nusabali

Mengaku Sedikit 'Kaku', Terakhir Latihan Tahun 1990–an

  • www.nusabali.com-mengaku-sedikit-kaku-terakhir-latihan-tahun-1990-an

Keterlibatan tiga orang dokter dalam Festival Monolog 100 Putu Wijaya untuk memenuhi ‘panggilan’ batin. Semasa kuliah, mereka sempat bergabung dalam Sanggar Minum Kopi.

Ketika Tiga Dokter Tampil di Festival Monolog 100 Putu Wijaya


DENPASAR, NusaBali
Ada yang berbeda dalam Festival Monolog 100 Putu Wijaya yang digelar di SMPN 1 Denpasar, Jumat (22/12) malam. Tiga dokter, dr Dewa Putu Sahadewa SpOG (K), dr Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa, dan dr Eka Kusmawan SpB, tampil di festival monolog tersebut. Siapa sangka, dokter yang terbiasa mengambil tindakan medis, malam itu tampil di panggung bak seniman kawakan.

Ketiganya sukses meniti karier sesuai profesinya. Dokter Sahadewa mendirikan RSIA Dedari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dr Ari Duarsa —sapaan akrab dr Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa— menjabat Kepala Bagian Hukum dan Humas (Hukmas) RSUP Sanglah, sementara dr Eka Kusmawan meniti kariernya di RS Surya Husada Denpasar.

Tapi jangan meragukan kemampuan saat mereka ‘melepas jubah putih’. Ketika mereka sudah menunjukkan aksinya di bidang teater, bisa jadi yang menyaksikan akan terkesima. Karena mereka mampu membawakan monolog dengan baik. Terbukti ketiganya sukses membawakan masing-masing satu naskah monolog karya Putu Wijaya di aula sekolah yang berlokasi di Jalan Surapati, Denpasar Barat, itu.

Festival Monolog 100 Putu Wijaya seolah seperti mempertemukan mereka kembali. Nyatanya sudah lama sekali mereka tidak bertemu. “Kami kenal sudah lama, dan sudah lama juga tidak bertemu. Sekalinya ketemu malah main monolog. Awalnya saya yang memang berniat ikut festival monolog ini. Tapi ternyata mereka juga merespons ikut main,” tutur dr Eka Kusmawan, sesaat sebelum pentas.

Malam itu, dr Eka menjadi penyaji monolog paling terakhir dengan memilih naskah monolog karya Putu Wijaya berjudul ‘Ah’. Naskah ini menceritakan kegalauan seorang dokter yang bertugas di daerah terpencil. Karena mengalami hal yang tidak mudah di daerah itu, antara lain menghadapi masyarakat yang belum maju (keterbelakangan) di bidang kesehatan. Masyarakat lebih percaya dukun ketimbang instansi kesehatan. “Dalam naskah itu terselip kerinduan ingin pulang ke rumah. Nah, saya selipkan juga tentang rindu pada ibu di situ, mumpung hari ini (Jumat, 22/12) Hari Ibu,” katanya.

Sedangkan dr Sahadewa menjadi pementas monolog paling pertama. Jauh-jauh dia datang dari Kupang untuk mementaskan naskah ‘Narkoba’ karya Putu Wijaya. Monolog ini menceritakan seorang pembicara narkoba yang tengah menjelaskan bagaimana bahayanya narkoba, namun nyatanya dia juga mengedarkan dan memakai narkoba. Dalam hal ini, ada pesan yang ingin disampaikan dr Sahadewa, yakni pembinaan tingkat keluarga sangat penting untuk dikuatkan, karena narkoba semakin merajalela.

“Berdasarkan informasi yang ada, 5,9 juta orang di Indonesia adalah pengguna narkoba. Bisa dibayangkan jika generasi muda kita mudah terpengaruh bujukan mengonsumsi narkoba. Karena itu, keluarga memegang peranan penting untuk hal tersebut,” katanya.

