nusabali

Tak Sekadar Komunitas, Seni Mesti Berkualitas

Ratusan Lembaga Seni di Bali Telah Disertifikasi

  • www.nusabali.com-tak-sekadar-komunitas-seni-mesti-berkualitas

Seniman Wardana berharap dengan adanya sertifikasi lembaga seni juga dibarengi dengan kucuran anggaran dari pemerintah untuk membantu eksistensi para seniman di Bali. Karena selama ini sangat jarang ada seniman di Bali yang hanya menggantungkan hidupnya dari kegiatan berkesenian.

DENPASAR, NusaBali
Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali telah membuka pendaftaran Standarisasi dan Sertifikasi Lembaga Seni tahun 2024. Sejak tahun 2021, Disbud telah menyertifikasi 598 sanggar, sekaa, yayasan, dan komunitas berkegiatan seni di Provinsi Bali. Harapannya, seni tak hanya diwadahi oleh komunitas, namun juga harus berkualitas.

Kepala Disbud Bali I Gede Arya Sugiartha mengungkapkan standarisasi dan sertifikasi merupakan amanat Perda No : 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Standar ini untuk mengukur tingkat kemampuan sanggar, sekaa, yayasan, dan komunitas seni di Bali dalam pengendalian mutu, pengelolaan, dan produktivitas. Tujuan pokok standarisasi adalah untuk mengetahui kualitas kinerja sanggar, sekaa, yayasan dan komunitas seni dalam menjalankan aktivitasnya di masyarakat, serta untuk menemukan dimensi kinerja pengelolaan dan produktivitas lembaga seni yang memerlukan perbaikan maupun pembinaan.

“Kami beri arahan bagaimana membentuk sanggar yang baik, supaya mengedepankan kualitas tidak asal berdiri,” ujar Arya Sugiartha kepada NusaBali, Senin (22/1).

Foto: Kadisbud Bali I Gede Arya Sugiartha. – SURYADI

Dia menuturkan, sertifikasi ini nantinya akan berguna ketika lembaga seni yang bersangkutan mengajukan bantuan hibah maupun melakukan pertunjukan seni dalam event-event seperti Pesta Kesenian Bali. Sertifikasi berguna dalam pemilihan jenis kesenian, kompetensi SDM, dalam kaitan dengan pemilihan lembaga seni terkait dengan penyelenggaraan pertunjukan (misalnya untuk pertemuan, tamu negara dan lain-lain).

Jelasnya, lembaga seni yang mendaftarkan diri akan melewati tahap penilaian dengan borang yang berisikan seperangkat pertanyaan, baik tertutup maupun terbuka. Setiap jawaban terhadap setiap butir pertanyaan yang diajukan diberi nilai dengan rentang angka yang telah ditentukan.

Jika lolos penilaian, sebut Prof Sugiartha, Disbud Bali akan mengeluarkan sertifikat menurut tiga kategori yakni Parama Patram Budaya (untuk kategori unggul), Madyama Patram Budaya (menengah), dan Pratama Patram Budaya (pemula). “Ada tiga kategori, tergantung besarnya organisasi dan fasilitas, kerjasama, dan rutinitasnya,” kata mantan Rektor ISI Denpasar ini. Dia menambahkan lembaga seni dapat naik kategori jika ada perbaikan kualitas setiap tahunnya.

Arya Sugiartha menekankan standarisasi tidak akan mengekang kreativitas lembaga seni yang bersangkutan. Menurutnya standarisasi justru akan mendorong lembaga seni tidak asal-asalan menjalankan organisasinya. “Yang kami standarisasi adalah organisasinya dan keseriusan untuk menekankan kualitas.

Tidak ada membatasi gerak justru diberikan hibah peralatan dan pergelaran dibiayai,” jelas Arya Sugiartha.

Menurutnya, masih dijumpai lembaga seni yang kualitas organisasinya memprihatinkan. Dengan sertifikasi ini masyarakat dapat bergabung dengan lembaga-lembaga yang jelas kualitasnya karena telah tersertifikasi. “Sanggar tari misalnya, kurikulumnya jelas, bagus tidak guru-gurunya, bagaimana metodenya. Jadi yang distandarisasi bukan seninya tapi lembaganya,” tandas Arya Sugiartha.



Standarisasi dan sertifikasi lembaga seni di Bali mendapat apresiasi dari pendiri Sanggar Qakdanjur I Made Agus Wardana alias Bli Ciaaattt. Menurut pria yang lama menetap sebagai seniman di Belgia ini, program tersebut merupakan bentuk perhatian pemerintah kepada para seniman di Bali.

“Artinya, seniman mendapat perhatian dari pemerintah. Kalau memang sebagai pemajuan kebudaya kita memang harus bersinergi dengan pemerintah,” ujar pria asal Banjar Pegok, Kelurahan Sesetan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, ini.

Wardana sendiri mendirikan Sanggar Qakdanjur di Banjar Pegok pada 2019 usai melanglang buana di Eropa. Wardana belum berencana mendaftarkan Sanggar Qakdanjur mengikuti sertifikasi. Karena dia merasa sanggar yang didirikannya masih terlalu muda. Hanya saja dia memastikan sanggarnya telah memiliki kelengkapan administrasi dan pengalaman pentas yang cukup banyak termasuk di ajang Pesta Kesenian Bali.


Dia juga mengusulkan agar tiga kategori lembaga seni yang sudah tersertifikasi sebaiknya dihapuskan, sehingga seluruh lembaga seni yang sudah memiliki sertifikat statusnya setara.

Menurutnya, pengategorian tersebut tidak relevan, karena bisa saja sanggar seni yang berskala kecil (pemula). Namun memiliki kualitas dan kuantitas kesenian yang tidak kalah dengan sanggar atau lembaga seni dengan kategori di atasnya.

“Ada sedikit orangnya ternyata lebih bagus dan lebih banyak pertunjukannya. Usulannya kalau bisa satu saja itu lebih baik,” ujar seniman yang dikenal dengan karyanya Gamut alias Gamelan Mulut.


Wardana mengungkapkan persoalan pendanaan masih menjadi tantangan utama sanggar seni yang baru berdiri seperti Qakdanjur. Memiliki tempat latihan yang luas dan representatif, termasuk peralatan musik yang lengkap, adalah harapan besar. Untuk mengakalinya setiap kali latihan jelang tampil di ajang-ajang tertentu, Wardana harus menyewa tempat latihan di luar sanggar kecilnya.

Seniman Wardana berharap dengan adanya sertifikasi lembaga seni juga dibarengi dengan kucuran anggaran dari pemerintah untuk membantu eksistensi para seniman di Bali. Karena selama ini sangat jarang ada seniman di Bali yang hanya menggantungkan hidupnya dari kegiatan berkesenian. Masing-masing pasti memiliki pekerjaan lain sebagai sumber penghasilan utama. “Kalau bisa setelah sertifikasi ada subsidi agar para seniman semakin merasa diperhatikan,” tandasnya.7a

Komentar