepenyairan, blengbong bisa mengacu pada kegelisahan bathin penyair saat melahirkan karya-karya kreatifnya. Ketika Umbu membuat kawah Candradimuka dengan berbagai tingkatan kompetisi, bagi yang tembus sampai Pos Budaya seumpama telah melewati blengbong itu,” papar penyair asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini. *ind

Komentar