nusabali

MUTIARA WEDA: Kehendakku adalah Kehendak-Nya

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kehendakku-adalah-kehendak-nya

śrīvasiṣṭha uvāca, anantasyātmatattvasya sarvaśaktermahātmanaḥ, saṃkalpaśakti racitaṃ yadrūpaṃ tanmano viduḥ, (Yoga Vasistha, 3.96.3)

Vasishtha menjawab: Sifat pikiran diketahui terdiri dari sifat Kehendak, yang merupakan sifat dari kekuatan Jiwa Yang Maha Tinggi yang tak terbatas dan maha kuasa (yaitu pikiran adalah prinsip kehendak jiwa).

YANG mana pikiran? Pemahaman, egoisme, intelektualitas, tindakan, imajinasi, ingatan, ketertahanan, keinginan, ketidaktahuan, pengerahan tenaga, dan ingatan, semuanya merupakan sinonim dari pikiran (mano buddhirahaṃkāraścittaṃ karmātha kalpanā saṃsṛtirvāsanā vidyā prayatnaḥ smṛtireva ca – 3.96.13). Kekuatan pikiran membentuk pikiran itu sendiri. Nature dari kekuatan pikiran itu adalah kehendak atma yang maha tinggi, kata Maharsi Vasistha. Makanya, dalam paham Saiva monis ini disebut cittam atma. Dalam konteks kehidupan empirik, kesadaran (jiva) yang menjadi pondasi kita adalah pikiran. Kesadaran pikiran adalah cermin dari kesadaran atman (Brahman, pure consciousness).

Tuhan menciptakan alam semesta atas kehendak-Nya. Dengan cara yang sama, manusia atas kehendak dirinya bisa melakukan banyak hal. Sifat pikiran adalah sifat dari kehendak jiva tertinggi. Apakah sama antara kehendak pikiran dan kehendak Yang Tertinggi? Dalam konteks ‘kehendak’ semuanya sama, tetapi dalam konteks ruang lingkup, cakupan, kehendak pikiran terbatas, sementara kehendak Sang Tertinggi tanpa batas. Hal ini bisa diibaratkan seperti lautan dan setetes air. Dalam konteks esensi, baik lautan maupun setetes air adalah H2O yang sama, tetapi dalam konteks cakupan, lautan sifatnya tak terbatas. 

Apapun kehendak yang ada pada pikiran, sejatinya refleksi dari kekuatan Brahman. Hanya saja, kehendak pikiran terbatas. Keterbatasan inilah yang menyebabkan pikiran selalu bergerak, dan seluruh gerakannya (disadari atau tidak) mengarah pada sifat nature-nya yang Tak Terbatas itu. Seperti misalnya, anandam (kebahagiaan tertinggi) adalah sifat dari Kesadaran tanpa batas (Brahman). Maka, oleh karena pikiran adalah sifat dari Yang Tak Terbatas tersebut, kebahagiaan juga menjadi bagian dari pikiran. Hanya saja karena kekuatannya terbatas, kehendak pikiran berupaya mengarah pada kebahagiaan yang tak terbatas itu. Sehingga, secara naluri, apapun langkah orang ambil, semua itu ditujukan pada kebahagiaan abadi. 

Keinginan, niat, dan hal-hal sejenisnya adalah refleksi dari Sang Sadar tertinggi. Itulah mengapa, ketika tubuh kita berkembang dengan baik, berbagai piranti kelengkapannya juga tumbuh dengan baik. Secara alami pikiran dan kekuatannya hadir. Kita tidak punya kuasa untuk tidak berpikir, kita tidak punya kuasa untuk tidak memiliki keinginan, kita tidak punya kuasa untuk tidak berimajinasi. Ini adalah refleksi yang bisa ditangkap oleh otak kita. Semua itu adalah fungsi yang telah laten bersama keberadaan kita. Hanya saja, pikiran selalu disesatkan oleh banyak faktor (klesas), sehingga jalannya tidak mulus dan tidak bisa langsung mengarah pada kebahagiaan abadi. Selamanya kita berjalan berputar-putar (samsara) karena disesatkan oleh maya, avidya, asmita, dan kekotoran batin lainnya. 

Oleh karenanya, ketika disarankan untuk tidak berpikir, untuk mengendalikan keinginan, untuk menekan imajinasi dan lainnya tampak mustahil, sebab sepanjang otak kita sehat, refleksi atas kekuatan dari Hyang Tertinggi itu selalu hadir. Hanya saja, karena semua itu adalah refleksi, keberadaannya menjadi ‘sebatas penampakan’. Sehingga, peran yang kita mainkan dalam hidup ini adalah untuk mengenal bahwa kekuatan kehendak sejati kita bukan lagi sekadar refleksi, melainkan yang asli. Proses kita hidup tidak lain adalah untuk mengenali bahwa diri kita bukanlah refleksi, melainkan keberadaan aslinya, kehendak aslinya, yakni atman itu sendiri, brahman itu sendiri. 

Bagaimana caranya? Tidak ada cara lain selain menggunakan piranti itu. Apa yang terefleksi mesti dijadikan alat, tidak ada pilihan lain. Jika pikiran memiliki refleksi kekuatan kriya, maka itu yang digunakan, dikenal dengan kriya yoga. Jika pikiran memiliki kekuatan pengetahuan, maka kekuatan ini dijadikan sebagai jalan (dikenal sakti upaya atau jnana yoga). Jika pikiran memiliki kekuatan kehendak, maka kehendaklah yang dijadikan yoga, disebut iccha yoga. Bagaimana menggunakannya? Berbagai teks telah menunjukkannya dengan seribu satu cara. Namun, apapun jenis cara itu, tujuannya adalah satu, yakni untuk melampaui pikiran sebagai refleksi Kehendak Yang Tertinggi itu ‘menuju ke’ atau ‘menjadi’ Yang Tak Terbatas itu sendiri. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar