Tegal Bangsal, Tukang Cukai, dan Karang Cina
Kisah Desa Adat Cucukan, Desa Medahan, Gianyar
Pesona Tegal Bangsal ini menyebabkan salah satu keturunan Raja Gianyar, Ida I Dewa Manggis Jorog, pada zamannya sering datang ke Cucukan atau Tegal Bangsal.
DENPASAR, NusaBali
DESA Adat Cucukan, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, merupakan salah satu desa adat di pesisir selatan Gianyar. Sebagaimana kampung pesisir, Cucukan memang terletak di pinggir pantai yakni Pantai Cucukan. Nama Cucukan sendiri diperkirakan berasal dari kata ‘tukang cukai’ atau juru pungut cukai untuk warga yang memakai sampan dan jukung di pantai.
Hal tersebut bertalian keberadaan Pantai Cucukan pada masa lampau yang diyakini pernah sebagai pelabuhan. “Sebelum Cucukan, wilayah ini Bernama Tegal Bangsal ,” ujar Bendesa Adat Cucukan Ida Bagus Putu Arta,59, Jumat (13/8).
Nama ‘Tegal Bangsal’ diperkirakan terkait keberadaan bentuk lokasi sekitar. Karena wilayah ini berbentuk atau menyerupai bangsal atau bangsel atau lekukan/teluk. Pemakaian kata ‘bangsal’ bisa ditemui pada pembuatan katik (tusuk) sate untuk kepentingan upakara. “Gaenang dik bangsel katike” (buatkan sedikit lekukan pada tusuk sate). Namun bangsal juga berarti barak atau camp.
Secara geografis Pantai Cucukan memang membentuk teluk. Secara kasat mata memang terlihat ada garis pantai lurus. Namun agak ke tengah ada barisan karang yang berfungsi memecah gelombang dan ombak secara alami sebelum mencapai bibir pantai. Karena itu pula arus perairan di sekitar Cucukan relatif tenang. Makanya masuk akal pernah menjadi bangsal atau pelabuhan pada masa lalu.
Di wilayah ini juga ada cerita rakyat tentang ‘karang Cina’ dan kuburan Cina. Dua hal ini menunjukkan wilayah Cucukan pernah jadi pelabuhan. “Itu menunjukkan pernah ada pemukiman warga Cina di sini,” kata Gus Aji Putu Arta.
Menurutnya, pesona Tegal Bangsal ini menyebabkan salah satu keturunan Raja Gianyar, Ida I Dewa Manggis Jorog, pada zamannya sering datang ke Cucukan atau Tegal Bangsal. “Karena Dewa Manggis Jorog punya hobi memancing,” lanjut Gus Aji Putu Arta. Sampai-sampai karena sering ke Tegal Bangsal, I Dewa Manggis Jorog membangun puri (pesanggrahan) di Cucukan.
Nah, dalam perjalanan selanjutnya, terjadi peristiwa niskala. Ketika itu ada pawisik (wangsit) yang menyebutkan akan terjadi musibah banjir bandang. Merujuk pawisik, Tegal Bangsal termasuk yang akan dilanda musibah banjir bandang. Wangsit atau pamuwus itu membuat suasana mencekam. Warga ketakutan. Khawatir musibah menimpa, banyak warga Tegal Bangsal yang rarud (mengungsi) ke tempat lain.
Dari sekian banyak yang mengungsi, hanya 7 KK yang masih bertahan di Tegal Bangsal. Salah satunya diantaranya tukang cukai atau pajak sampan/jukung.
Banjir besar sebagaimana pamuwus memang benar terjadi. Namun banjir tak sampai menimpa Tegal Bangsal. Walau air meluap, namun alur Tukad Udang di sebelah timur Cucukan cukup menampung banjir bandang. Tidak sampai menimpa warga Tegal Bangsal yang masih bertahan ketika itu. “Belakangan dari tukang cukai itulah, lama kelamaan tempat ini kemudian dikenal menjadi Cucukan sampai sekarang,” terang IBP Arta.
Sebagai kampung pesisir, abrasi merupakan salah satu persoalan yang mesti mendapat penanganan serius. Karena itu Gus Aji Putu Arta, berterimakasih dengan pembuatan tanggul pengamanan pantai di Cucukan oleh pemerintah. Dengan pembuatan tanggul, ancaman langsung abrasi bisa tertanggulangi atau ditahan. “Kalau tidak abrasi tentu kian cepat dan semakin parah,” ujarnya.
Hanya belakangan beberapa batu tanggul terlepas dari posisinya. Dia berharap batu yang terlepas itu mendapat penanganan dari pemerintah. Karena jika tidak dipasang kembali, khawatir batu lain akan menyusul lepas. “Itu seperti jeruk dalam keranjang tumpah mabrarakan (berserakan,Red),” ujar Gus Aji Putu Arta.*nata
Komentar