nusabali

Rp 10 Miliar untuk Tarung ke DPR RI

  • www.nusabali.com-rp-10-miliar-untuk-tarung-ke-dpr-ri

Dr Subanda mengatakan, caleg jor-joran karena beragam motivasi, seperti agar dapat akses ke pemerintah, aktualisasi diri, hingga dendam politik

Caleg dari Badung Mengaku Siapkan Rp 5 M untuk Bidik Kursi DPRD Bali


DENPASAR, NusaBali
Para caleg menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk bisa tembus ke kursi legislatif dalam Pileg 2019. Untuk tarung berebut kursi DPRD Bali, dana yang dibutuhkan diprediksi mencapai Rp 5 miliar. Sedangkan untuk tembus kursi DPR RI Dapil Bali, bisa menghabiskan dana kisaran Rp 10 miliar hingga Rp 17 miliar.

Biaya sebesar itu termasuk untuk logistik dan punia. Terlebih, mendekati coblosan Pileg, 17 April 2019, tarung perburuan suara di kantong-kantong pemilih yang dilakukan antar caleg semakin sengit. Menurut salah seorang caleg DPRD Bali Dapil Badung, dirinya sejak awal menyiapkan dana Rp 5 miliar untuk membiayai tarung Pileg 2019 ini.

“Ya, saya sediakan dana Rp 5 miliar untuk tarung Pileg 2019. Menang atau kalah, ya segitu anggarannya. Anggap saja ini mapunia kepada masyarakat,” ujar caleg salah satu porpol yang dikenal sebagai pengusaha di Badung ini kepada NusaBali, Selasa (19/2).

Dia menyebutkan, dana sebesar Rp 5 miliar itu habis untuk berbagai biaya politik. Mulai dari membeli kaos caleg untuk pengenalan diri, biaya konsumsi saat masimakrama, hingga dana punia ketika tangkil ke kelompok dadia, banjar, sekeha teruna, sampai sekeha santi di desa-desa. Termasuk juga untuk biaya beli kopi, teh, gula ketika konstituen datang ke rumah selama masa kampanye.

“Kalau tangkil ke pura, masa nggak mapunia? Apalagi, ada permintaan krama supaya dibantu biaya pembangunan, ya harus siap kita, walaupun tidak ikut membantu 100 persen. Kalau biaya membangun Rp 1 miliar, ya kita ikut berpartisipasi Rp 10 juta,” katanya.

Caleg dari parpol papan atas ini menyebutkan, setiap hari ada saja konstituen yang datang ke rumahnya. Karenanya, dia juga harus menyiapkan sekadar kopi atau teh buat mereka. “Saya sampai merekrut orang untuk meladeni konstituen yang datang ke rumah yang dijadikan Posko Perjuangan.”

Apakah sebanding dengan gaji yang akan didapat ketika duduk di kursi legislatif nanti, dengan biaya politik yang demikian tinggi? “Adah, tiyang sube pragat (saya sudah selesai) dengan urusan diri sendiri. Anak-anak sudah gede, usaha sudah jalan. Kalau urusan ke luar negeri dan hiburan, sudah bosan juga saya,” kelakarnya.  “Ini dana punia pribadi, saya menuju DPRD Bali karena ingin mengabdi. Pakai duit pribadi, kalau menang nanti merasa lebih elegan. Beda dengan incumbent, juara bertahan yang pakai dana bansos/hibah,” imbuhnya.

Sementara, seorang caleg DPR RI Dapil Bali mengaku menyiapkan dana sam-pai Rp 17 miliar untuk tarung Pileg 2019 ini. Dia mengatakan, sampai saat ini dirinya sudah menghabiskan dana Rp 5 miliar.

“Saya sudah bergerak turun ke masyarakat sebelum penetapan calon. Setelah penetapan nomor urut, ya tancap gas full. Kalau sampai coblosan nanti, anggarannya bisa tembus Rp 10 miliar. Kan perlu biaya menyiapkan saksi guna mengawal suara saya sendiri. Saya tidak hanya mengandalkan saksi dari partai,” ujar politisi pengusaha perhotelan ini.

Disebutkan, dana sebesar itu dihabiskan untuk membuat baliho, kaos yang dibagi-bagikan, kartu nama, punia ketika tangkil ke pura, hingga punia saat diundang hadiri bazaar. “Untuk biaya kaos dan baliho, nggak banyak. Saya lebih banyak tangkil ke dadia, banjar, dan kelompok masyarakat,” katanya.

Secara keseluruhan, dia mengaku bermodalkan uang Rp 17 miliar untuk maju tarung ke DPR RI Dapil Bali. “Kalau dibandng-bandingkan, dana sebesar Rp 17 miliar ini setara dengan biaya maju tarung sebagai Calon Bupati di Jembrana,” imbuhnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr Nyoman Subanda MSi, mengatakan ada berbagai hal yang mendorong caleg berani jor-joran soal dana. Menurut Dr Subanda, dirinya sempat wawancara dengan sejumlah caleg. Ternyata, orientasi mereka maju tarung Pileg 2019 bukan sekadar motif ekonomi atau kejar gaji sebagai wakil rakyat.

“Ada juga caleg yang ingin dapat akses pemerintah. Selain itu, ada yang caleg yang ingin aktualisasi diri, mendapatkan penghargaan di masyarakat sebagai tokoh. Sedangkan motif lainnya, caleg maju tarung ke Pileg karena diminta partai dengan kompensasi tertentu. Ada lagi yang maju tarung karena dendam politik,” beber Dr Subanda saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Selasa kemarin.

Menurut Subanda, dendam politik ini menjadikan mereka ingin membuktikan bahwa punya massa, punya pengaruh, dan punya logistik. “Jadi, dendam politik ini karena dilatarbelakangi dendam karena rival terdahulu atau rivalitas sosial,” tandas akademisi asal Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng ini.

Dikonfirmasi terpisah, aktivis perempuan yang kini Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, mengatakan caleg jor-joran keluarkan duit maju berebut kursi legislatif, karena gelanggang kampanye. “Waktu kampanye kelamaan, terus di gelanggang itu mereka harus hadapi incumbent. Pendatang baru itu tidak dikenal masyarakat, sementara mereka harus mengenalkan diri. Mereka rata-rata melakukan pola menyumbang, meskipun peraturan melarangnya. Saat ini, sumbangan itu nilainya rata-rata sudah naik harga,” ujar Riniti Rahayu.

Menurut Riniti, caleg new comer haruslah berkantong tebal, kecuali memang sudah memiliki modal sosial sebelumnya, mereka masih bisa terbantu. “Pemilih bisa dikuasai walaupun nggak nyumbang apa pun, karena sudah lama berinvestasi sosial, bermasyarakat, sehingga telah dikenal. Tapi, soal peluang new comer lolos ke kursi legislatif, tetap saja terbuka lebar,” jelas mantan Komisioner KPU Bali 2008-2013 yang dikenal getol menyuarakan keterwakilan perempuan di pentas politik ini. 7 nat

Komentar