nusabali

Pemuda Bali Dukung KPK

Kemarin, Diskusikan 'Upaya Pelemahan KPK'

  • www.nusabali.com-pemuda-bali-dukung-kpk

Revisi UU KPK yang akan dilakukan banyak poin-poinnya yang berpotensi melemahkan KPK

DENPASAR, NusaBali

Munculnya wacana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang akan merevisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga kuat menjadi upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah Indonesia itu. Menanggapi hal tersebut, ratusan pemuda di Bali yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa berdiskusi mengenai kondisi korupsi di Indonesia dan upaya melemahkan KPK di Taman Internet FISIP Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman, Denpasar, Rabu (11/9).

Diskusi dengan cara lesehan berlangsung hangat dan efektif. Diskusi yang diselenggarakan Bengkel Antikorupsi bekerjasama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), Kawan Bung Hatta, BEM PM Universitas Udayana, Sakti Bali, dan Aliansi Masyarakat Bali Antikorupsi (AMBAK) menghadirkan tiga narasumber yakni Egi Primayogha, anggota divisi Korupsi Politik ICW, M Zainal Abidin selaku praktisi hukum, serta Javents Lumbantobing selaku Presiden BEM Universitas Udayana.

Anggota divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha mengungkapkan, ICW berpandangan KPK kembali dalam ancaman. Belum selesai mengenai perdebatan Calon Pimpinan KPK, kali ini serangan justru hadir pada ranah legislasi dalam kerangka Revisi UU KPK. Setidaknya ada beberapa isu yang harus dikritisi dalam draft yang beredar di tengah masyarakat. Pertama, pembentukan Dewan Pengawas. Persoalan ini terus menerus hadir dalam naskah perubahan UU KPK.

Kedua, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ketiga, dalam melaksanakan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap. “Tanggapan kami saat ini presiden menolak revisi UU KPK. Sedangkan DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Egi.

Sementara upaya pelemahan keempat, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas. Selama ini, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi. Kelima, KPK tidak lagi lembaga negara independen.

Perubahan ini terjadi pada Pasal 3 UU KPK, jika sebelumnya ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun kali ini justru berubah menjadi lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen.

Selain itu, KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara. Menurut ICW, harusnya DPR memahami bahwa setiap perkara memiliki kompleksitas persoalan berbeda. Jika sebuah kasus dipandang rumit, maka sudah barang tentu penyidikan serta penuntutannya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Yang patut dikritisi juga, revisi UU KPK menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Ini mengartikan bahwa kehadiran penyidik independen akan dihilangkan.

Kemudian, KPK juga tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Padahal dalam UU sebelumnya ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Yang dikritisi lagi, syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun. Poin ini dapat dikatakan tanpa adanya argumentasi yang masuk akal. Karena sebelumnya dalam Pasal 29 angka 5 UU KPK disebutkan bahwa usia minimal untuk menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun.

Menurut ICW, draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa. Egi berpendapat, revisi UU KPK yang akan dilakukan banyak poin-poinnya yang berpotensi melemahkan KPK. Upaya revisi UU KPK juga pernah dilakukan tahun 2016. Namun karena berbagai tekanan publik, ketika itu presiden memutuskan tidak menyetujui revisi UU KPK. Selain itu, beberapa fraksi di DPR awalnya juga tidak setuju dengan revisi UU KPK kala itu.    

“Yang mengherankan, sekarang mengapa itu justru disetujui oleh seluruh fraksi di DPR. Analisa saya, mungkin ada pesanan. Dalama artian, DPR yang terpilih tentu maju dengan sokongan dana. Para penyokong dana ini mungkin terganggu dengan kehadiran KPK. Mereka ingin menghendaki profesional KPK dilemahkan. Yang terganggu dengan kehadiran KPK itu banyak,” kata Egi. *ind

Komentar