nusabali

Beban Hidup

  • www.nusabali.com-beban-hidup

BELAKANGAN banyak orang mengeluh, ekonomi kian sulit. Bahan-bahan kebutuhan pokok, kendati tersedia cukup, harganya gampang melompat naik, apalagi menjelang hari raya yang mulai berderet: Saraswati, Pagerwesi, Tumpek Landep, Galungan-Kuningan, Nyepi. Belum lagi odalan di Kahyangan Tiga dan di merajan. Semua menjadi beban hidup yang cukup dijinjing (jika ringan), dan mesti dipikul (kalau berat). Yang jelas, semua mesti ditanggulangi.

Buku suci mengajarkan, hidup itu beban. Jika tak ingin memikul beban, tak usah hidup. Tapi, karena sudah terlanjur hidup, bagaimanapun beban itu harus ditanggung. Kalau saja sebelum lahir ada pilihan tak usah hidup, tentu banyak orang memilih tak usah dilahirkan. Semakin berat beban itu kalau hidup kian panjang. Siapa pun yang panjang umur pasti menerima beban hidup jauh lebih berat tinimbang mereka yang mati muda.

Kitab suci juga mewacanakan, bersyukurlah sudah dilahirkan, jangan menyesal menerima beban hidup. Karena hanya kehidupan yang bisa dijadikan penebus dosa dari kehidupan buruk masa silam. Cuma, jika beban hidup makin berat, orang-orang kian sering mengeluh. Keluhan ini tak mudah lagi ditanggulangi oleh wejangan yang termaktub dalam buku-buku suci. Media pekabaran sering mewartakan, kian banyak orang stres dan depresi karena tak kuat menanggung beban hidup.

Lazimnya, jika semakin banyak hal dikerjakan, orang gampang mengeluh, karena pasti banyak pekerjaan tidak beres, atau tersendat-sendat. Orang Bali adalah contoh sosok yang semakin sering mengeluh. Keluhan-keluhan itu muncul akibat beban hidup yang semakin berat dan kian kerap.

Acap orang Bali mengeluh karena mereka melakoni kerja untuk kegiatan duniawi dan surgawi. Beban duniawi tidak beda dengan yang dilakoni orang-orang bukan Bali. Beban duniawi harus ditanggung oleh manusia mana pun di dunia. Setiap orang harus bekerja mencari nafkah untuk hidup, menghidupi diri sendiri ketika muda, dan berbagi untuk keluarga.

Semasa muda kebutuhan duniawi terpenuhi dengan cepat. Mau beli sepatu mahal, baju model terbaru, bisa segera dilakukan. Beban yang muncul mungkin mencari selera yang cocok sulit ditemukan. Setelah berkeluarga beban bertambah karena mencari lebih banyak uang untuk beli susu buat anak dan menyediakan makanan bergizi buat keluarga.

Ketika muda, gampang tidur di mana saja. Menginap di rumah teman tak pernah jadi masalah. Paling ibu yang cerewet, mengingatkan jangan terlalu banyak begadang. Setelah berkeluarga, harus selalu ada di rumah, begadang mengurus bayi, kalau tak ingin diomeli istri sebagai suami yang acuh tak acuh, tidak bertanggung jawab. Beban-beban duniawi seperti itu tumbuh perlahan-lahan, begitu halus, tapi membuat stres, sering membuat kepala pening dan badan terhuyung-huyung.

Itu beban duniawi yang dialami oleh etnik mana pun. Tapi, orang Bali punya tambahan beban non-duniawi, yang muncul akibat berbagai kegiatan adat dan keagamaan. Beban-beban itu sangat kentara dalam berbagai aktivitas upacara. Karena orang Bali melaksanakan bermacam ritus adat dan keagamaan, beban-beban itu kian berat. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau upacara-upacara itu menelan biaya tidak kecil. Bagi orang Bali yang tidak mampu, pengeluaran biaya upacara menjadi beban berat.

Mereka yang punya cukup uang pun beban melaksanakan upacara juga tidak enteng. Pelaksanaan upacara itu menyita tenaga tidak kecil, menuntut perhatian besar. Berbagai ritus manusa yadnya, seperti otonan, potong gigi, menuntut biaya banyak, penuh ketelitian. Ngaben menguras tenaga dan biaya tidak kecil, selalu lebih besar dari yang diperkirakan. Tidak mengherankan, jika ngaben di krematorium semakin diminati, karena terhitung murah, sederhana, tidak merepotkan, dan langsung beres.

Sesungguhnya, secara keseluruhan, beban hidup orang Bali jauh lebih besar tinimbang yang dialami etnik-etnik lain. Orang Bali memang menanggung beban hidup sama dengan etnik lain untuk urusan sehari-hari, seperti mencari nafkah, dan menanggung biaya sekolah anak-anak. Tapi, orang Bali punya tambahan beban hidup untuk berbagai kegiatan upacara yang mereka warisi sepanjang tahun, seperti membuat sesaji untuk hari raya dan piodalan di berbagai pura.

Kendati banyak orang Bali mengeluhkan tambahan beban hidup itu, mereka mengaku bahagia melakoninya. Mereka percaya, tambahan beban hidup itu seperti tabungan, bisa diartikan sebagai investasi. Kelak anak-cucu mereka akan menikmatinya. Itu sebabnya kendati mereka sangat letih memikul beban itu, namun kegiatan upacara adat dan keagamaan terus berlangsung sangat meriah. Mereka mengeluh, tapi bahagia. 7

Oleh:
Aryantha Soethama

Komentar