nusabali

Pesamuhan Madya PHDI Bali Pun Tolak Proyek Bali Crossing

  • www.nusabali.com-pesamuhan-madya-phdi-bali-pun-tolak-proyek-bali-crossing

PHDI Kabupaten/Kota se-Bali sepakat tolak rencana PLN membangun jaringan listrik Jawa-Bali atau Bali Crossing dengan tower (menara) setinggi 376 meter melalui Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di dekat areal Pura Segara Rupek, Desa Pakraman Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.

DENPASAR, NusaBali

Alasannya, listrik Bali Crossing menodai kesucian Pura Seghara Rupek dan pura lainnya yang berada sangat dekat dengan proyek tersebut.

Kesepakatan untuk tolak proyek Bali Crossing ini diambil dalam Pasamuhan Madya di Kantor PHDI Provinsi Bali, Jalan Ratna Denpasar, Selasa (8/8). Dalam Pasamuhan kemarin ditegaskan bahwa PHDI Buleleng, PHDI Jembrana, PHDI Tabanan, PHDI Bali, dan ormas Keagamaan Hindu Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, serta ormas Hindu se-Bali, LSM Bakti Segara, LSM  Conservation International wilayah Bali, serta para tokoh masyarakat Bali menolak Cali Crossing.

Menurut Dharma Upapatti PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, Pasamu-han Madya menyetujui bahwa kesucian pura harus tetap ditegakkan. Hal ini karena sudah ada bhisama terkait penegakan kesucian pura. “Ini juga sudah di-Perda-kan. Berarti, apa pun yang terjadi di dalam Bali Crossing itu, harus mengikuti saran-saran dari PHDI sebagai lembaga umat Hindu yang tertinggi di Bali,” jelas sulinggih dari Griya Wanasari Sanur, Denpasar Selatan ini.

Disebutkan, kalangan sulinggih sendiri tidak terlibat dalam ranah pro-kontra proyek Bali Crossing. Namun, sulinggih tetap memberikan payung kesucian jika sudah menyentuh ranah kesucian pura. “Yang sifatnya akan melanggar bhisama kesucian pura, itu harus tetap ditegakkan. Seharusnya, para investor dan pengembang apa pun namanya, mesti menyesuaikan dengan kondisi Bali,” tandas Ida Pedanda Wayahan Wanasari.

Sementara, Ketua PHDI Bali Prof Dr IGN Sudiana menegaskan hasil Pasamuhan Madya ini nantinya akan ditembuskan kepada Presiden, Menteri ESDM, PHDI Pusat, PHDI Bali, Gubernur Bali, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten/Kota se-Bali, PHDI Kabupaten/Kota se-Bali, Kanwil Kementerian Agama, hingga Bupati/Walikota se-Bali. “Pasamuhan Madya PHDI Bali putuskan menolak dibangunnya Bali Crossing, karena menurut surat Bupati Buleleng, itu menganggu kesucian pura. Kita tidak menginginkan pura itu terganggu,” kata Prof Sudiana.

Menurut Prof Sudiana, PHDI hanya fokus ke persoalan kesucian pura di dekat pem-bangunan tower Bali Crossing dan pura-pura yang dilalui. “Kalaupun pembangunannya diubah, namun masih berkaitan dengan kesucian pura, tetap menjadi perhatian kita. Tapi, sesungguhnya kalau Bali sudah surplus listrik, untuk pembangunan yang sifatnya tidak ramah lingkungan sebaiknya jangan dilakukan,” tandas Prof Sudiana.

“Dulu sempat PLN sosialisasi, tapi tidak jelas sosialisasinya. Kalau ingin membangun di Bali, perlu melibatkan kita. Kalau PHDI menolak, mestinya pemerintah sejalan dengan PHDI,” lanjut tokoh lembaga umat yang juga akademisi dari IHDN Denpasar ini.

Selain penolakan Bali Crossing, dalam Pasamuhan Madya PHDI kemarin juga dibahas tentang penyusunan pedoman ‘ngaben ngelanus’ agar bisa dipakai oleh se-Nusantara. Ngaben ngelanus sendiri adalah upacara Pitra Yadnya tanpa jeda waktu, di mana rangkaian upacara dari ngaben hingga ngelinggihang Dewa Hyang dilaksanakan dalam waktu singkat. “Ngaben ngelanus saat ini banyak diperbincangkan. Di antara sulinggih sendiri belum sama persepsinya. Di bawah (masyarakat, Red) juga persepsinya berbeda. Hasil Pasamuhan ini nanti akan dilanjutkan dengan penggodokan lebih khusus dalam Paruman Pandita,” katanya.

Sedangkan Ida Pedanda Wayahan Wanasari menyebutkan, ngaben ngelanus ramai dibincangkan saat ngaben masih dianggap sesuatu yang mahal oleh masyarakat. Nah, setelah Hari Raya Saraswati nanti, akan disusun buku pedoman terkait ngaben ngelanus. Sebab selama ini pelaksanaan ngaben ngelanus yang sudah berjalan masih tergantung sulinggih dan desa pakraman masing-masing. “Ini tafsir, bukan bhisama. Supaya ada pemerataan terutama untuk digunakan se-Nusantara, sehingga di mana pun bisa cocok dipakai, tanpa harus kita mengikat mereka,” ujar Ida Pedanda. *in

Komentar