nusabali

Hindari Salah Kaprah 'Dudukan', Desa Adat Diminta Transparan dan Akuntabel

  • www.nusabali.com-hindari-salah-kaprah-dudukan-desa-adat-diminta-transparan-dan-akuntabel

DENPASAR, NusaBali.com - Dudukan desa adat dinyatakan sah dan sudah memiliki landasan hukum positif dan hukum adat berupa pararem. Dalam praktiknya, desa adat diminta transparan melaksanakan dudukan dan akuntabel soal pemanfaatannya.

Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali IGAK Kartika Jaya Seputra menjelaskan, dudukan ini diatur dalam Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Regulasi ini diturunkan dalam bentuk Pergub Bali Nomor 55 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Pergub Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali.

"Pertama desa adat wajib memiliki pararem sebagai dasar hukum (adat) dudukan. Dalam melakukan dudukan atau kontribusi wajib dari krama tamiu dan tamiu ini telah diberikan landasan hukum berupa perda dan pergub," tutur Kartika Jaya dalam diskusi 'Korelasi Dudukan Terhadap Pelayanan Adat' pada Kamis (22/6/2023).

Diskusi yang difasilitasi Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bali ini menyebut dua regulasi itu menjelaskan, dudukan masuk sebagai pendapatan lain-lain desa yang sah. Di mana, dudukan harus memiliki standar sesuai prinsip keadilan, kemanfaatan, kepatutan, juga perundang-undangan dan dikumpulkan serta digunakan sesuai tata cara yang diatur melalui pararem.

Mengapa dudukan ini diperlukan? Panyarikan Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali I Ketut Sumarta menuturkan, dudukan sebagai bentuk 'royalti' atas upaya krama desa adat dalam mewujudkan kasukretan jagat. Kasukretan jagat ini memerlukan usaha yang tidak mudah dan tidak murah. Sebab, melibatkan upaya niskala berupa ritual dan usaha-usaha sakala.

"Upaya mewujudkan kasukretan jagat ini sudah dilakukan selama 11 abad oleh krama desa adat di Bali. Sampai akhirnya investasi masuk, ekonomi meningkat, dan pendatang mulai masuk ke Bali. Sudah seharusnya (mereka) terpanggil berkontribusi dalam mewujudkan kasukretan jagat yang juga ikut dinikmati," ujar Sumarta dalam acara diskusi itu.

Yang dimaksud kasukretan jagat adalah ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian sakala dan niskala. Kata Sumarta, hal ini tidak ada serta merta melainkan usaha yang dilakukan selama berabad-abad dalam wadah kegiatan desa adat. Di samping itu, krama adat yang mipil atau teregistrasi dalam buku besar adat pun memiliki kewajiban serupa berbentuk paturunan (urunan).

"Siapa pun yang menikmati kasukertan yang diciptakan itu maka wajib berkontribusi. Kalau tidak memberikan kontribusi disebut 'mamirat' atau berhutang kepada tanah adat di mana orang itu berada," beber Sumarta.

Meskipun demikian, baik Sumarta dan Kartika Jaya sama-sama mendorong desa adat untuk transparan dan akuntabel soal pengumpulan dan penggunaan dudukan. Apabila sudah memiliki pararem tentang dudukan, desa adat diminta menyosialisasikan isi pararem itu kepada krama tamiu dan tamiu. Kemudian dijabarkan pemanfaatan dari dudukan itu.

Apabila wilayah desa adat sangat luas dan jumlah pendatang sangat banyak seperti Desa Adat Denpasar, Desa Adat Kerobokan, dan Desa Adat Kesiman, sosialisasi atau paruman bersama krama tamiu dan tamiu bisa dilaksanakan lewat sistem perwakilan. Misalnya Ketua RT sebuah perumahan mewakilkan penghuni lain di perumahan bersangkutan.

"Sudah ada desa adat yang melakukan sosialisasi soal pararem dudukan. Ada yang bahkan menaikkan standar dengan melakukan paruman menyepakati besaran dudukan dan kapan dudukan itu dikumpulkan secara reguler. Dudukan ini penting karena selain kontribusi juga untuk mengetahui siapa saja orang yang masuk dan keluar wilayah desa adat, kerjaannya apa," imbuh Sumarta.

Sementara itu, Kartika Jaya selaku kepala organisasi perangkat daerah yang mengurusi desa adat mendorong desa adat memiliki pararem. Setiap pararem yang dibuat secara otonom oleh desa adat diharapkan dikonsultasikan dengan MDA Provinsi Bali untuk diverifikasi agar tidak menyimpang khususnya dari hukum positif.

Kemudian, diregistrasikan pararem yang sudah diverifikasi ke Dinas PMA. Baru kemudian diberlakukan. Dengan begini, pemerintah juga bisa memberikan pengayoman apabila terjadi isu di desa adat tertentu. Selain itu, Dinas PMA dikatakan akan menggandeng Inspektorat Provinsi Bali guna memastikan manajemen desa adat dilakukan secara profesional dan akuntabel.

"Berdasarkan arahan dari KPK, dudukan ini harus ada standar jenis dan besarannya. Agar ada pula aturan bagaimana dudukan ini digunakan. Untuk itu, kami juga akan bekerja sama dengan Inspektorat Provinsi Bali. Tidak bermaksud mengintervensi desa adat namun guna menciptakan kasukertan dan membuat manajemen desa adat profesional dan akuntabel," tegas Kartika Jaya.

Sumarta selaku Penyarikan Agung MDA Bali pun membuka manfaat dari dudukan. Provinsi Bali disebut terdiri dari wilayah adat di mana pun seseorang berada. Apabila krama tamiu dan tamiu mengalami musibah seperti Panca Baya, desa adat wajib mengayomi.

Krama tamiu dan tamiu yang sudah tercakup dudukan berhak mendapat pertolongan dari warga adat. Misalnya kulkul bulus tanda mara bahaya bisa dibunyikan untuk krama tamiu dan tamiu di wilayah adat bersangkutan. Di lain sisi, ada pula jaminan keamanan dan pengayoman niskala guna memastikan wilayah desa adat sukreta. *rat

Komentar