Sementara dr Ari Duarsa menampilkan monolog berjudul ‘Raksasa’ yang menceritakan kehidupan seorang raksasa dan manusia. Jika raksasa memakan manusia adalah wajar, namun jika manusia memakan manusia adalah tindakan kriminal. “Sekarang banyak manusia menyamar jadi raksasa  dan melakukan jiwa raksasa,” ujarnya.

Ketiga dokter itu memberikan penampilan terbaiknya, meski mereka mengaku sudah lama tidak bermain teater. Bahkan di antaranya mengaku masih kaku untuk pentas karena saking lamanya tidak berlatih, apalagi tampil. “Ya kaku sedikit karena sudah lama sekali. Terakhir tahun 90-an. Tapi sudah latihan jadi tinggal ikuti alur cerita saja,” ucap dr Ari.

Keterlibatan mereka dalam Festival Monolog 100 Putu Wijaya merupakan ‘panggilan’ batin mereka, yang seolah sedang menostalgia diri dari sejarah mereka bermain teater. Dulunya mereka sempat bergabung dalam Sanggar Minum Kopi semasa kuliah bersama penyair lainnya GM Sukawidana yang kini meniti karier di SMPN 1 Denpasar. Ada juga penyair kawakan Tan Lioe Ie, bahkan Pemimpin Redaksi NusaBali, I Ketut Naria, juga sempat bergabung di sanggar itu. Namun sanggar tersebut bubar seiring berjalannya waktu. Meski demikian, semangat berteater mereka tidak pernah padam.

Tidak saja penampilan monolog dari tiga dokter, Festival Monolog 100 Putu Wijaya, Jumat malam lalu juga diisi penyair kawakan Tan Lioe Ie dengan musikalisasi puisi yang mempesona. Malam itu, Tan Lioe Ie membawakan sejumlah puisi baik karyanya sendiri maupun karya penyair lainnya seperti Umbu Landu Paranggi dan Wayan Jengki Sunarta. Beberapa puisi yang ditampilkannya antara lain Kuda Putih, Abad yang Luka, Malam Cahaya Lampion, Cokongtik, dan Excosirsem.

Tan Lioe Ie merupakan penyair Indonesia yang melakukan eksplorasi atas ritual dan mitologi Tionghoa dalam puisi bahasa Indonesia. Walaupun bernuansa etnik kental, puisi-puisinya tetap mempunyai daya pikat bagi kalangan luas. Tan Lioe Ie tercatat banyak menghasilkan puisi yang berkualitas. Buku antologi puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Ada pula puisi lepas karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Bulgaria, Mandarin, dan Rusia.

Sementara penggagas Festival Monolog 100 Putu Wijaya, Putu Satria Kusuma, mengatakan, sampai saat ini festival tersebut sudah sampai pada pementasan ke-80 sejak dimulai Maret lalu di hampir seluruh kabupaten/kota di Bali. Pihaknya optimistis hingga tutup tahun 100 pementasan akan tercapai. “Bahkan perkiraan kami hingga 30 Desember nanti bakal sampai pada 110 pementasan,” katanya.

Dikatakan, Festival Monolog 100 Putu Wijaya merupakan apresiasi terhadap sosok Putu Wijaya yang sangat produktif melahirkan karya-karya baik puisi maupun monolog. Apresiasi ini bisa dilakukan di mana saja seperti di rumah sendiri, di markas komunitas, di sanggar, atau di jalanan sekalipun.

“Yang ingin bergabung itu dibebaskan. Bebas milih naskahnya dan kapan mau pentas. Termasuk menyutradarai sendiri, biaya sendiri, menentukan tempat pentas. Intinya ini adalah sukacita perayaan karya-karya monolog karya Putu Wijaya. Dengan harapan bisa menghidupkan kembali denyut teater yang selama ini sangat minim ruang pementasan,” tandas Putu Satria. *ind

Komentar