nusabali

Penertiban Duktang Kendor karena Takut Kena Saber Pungli

Terduga Teroris yang Ditangkap di Bali Masih Berusia 14 Tahun

  • www.nusabali.com-penertiban-duktang-kendor-karena-takut-kena-saber-pungli

DPRD Bali desak pemerintah agar menggalakkan penertiban penduduk pendatang, sebagai antisipasi pasca ditangkapnya dua terduga teroris di Bali.

DENPASAR, NusaBali

Caranya, mengecek kartu identitas penduduk musiman (Kipem) dengan menggandeng desa adat di seluruh kabupaten/kota di Bali. Jurus ini dianggap sebagai satu-satunya cara efektif mencegah masuknya pelaku teror ke Bali. Belakangan, penertiban penduduk pendatang kendor karena desa adat takut kena Saber Pungli.

Desakan untuk lakukan penertiban penduduk pendatang ini disampaikan dua anggota DPRD Bali yang sama-sama menjabat sebagai Bendesa Adat, yakni I Gusti Putu Budiarta (dari Fraksi PDIP Dapil Denpasar) dan I Wayan Disel Astawa (dari Fraksi Gerindra Dapil Badung), kepada NusaBali di Gedung Deewan, Niti Mandala Denpasar, Senin (14/10).

Baik IGP Budiarta maupun Wayan Disel Astawa menggarisbawahi, pelaku teror bisa nyaman masuk dan tinggal di Bali, karena belakangan ada kelonggaran dalam pemeriksaan identitas penduduk pendatang dan penduduk musiman. Jika desa adat melakukan penertiban penduduk pendatang, mereka takut ditindak oleh Satgas Saber Pungli (satuan tugas sapu bersih pungutan liar), karena tidak boleh lagi ada penertiban Kipem di era e-KTP.

IGP Budiarta yang akrab disapa Gung De menyebutkan, desa adat selama ini terkendala dalam menertibkan penduduk pendatang, terutama penduduk musiman dengan Kipem, karena ruang geraknya dibatasi oleh Satgas Saber Pungli. “Untuk itu, kita berharap Pemprov Bali dan Pemkab/Pemkot se-Bali supaya bergerak menertibkan penduduk musiman, dengan menggandeng desa adat,” jelas politisi senior PDIP yang juga menjabat Bendesa Adat Pedungan, Kecamatan Denpasar Se-latan ini.

Menurut Gung De, pihaknya ingin desa adat dan pemerintah bisa bersinergi antisipasi oknum atau penduduk yang terindikasi jaringan terorisme. “Dulu pecalang desa adat sangat gencar melakukan penertiban. Belakangan turun drastis ritme kita menyasar penduduk pendatang, karena pecalang takut kena Saber Pungli. Sekarang malah terbukti, pelaku teror sempat tinggal menetap di Denpasar,” ujar Gung De, yang juga menjabat Ketua Komisi IV DPRD Bali (antara lain membidangi adat, budaya, pendidikan).

Gung De mengingatkan harus dicarikan solusi terbaik untuk mengantisipasi masuknya jaringan teror ke Bali. “Ada kekhawatiran pecalang selaku petugas keamanan desa adat harus berhadapan dengan kasus hukum. Kalau pecalang melakukan pemeriksaan Kipem, nggak bisa lagi karena mereka takut dengan Saber Pungli. Jadi, serba salah juga,” sesal Gung De.

Padahal, kata Gung De, desa adat dengan pecalangnya adalah ujung tombak menyaring dan menertibkan penduduk pendatang (krama tamiu) di wilayahnya. “Kalau dilonggarkan (tidak ada penertiban penduduk pendatang) seperti sekarang, kita takut pelaku terori gampang masuk Bali. Kalau diketatkan oleh pecalang, takutnya berhadapan dengan Saber Pungli. Maka, harus kolaborasi dengan petugas Satpol PP Kabupaten/Kota,” tegas politisi senior PDIP yang sudah beberapa kali periode duduk di DPRD Bali Dapil Denpasar ini.

Paparan senada juga disampaikan Wayan Disel Astawa, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali yang kini menjabat Bendesa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Menurut Disel Astawa, selama ini aksi pecalang melakukan patroli ke rumah-rumah kos atau rumah kontrakan di wilayahnya, sangat efektif.

“Kalau mereka yang terindikasi terlibat terorisme, ketika disidak pecalang, biasanya langsung bergeser alias kabur, takut identitas dan kegiatannya terbongkar. Tapi, dengan adanya operasi Satgas Saber Pungli, pecalang jadi pasif. Mereka khawatir bisa kena Saber Pungli, walaupun tidak memungut Kipem. Kan pemahaman aturan hukum di tingkat pecalang itu tidak sama,” ujar Disel Astawa.

