nusabali

Kalah, Menang, dan Unggul

  • www.nusabali.com-kalah-menang-dan-unggul

KURANG dari 24 jam sejak hitung cepat muncul, NusaBali tiada henti, saban hari, menyiarkan hasil penghitungan suara pileg. Pemberitaannya bergemuruh, tentang siapa yang pasti lolos sebagai anggota legislatif. Siapa pula yang tersingkir dan tersungkur.

Berita-berita itu nyaris memenuhi halaman satu, banyak drama muncul, banyak kejutan. Perolehan suara caleg perempuan mendapat porsi mengesankan, tak kalah dengan raihan suara petahana yang terdepak. Menarik, karena banyak dramanya. Ada caleg perempuan di Karangasem lolos merebut kursi DPRD tanpa bersusah payah berkampanye. Seperti dalam pertunjukan drama panggung atau sinetron, ia figuran, bukan daya pikat, tapi mengejutkan penonton.

Berita-berita pileg ini menarik karena memenuhi syarat utama jurnalisme: pertentangan, perebutan, konflik, dan seks (gender). Seperti peristiwa olahraga: sepakbola, atletik, voli, punya daya pikat luar biasa karena mengandung pertentangan, pergulatan, untuk menjadi yang terbaik, paling unggul. Banyak pembaca menyukai kisah-kisah yang penuh dramatik dari pertikaian, adu mutu, apalagi itu melibatkan perempuan.

Berita seorang wanita mati gantung diri jauh lebih memikat tinimbang cowok mati menggorok leher sendiri. Jika siswa membully rekannya, menendang dan menghajar, kalah jauh menarik jika siswi yang menjambak, membanting, dan merundung rekan sesama cewek.

Tentu editor, wartawan, paham itu, bahwa pileg kali ini semarak karena banyak caleg perempuan bertarung dan lolos mengalahkan caleg laki-laki. Orang-orang bahkan mulai membayangkan, kelak akan tampil sosok perempuan idola yang sungguh-sungguh tokoh politik, bukan yang digadang-digadang, tidak direkayasa, dan berada di luar lingkar dinasti.

Mungkinkah itu? Kenapa tidak? Tapi masyarakat bimbang jika dikaitkan dengan perebutan, adu mutu, dalam perolehan suara pileg kali ini. Dalam panggung demokrasi yang riuh oleh nepotisme, caleg bermutu yang menyodorkan gagasan, visi, harapan, idealisme, tidak digubris, diabaikan, tidak laku.  

Namun tetap saja ada yang berharap, kendati harapan itu cuma seberkas cahaya, bagai lilin di lorong gelap dalam panggung politik sekarang. Mereka percaya alam, juga ranah politik, selalu punya kejutan, kendati harus berproses lama. Karena itulah media pekabaran, jurnalisme, menyukai dinamika politik untuk mereka hidangkan. Pembaca menyukainya karena mereka memperoleh santapan seru dan kaya dengan hal-hal ganjil, ajaib, juga kadang sederhana tapi mencengangkan.

Dari suguhan terus menerus NusaBali tentang hasil-hasil pileg, kita diajak memahami dan mendalami, betapa konstelasi politik itu sesungguhnya tidak cuma sebuah pertarungan kalah-menang, tapi juga perjuangan menampilkan sifat-sifat dasar manusia untuk menjadi sosok unggul. Keunggulan adalah kehebatan untuk merebut kemenangan. Kita diajak berlogika oleh suguhan berita-berita itu: kalau ingin menang harus hebat dan unggul. Jika loyo dan bodo, bakalan kalah, siap bersedih dan sakit hati.

Konstelasi politik dirancang oleh pendukung-pendukungnya sebagai tatanan yang diharapkan ideal. Tapi ia juga sering diingkari dan dilanggar. Acap kali pengingkaran itu dianggap biasa-biasa saja, tidak apa-apa. Tatanan dan aturan itu dengan enteng diabaikan, sehingga muncullah kecurangan. Kesepakatan dikhianati, yang keliru dibenarkan, kepentingan pribadi dan kelompok diutamakan. Kebersamaan cuma basa-basi, siasat untuk pura-pura takluk, kemudian sigap berkelit jika ada celah kesempatan untuk menang dan berjaya.

Keberpihakan menjadi sulit diperhitungkan, tak pernah pasti, selalu samar. Tak apa menikam dari belakang, atau menjadi musuh dalam selimut. Saling mencurigai ada di mana-mana, berkembang setiap waktu. Mereka bersanding, tapi sesungguhnya bersaing. Kita pun jadi bertanya-tanya: sungguhkah kita membutuhkan sosok unggul?

Maka jangan heran, jika orang mengeluh nepotisme berbiak, dan perebut kursi legislatif adalah mereka yang punya kedekatan dengan sosok penentu. Sekian orang yang tunduk pada sosok penentu ini bekerja memburu suara sebagai bagian penting dari nepotisme itu. Keluhan akan bahaya dinasti politik, muncul dari kondisi ini. Tawar menawar, janji muluk, kebohongan, diumbar untuk merebut simpati, buat lingkaran terdekat: anak, istri, keponakan, menantu.

Wajar jika banyak orang bimbang pada nasib konstelasi politik kita, bahwa untuk menjadi pemenang tak perlu unggul. Bertarung dalam politik jangan pikir mutu, pikir saja kalah dan menang. Yang harus diusahakan mati-matian adalah jangan sampai kalah, harus menang.

Kalian unggul? Bagus. Tapi, jangan berharap bakal menang. 7

Komentar