nusabali

MUTIARA WEDA: Memahami ‘Berserah Kepada-Nya!’

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-memahami-berserah-kepada-nya

jarā-maraṇa-mokṣhāya mām āśhritya yatanti ye, te brahma tadviduḥ kṛitsnam adhyātmaṁ karma chākhilam. (Bhagavad-gita, 7.29)

Mereka yang berlindung pada-Ku, berjuang untuk pembebasan dari usia tua dan kematian, akan mengenal Brahman, diri individu, dan seluruh medan perbuatan karma.

SECARA prinsip Veda menyatakan bahwa Brahman tidak bisa diketahui melalui diskusi spiritual, intelek, dan tidak juga dengan mendengar berbagai ajaran. Lalu apa? Hanya mereka yang mendapatkan anugerah-Nya saja yang bisa mengetahui-Nya. Bagaimana caranya? Mām āśhritya – berserah kepada-Nya. Hanya berserah kepada-Nya saja yang memungkinkan. Apa maksudnya ‘berserah kepada-Nya?’ Di sini, ditemukan banyak definisi sesuai dengan pengalaman Para Muni. Masing-masing ekspresi dari pengalaman inilah yang memunculkan berbagai perbedaan pandangan maupun praktik-praktik religius dan spiritual.

Pertama, ada yang mengartikan ‘berserah kepada-Nya’ sebagai pengosongan diri. Artinya, keberadaan kita bukanlah sebuah entitas atau identitas. Kalaupun ada, itu hanya satu identitas yakni Brahman saja, tidak ada yang lain. Sementara saat menunjuk ke diri sendiri, identitas itu telah diserahkan sepenuhnya, sehingga kita benar-benar kosong, tidak ada nama dan bentuk yang tersisa, tidak ada ahamkara (aku). Ketika ini tercapai, maka ‘segalanya adalah kehendak-Nya’. Apapun entitas dan proses yang ada di dunia ini sepenuhnya Brahman. Ketika menunjuk ke dalam, diri ini sepenuhnya tidak ada. Ini kemudian dikenal sebagai bhakti, yakni total surrender. Seluruh ego diri sepenuhnya terserap ke dalam-Nya, tanpa sisa. Hanya ketika kondisi ini tercapai, baru kemungkinan Brahman itu bisa diketahui. Bukan intelek atau entitas apapun yang bisa mengetahui-Nya terkecuali ketiadaan intelek dan entitas itu sendiri. 

Kedua, ada yang mengartikan ‘berserah kepada-Nya’ sebagai ‘menjadi diri-Nya’. Orang akan bisa berserah secara sempurna hanya ketika ke-esa-an-Nya sepenuhnya menjadi diri kita sendiri. Sehingga, hanya ketika diri seseorang telah penuh sepenuhnya bisa dikatakan mengetahui Brahman. Apa yang menjadi sifat kita sehari-hari bukankah sifat kita, melainkan sifat-Nya saja. Sedikit saja ada ruang korong di dalam diri yang bukan diri-Nya, Brahman dipastikan belum diketahui. Mengapa? Karena ego pribadi masih bisa menutupi-Nya. Jika tidak sepenuhnya berada pada identitas-Nya, dipastikan ego akan menguasai kita sepenuhnya. Celah sedikit saja yang bukan identitas-Nya di dalam diri akan mengaburkan Beliau sepenuhnya, dan hanya ‘aku’ ahamkara ini yang muncul. Pendekatan ini disebut dengan jnana. 

Ketiga, ada pula yang mengatakan bahwa ‘berserah kepada-Nya’ adalah larut dalam sebuah proses semesta. Dunia ini bukan statik, melainkan dinamis, berkembang dan menuju ke arah yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, menyatu dengan proses inilah yang dimaksudkan sebagai ‘berserah kepada-Nya’. Seperti misalnya: saya makan nasi, kita menyatu dalam ‘makan’ dan yang ada hanya makan saja. Saya dan nasi telah lebur, dan yang tersisa hanya ‘makan’. ‘Saya’ adalah entitas, ‘nasi’ adalah entitas, sementara ‘makan’ adalah proses. Orang yang mampu menyatu dalam proses inilah yang disebut sebagai ‘berserah kepada-Nya’. Mereka yang memiliki pengalaman tentang jalan ini disebut dengan jalan karma. 

Keempat, ada pula yang memiliki pengalaman bahwa ‘berserah kepada-Nya’ berhubungan dengan proses esoteris yang ada di dalam diri. Orang mesti berupaya keras agar mampu terbebas dari pengaruh duniawi. Caranya adalah dengan menginduksi bagian-bagian tubuh, prana, dan bagian lainnya. Tubuh ini adalah bagian dari energi semesta. Untuk mampu memurnikan pengaruh tubuh itu, satu-satunya cara adalah dengan memanfaatkan tubuh itu sendiri untuk melampaui dirinya. Seperti api yang dapat membakar semua bahan bakar yang ada, tetapi setelah bahan bakar itu habis, api akan membunuh dirinya sendiri. Bahan bakar yang berupa panca maha bhuta ini mesti dibakar pengaruhnya, dan setelah semua bahan bakar itu habis, api yang digunakan akan membakar dirinya dan padam dengan sendirinya. Energi di dalam tubuh (yang merupakan bagian dari maya) kita gunakan untuk membakar bahan bakar yang lebih kasar. Setelah semua terbakar, maka energi itu pun akan kembali ke asalnya, sehingga yang ada hanyalah keheningan. Pada saat hening inilah Brahman bisa dikenali. Pemahaman atas ‘berserah kepada-Nya’ seperti ini disebut dengan jalan Raja. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar