nusabali

Piodalan di Pura Kahyangan Kesiman Dirangkaikan Karya Padudusan Alit

  • www.nusabali.com-piodalan-di-pura-kahyangan-kesiman-dirangkaikan-karya-padudusan-alit
  • www.nusabali.com-piodalan-di-pura-kahyangan-kesiman-dirangkaikan-karya-padudusan-alit

DENPASAR, NusaBali.com - Piodalan di Pura Kahyangan Kesiman, Denpasar Timur, pada Anggara kasih Tambir, Selasa (26/9/2023), terasa berbeda dengan piodalan sebelumnya, karena dilangsungkan juga Karya Padudusan Alit.

“Pada pelaksanaan enam bulan lalu, hanya dijalankan tradisi peed banten saja sesuai dengan awig-awig. Jadi, tidak dilaksanakan lunga, melasti, dll,” kata I Ketut Mudita selaku prajuru Gumi Kebonkuri dan Ketua Pecalang Gumi Kebonkuri.

Pada prosesi karya ini, Ida Sesuhunan Duwe Banjar Singgi-Sanur dari arah selatan menuju utara (wilayah Kebonkuri) berbarengan lunga (berangkat) ke Pura Kahyangan bersamaan dengan peed banten yang dijalankan oleh istri banjar (ibu-ibu PKK se-Gumi Kebonkuri Kesiman) yang berjumlah kurang lebih ratusan barisan, bandrang, canang mamas, gong batel, pengiring dan Ida Sesuhunan Gumi Kebonkuri, dll.

Sesampainya di Pura Kahyangan dilaksanakan nedunin Ratu Agung, setelah itu para pangempon pura yang mekayangan di Pura Kahyangan Kesiman seperti Pura Tlugtug, Pura Kahyangan Bajang, Kahyangan Bajing, Pura Mas Tulan melasti ke Pura Musen (pura yang terletak di Sungai Ayung/Tukad Balitek). Setelah Ida Sesuhunan Melinggih lalu berlangsunglah piodalan dan Karya Padudusan Alit.

Perbedaan dengan piodalan sebelumnya adalah adanya prosesi pemilihan mangku-mangku di masing-masing pura yang ditempati /diwarisi oleh leluhurnya. Ngadegang mangku anyar ini dilakukan dengan memilih calon-calon mangku yang memiliki sradha dan bakti yang tinggi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tradisi mepeed banten yang dilakukan oleh empat banjar (Gumi Kebonkuri) Kesiman ini merupakan tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tradisi ini merupakan bentuk persatuan dan pemersatu masyarakat Gumi Kebonkuri.

Pada zaman dulu, sempat terjadi kurang harminisnya di wilayah Gumi Kebonkuri. Untuk menunjukkan persatuan dan tidak ada perpecahan, keempat banjar ini mengusung gebogan setinggi 1-2 meter.

Seiring berjalannya waktu, masing-masing banjar pun menjalankan tradisinya masing-masing sehingga dari kejadikan tersebut dikenallah istilah peed banten yang dilaksanakan oleh Gumi Kebonkuri Kesiman sebagai bentuk persatuan.

Sementara itu I Wayan Wiranata selaku panglingsir, penasehat Gumi Kebonkuri Kesiman sekaligus Ketua Panitia Piodalan mengingatkan agar  tradisi-tradisi warisan para leluhur harus diteruskan oleh generasi berikutnya.

“Tradisi peed banten ini agar tetap dijaga dan dilestarikan serta diharapkan tidak dicampur-campur dengan budaya ataupun aliran lainnya. Zaman boleh berkembang dan berubah, namun tradisi harus dilestarikan dan dijaga,” pesanya. 

Karya Padudusan Alit ini disebut dalam rangka memunculkan ‘mangku baru’. Apalagi ada ikatan antara Pura Kahyangan Kesiman, seperti Pura Padang Kerta, Padang Gambuh, Pura Tlugtug, Pura Manik Aji dll. 

Setelah dilakukan upacara pengesahan (mejaya-jaya) pada Selasa (26/9/2023), semua pemangku yang terpilih akan mendapatkan tugas dan penempatan masing-masing. 

Tradisi mepeed banten memiliki makna filosofis yang mendalam. Secara niskala, tradisi ini merupakan persembahan yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan.

Secara skala, tradisi ini merupakan bentuk persatuan dan pemersatu masyarakat Gumi Kebonkuri.

Piodalan di Pura Kahyangan Kesiman akan menjadi momen yang penting bagi masyarakat Gumi Kebonkuri Kesiman. Piodalan ini akan menjadi ajang untuk melestarikan tradisi mepeed banten yang merupakan tradisi persatuan dan pemersatu masyarakat Gumi Kebonkuri. *m03

Komentar