nusabali

Memihak dan Memilih

  • www.nusabali.com-memihak-dan-memilih

SABAN menjelang pemilihan umum, ketika orang-orang mulai hiruk pikuk kampanye,  Nyoman Lakar pasti mengunjungi sahabatnya, Wayan Salin. Mereka senasib, pernah bekerja sebagai mandor bangunan, kemudian mengontrak tanah ditanami kangkung, sebelum akhirnya jadi calo jual-beli sepeda motor.

Siang ini mereka bercakap-cakap tentang apakah dalam pilpres dan pileg ini mereka harus memilih atau tidak.

“Harus!” tegas Nyoman Lakar. “Kalau tidak memilih, kita tak pernah hidup. Semua orang bilang, hidup itu pilihan. Kalau tak memilih kita mati. Memilih itu artinya kita bersikap, bukan manusia peragu. Dengan memilih, kita memutus rantai kebimbangan.”

Nyoman Lakar mengucapkan ketegasan itu menggebu-gebu. Selalu begitu jika ia bertemu Wayan Salin saban menjelang pemilu. Entah kenapa, Lakar senantiasa merasa wajib membujuk sahabatnya untuk menentukan pilihan. Sudah empat kali pemilu terakhir ini Salin tidak memilih. Ia golput. Ia masuk bilik suara hanya untuk merusak kertas suara.

“Aku suka golput karena rasanya lebih enteng tidak memilih,” ujarnya kepada Lakar, kalem.

Tapi Nyoman Lakar membantah sengit. Ia berpendapat, memang bijaksana tidak memilih kalau hati nurani kita mengatakan tak usah menentukan pilihan. Tapi tidak memilih itu sebuah kebijaksanaan yang bodoh.

“Biarin,” sahut Salin kalem. “Aku tak perlu menjadi orang bijaksana. Biarin aku dibilang bodoh.”

Tapi Nyoman Lakar terus berusaha membujuk Wayan Salin agar jangan golput. Menurut Lakar, sehari-sehari kita selalu terlibat dalam pilihan-pilihan. Sejak dulu begitu, terus menerus. Ia memberi contoh kisah Mahabharata, perang dahsyat Bharatayuda, adalah perjalanan zaman dan peradaban tentang menentukan pilihan. Karna, misalnya, ia harus menentukan memihak Kurawa, kendati bundanya Dewi Kunti memintanya untuk memilih Pandawa.

“Kau bisa belajar banyak dari Karna tentang menentukan pilihan,” bujuk Nyoman Lakar. “Karna sadar, ia tak bisa mengelak dari pilihan. Ia harus memihak.”

“Aku setuju, Kar. Tapi memilih, memihak, itu karena kita punya motivasi. Itu tidak tulus. Karna memihak Kurawa karena dia berutang budi pada Duryudana. Ia terperangkap dalam utang budi itu. Itu yang memotivasi dia untuk memihak.

“Dalam hidup ini siapa yang tidak berutang, Sal? Semua orang berutang. Kita dilahirkan karena berutang. Selama hidup kita berutang dan harus membayarnya. Seberapa kita sanggup membayar itu akan menentukan kualitas dan takdir kita pada kehidupan berikutnya. Utang itu karma. Kalau utang-utang itu lunas, kita moksa.”

“Namun aku tidak sependapat jika karena utang-utang itu lantas kita memihak dan menentukan pilihan. Aku ingin memihak dan memilih dengan ikhlas, tanpa tujuan lain selain memilih itu sendiri.”

“Ayo, sudahlah, jangan terlalu banyak berteori dan berfilsafat, ntar kamu mumet, bisa struk. Pemilu kali ini kamu harus memilih. Sudah empat kali pemilu kamu golput. Saban pilkada kamu juga golput. Pileg dan pilpres selalu golput. Jelek karma orang yang golput. Memilih dan memihak itu menunjukkan keberadaanmu sebagai sesuatu, sebagai seseorang.”

Dua sahabat itu saling pandang, lama. Mereka tenggelam dalam khayal sendiri-sendiri. Pikiran Wayan Salin menerawang, mengapa sobatnya Nyoman Lakar harus selalu memilih dan memihak? Pokoknya memilih, yang penting memihak. Mengapa keberpihakan itu sesuatu yang harus, mutlak. Sementara itu Nyoman Lakar berpikir, mengapa sahabatnya Wayan Salin kok ogah memilih. Mengapa ia ogah memihak, seperti perawan yang beku hatinya, frigid.

“Sampai detik ini aku masih ragu memilih;” celetuk Salin setelah hening sekian lama.
“Kalau aku pasti memilih.”
“Kamu pilih siapa?”
“Seperti pemilu sudah-sudah, kukatakan nanti usai nyoblos.”

Begitulah dua sahabat itu, Nyoman Lakar dan Wayan Salin, yang berbeda sikap memaknai apa itu hakikat memihak dan memilih. 7

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar