nusabali

Sekaa Wayang Wong Cilik Dibentuk dengan Konsep Peduli Lingkungan

Terbentuk Saat Pandemi untuk Regenerasi dan Pelestarian

  • www.nusabali.com-sekaa-wayang-wong-cilik-dibentuk-dengan-konsep-peduli-lingkungan

Anak-anak Sanggar Sispriling belajar menari wayang wong secara gratis, mereka cukup membawa sampah plastik untuk Bank Sampah Tejakula Olah Persada.

SINGARAJA, NusaBali
Belasan  anak-anak dengan pakaian dan riasan wajah menggambarkan pasukan prajurit perlahan memasuki panggung wantilan Kantor Perbekel Desa/Kecamatan Tejakula, Sabtu (8/4) siang. Mereka menampilkan Tari Wayang Wong Tejakula di hadapan Gubernur Bali Wayan Koster dan seluruh undangan acara bakti sosial dengan sangat percaya diri.

Sebagian anak tampak menari sambil berjingkrak mengikuti seorang penari dengan riasan yang paling berbeda. Tidak lama rombongan penari lainnya bergantian masuk ke panggung dengan pakaian dominan hitam.

Kedua pasukan prajurit itu tidak lama kemudian saling serang menceritakan peristiwa perang. Mereka sedang membawakan lakon Kartika Laga dari Epos Ramayana yang dibawakan Wayang Wong khas Tejakula. Sekaa wayang wong cilik ini tergabung dalam Sanggar Siswa Pemerhati Lingkungan (Sispriling) Tejakula.

Kesenian Wayang Wong Tejakula merupakan seni sakral di Desa/Kecamatan Tejakula yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh UNESCO. Namun di beberapa kesempatan sekaa wayang wong juga ditampilkan sebagai pertunjukan seni. Seperti di Pesta Kesenian Bali (PKB) dan event-event khusus lainnya.

Sekaa wayang wong cilik ini diinisiasi Ketut Eta Suatara, yang juga penari Wayang Wong. Inisiatifnya bermula saat melihat antusiasme anak-anak di desa saat melihat pementasan wayang wong setiap kali piodalan di pura desa. Lalu saat Pandemi Covid-19 dia memulainya dengan mengajarkan dasar-dasar tarian pada anak dan keponakannya.

“Setahun lalu dilihat sama pak camat dan diapresiasi. Kemudian difasilitasi tempat latihan akhirnya setahun lalu anak-anak yang ikut semakin banyak dari 10 jadi 30, sekarang ada 43 orang anak,” ucap Eta. Dia pun mengaku antusiasme anak-anak untuk belajar menari wayang wong di luar ekspektasi. Sebab rata-rata untuk regenerasi kesenian klasik, jarang diminati anak-anak zaman sekarang. Namun untuk menjaring penari, Eta dan dua pelatih lainnya tidak melihat dari bakat dan kemampuan menari, terpenting adalah minat. Mereka pada awal pengenalan pakem tari seluruhnya berpijak dari pakem lakon pasukan kera.

Selanjutnya dari dasar tari wayang wong ini kemudian akan terlihat bakat-bakat anak yang kemudian disesuaikan dengan karakter apa yang cocok dibawakan oleh masing-masing anak. Sebagai sekaa wayang wong perintis dan regenerasi pelestarian budaya, Eta dan dua pelatih lainnya tidak terlalu kaku pada pakem. Terutama dalam penggunaan bahasa dalam beberapa percakapan. Biasanya dalam penari wayang wong wajib menguasai percakapan dalam lakon yang menggunakan bahasa kawi.

“Kalau untuk anak-anak kami campur bahasanya pakai Bahasa Bali halus dan Bahasa Indonesia juga, karena baru biar tidak terlalu berat anak-anak belajarnya,” jelas dia.

Sanggar wayang wong cilik yang baru seumur jagung ini pun masih memiliki keterbatasan. Terutama dari pakaian tari dan pementasan. Saat tampil Sabtu lalu, penari cilik belum menggunakan topeng wayang wong dan masih menggunakan pakaian seadanya. Hal tersebut karena keterbatasan anggaran. “Karena kami baru jadi belum ada anggaran cukup. Kemarin kami tayangan satu tapel (topeng) empat ratus sampai lima ratus ribu. Kalau satu stel dengan pakaian sampai satu jutaan. Itu baru satu penari. Kalau tapel dewasa itu disakralkan disimpan di pura hanya keluar di waktu-waktu tertentu saja,” ungkapnya.

Sebab anak-anak yang tergabung dalam sanggar Sispriling ini belajar menari wayang wong dengan gratis. Mereka cukup membawa sampah plastik yang tidak ditentukan banyaknya kepada Bank Sampah Tejakula Olah Persada (TOP). Mereka membawa sampah plastik saat akan latihan menari pada Hari Sabtu dan Minggu. Di tempat yang sama, Gubernur Wayan Koster dalam sambutan memberikan apresiasi kepada anak-anak di Desa Tejakula yang sangat semangat melestarikan budaya. “Ini pertama kalinya saya melihat anak-anak menari Wayang Wong. Membanggakan sekali. Mudah-mudahan regenerasi seni ini terjaga dengan baik,” ucap Koster. *k23

Komentar