nusabali

4 Penabuh Cilik Mainkan Gamelan Selonding di Denfest

  • www.nusabali.com-4-penabuh-cilik-mainkan-gamelan-selonding-di-denfest

Ajang Denpasar Festival ke-9 tahun 2016 tidak hanya menyediakan ruang untuk kreasi musik dan kesenian modern.

DENPASAR, NusaBali

Kota dengan slogan Denpasar berwawasan budaya itu, juga menampilkan sejumlah kesenian tradisional yang bisa dinikmati sembali berkeliling berburu kuliner. Salah satu kesenian itu adalah gamelan selonding yang tampil, Jumat (30/12) malam. Selonding merupakan gamelan yang sangat klasik. Di areal  Denpasar Festival, gamelan yang dibawakan oleh Sanggar Genta Wisesa ini diberikan panggung di sebelah utara Patung Catur Muka, tepatnya di Jalan Veteran. Sekiranya, ada 4 penabuh cilik tampil dan menarik perhatian penonton, didampingi pembina sanggar. Mereka membawakan gending Sekar Sungsang, gending yang biasa untuk upacara besar, ngaben, dang nangluk merana, penonton ada yang duduk di atas trotoar, ada yang berdiri di samping panggung, ada pula yang lesehan di depan panggung menyaksikan kepiawaian mereka memainkan nada.

Pembina Sanggar Genta Wisesa, Agung Wisnawa mengatakan, memang sulit memainkan gamelan selonding ketimbang gong kebyar yang kini sedang hits. Namun bila kesulitan itu tidak tidak segera dipelajari, ada kekhawatiran kesenian gamelan selonding yang biasanya digunakan untuk mengiringi upacara ini akan punah. Dia juga mengakui sulitnya mencari bibit-bibit penerus kesenian tersebut saat ini.

“Karena itu dalam Denfest ini kami menampilkan anak-anak, terutama SD dan TK. Mengapa kita ambil anak kecil? Supaya dari kecil dia tahu bahwa budaya itu ada, gamelan selonding itu ada,” ungkapnya.

Pada beberapa kasus, kata Agung Wisnawa, gamelan selonding awalnya khusus dimainkan pemangku dan keturunannya. Namun fenomena yang terjadi, belum tentu keturunan dari yang bersangkutan mau melanjutkan. Begitu juga ada pula tukang tabuh selonding yang tidak punya keturunan, maka lengkaplah permasalahan siapa yang bakal meneruskan kesenian tersebut.

“Sekarang orang lain diperbolehkan memainkan. Di Bali, gamelan sangat terkait upacara. Gamelan tatkala kita tinggalkan karena modernisasi, maka peradaban budaya dan agama Hindu akan luntur. Leluhur kita dahulu melestarikan budaya seperti gamelan dengan cara dikaitkan dengan agama, sehingga gamelan itu pasti ada. Jika kita tidak selamatkan maka akan punah,” akunya.  

Awalnya, gamelan selonding ini dipelajari dan diajarkan oleh para tetua di daerah Tenganan, Karangasem dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, dia coba memperkenalkan selonding kepada anak-anak, dengan proses pengenalan selama hampir setahun. Lamanya proses ini karena anak-anak harus mengingat bunyi nada selonding yang sama sekali lain dengan gong kebyar.

“Itu lama prosesnya. Dari segi suara mereka tidak fasih mendengarnya. Jadi perlu kemampuan mengingat. Setelah mereka mengerti dasar selonding mereka akan mudah memainkan dan enak didengar. Hampir satu tahun untuk pengenalan selondingnya,” katanya.

Belakangan, dalam konteks pertunjukan, Agung Wisnawa coba memasukkan beberapa unsur musik modern agar tidak monoton. Hal ini untuk memberikan suasana baru agar gamelan selonding tidak terkesan membosankan. “Agar tidak membosankan saya coba kolaborasikan dengan gitar, bass, drum. Tapi yang jelas, tak ada yang dikurangi, tetap tidak meninggalkan pakem selonding,” pungkasnya. * in

Komentar