Disel Astawa pun berharap ada sinergisitas dalam penertiban penduduk pendatang di Bali. “Ayo kita cegah sejak dini bersama-sama, supaya pelaku teror tidak menyusup ke Bali. Pecalang dan petugas keamanan, Satpol PP Kabupaten/Kota bersama-sama turun. Desa adat adalah ujung tombak, menjaring dan mendeteksi krama tamiu yang ada di Bali,” terang anggota Fraksi Gerindra DPRD Bali Dapil Badung ini.

Ketika ditanya penertiban penduduk pendatang bisa disalahgunakan oknum tertentu, sehingga muncul kasus pungli, menurut Disel Astawa, justru di sinilah pentingnya petugas keamanan, Satpol PP, dan pecalang bersinergi. “Itu oknum, hanya satu dua kasus. Kalau di desa adat kami (Desa Adat Ungasan), krama tamiu itu tetap dikenakan iuran yang besarannya sesuai dengan awig-awig. Sepanjang itu keputusan awig-awig, kan tidak masalah,” tegas Disel Astawa yang notabene mantan  anggota Fraksi PDIP DPRD Bali 2009-2014 dan 2014-2017.

Sementara itu, Satpol PP Tabanan keluarkan surat edarkan yang ditujukan kepada para Perbekel dan Bendesa Adat, untuk ikut meningkatkan pengawasan terhadap penduduk pendatang (Duktang) di wilayahnya masing-masing. Ini sebagai langkah antisipasi setelah adanya penangkapan dua terduga teroris bapak anak, AT dan ZAI, di kawasan Jembrana.

Kepala Satpol PP Tabanan, I Wayan Sarba, saat ini pengawasan lebih ditingkatkan. Terutama di kantong-kantong pendatang. Para Perbekel dan Bendesa Adat telah diberi surat edaran untuk mengefektifkan pengawasan di wilayahnya masing-masing.

"Surat edaran sudah kami kirim hari ini (kemarin). Intinya, krama adat dan masyarakat di deas dinas agar meningkatkan kewasapadaan dan aktif melakukan pengawasan terhadap penduduk pendatang, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Jika sebelumnya awas 1, sekarang awasnya 3 kali lipat," ujar Wayan Sarba di Tabanan, Senin (14/10).

Menurut Wayan Sarba, selama ini pihaknya sudah rutin menggelar patroli gabungan dengan melibatkan jajaran kepolisian, TNI, dan Dinas Kependudukan & Catatan Sipil (Dukcapil) Tabanan, sebagai bagian upaya pengawasan terhadap penduduk pendatang. Jika ada yang melanggar administrasi, langsung ditindak.

Selama digelarnya patroli gabungan, pelanggaran terbanyak yang ditemukan adalah penduduk pendatang tanpa identitas. Mereka sebagian besar tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Kediri dan Kecamatan Tabanan. Khusus di Kecamatan Kediri, duktang tanpa identitas ini dominan tinggal di Desa Banjar Anyar dan Desa Kediri. Sedangkan untuk Kecamatan Tabanan, mereka dominan tinggal di Desa Dauh Peken dan Desa Gubug.

Dikonfirmasi terpisah, Kasat Pol PP Provinsi Bali, Dewa Nyoman Darmadi, mengatakan pihaknya sudah melakukan antisipasti pasca penangkapan dua terduga teroris di Bali. “Kami sudah minta jajaran Sat Pol PP Kabupaten/Kota se-Bali antisipasi penduduk musiman, dengan melakukan penertiban identitas mereka,” jelas Dewa Darmadi di Denpasar, Senin kemarin.

Dua terduga teroris bapak dan anaknya, AT dan ZAI, sebelumnya ditangkap Densus 88 Antiteror Polri, Kamis (10/10) dinihari, beberapa jam sebelum aksi penusukan Menko Polhukam Wiranto di Alun-alun Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten. AT dan ZAI masih satu jaringan dengan pelaku penusukan Wiranto, yakni pasutri Abu Rara dan Fitria Adriana.

Tersangka ZAI yang ditangkap di sebuah rumah kost kawasan Jalan Sedap Malam Denpasar, diketahui baru berusia 14 tahun. "ZAI masih di bawah umur. Dia laki-laki usia 14 tahun," ungkap Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, dilansir detikcom di jakarta, Senin kemarin.

Brigjen Dedi menyatakan, penyidik akan memberlakukan proses hukum yang bersifat khusus kepada ZAI yang masih bawah umur. Namun, tak dijelaskan secara spesifik seperti apa teknisnya. "Oleh sebab itu akan diperlakukan secara khusus," katanya.

Menurut Brigjen Dedi, ayah ZAI, yakni AT, merupakan terduga teroris yang intens berkomunikasi dengan Syahrial Alamsyah alias Abu Rara yang tikam Menko Polhukam Wiranto. AT sendiri mengetahui rencana amaliyah yang dilakukan Abu Rara di Pandeglang. "Terkait kelompok Abu Rara sebagai close contact untuk menyusun penyerangan atau amaliyah. Dia aktif memberikan tutorial pembuatan bom," katanya. *nat,des

Komentar