nusabali

Mategen-tegenan, Ciri Khas Pujawali Pura Agung Gunung Raung

  • www.nusabali.com-mategen-tegenan-ciri-khas-pujawali-pura-agung-gunung-raung

GIANYAR, NusaBali - Mategen-tegenan menjadi ciri khas pujawali di Pura Agung Gunung Raung, Desa Adat Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Mategen-tegenan dilaksanakan oleh krama lanang (laki-laki). Upacaranya berupa banten atau sesaji yang biasa disebut tegen-tegenan. Dibawa dengan cara negen (dipikul). “Ini bermakna melengkapi proses ayah-ayahan dan aturan krama istri,” jelas Bendesa Adat Taro Kaja, I Nyoman Tunjung, Minggu (12/10).

Puncak pujawali di Pura Agung Gunung Raung pada Buda Kliwon Ugu, Rabu (15/11). Dudonan (tahapan) pujawali berlangsung selama 13 hari. Diawali upacara Nuwur Ida Bathara ring wawengkon Desa Adat Taro Kaja pada Redite Paing Ugu, Minggu (12/11). Mempersiapkan wewalungan pada Soma Pon Ugu, Senin (13/11). Melasti di Pura Sanghyang Rahu pada Anggara Wage Ugu, Selasa (14/11). Setelahnya, mulai Wrespati Umanis Ugu, Kamis (16/11) sampai dengan Wrespati Pon Wayang, Kamis (23/11) digelar upacara panganyaran. 

Rangkaian upacara pujawali berakhir dengan nyineb pada Sukra Wage Wayang, Jumat (24/11). “Saat ini masih berlangsung persiapan piranti (perlengkapan) yang akan digunakan saat pujawali,” jelas Nyoman Tunjung.

Krama setempat, I Wayan Gede Ardika menambahkan, tradisi mategen-tegenan menunjukkan rasa bhakti dan wujud syukur atas pasuecan Ida Bathara yang telah memberikan tanaman tumbuh subur dan panen dengan baik. “Sehingga dihaturkan berupa pala bungkah dan pala gantung,” jelas Ardika. Pura Agung Gunung Raung merupakan pura kahyangan jagat. Asal usul Pura Gunung Raung berkaitan dengan perjalanan Maharsi Markandeya, orang suci dari Gunung Raung, Jawa Timur. Datang ke Bali pada abad ke-8. Maharsi ke Bali setelah mendapat pawisik menata kehidupan di Nusa Dawa. 

Kedatangan Maharsi Markandeya pertama di Bali gagal karena pangiringnya banyak meninggal terserang wabah penyakit. Kedatangan kedua selamat, setelah diawali menanam pancadatu di Besakih. Setelah itu Maharsi Markandeya bersama pengiringnya merabas hutan untuk dijadikan pemukiman. Tempat tersebut itulah Desa Taro sekarang. Untuk mengingatkan pasraman Maharsi Markandeya di Gunung Raung Jawa Timur, maka di pemukiman yang dirintis oleh Maharsi Markandeya dibangun palinggih yang dinamakan Pura Agung Gunung Raung.

Keterkaitan itu masih berlanjut sampai sekarang. Warga sekitar kaki Gunung Raung, Jawa Timur datang matirta yatra ke Pura Agung Gunung Raung. Khususnya umat, serati, dan pamangku dari Pura Giri Mulya Raung, Glenmore, Banyuwangi. “Matirtayatra dan ngayah seperti ngaturang kidung anggam Jawa,” tambah Ardika. Menurutnya, pada pujawali November 2023 ini rencananya rombongan pamedek dari Gunung Raung, Jawa Tengah akan datang untuk ngayah. Ardika mengatakan, ada 32 desa adat di Gunung Raung yang ikut ngeromba (mendukung) pujawali di Pura Agung Gunung Raung. “Sebanyak 32 desa adat itu bergiliran ngaturang upakara dan wewalen,” terangnya. 7 nvi

Komentar