nusabali

Tanah Dalam Kosmologi Hindu

  • www.nusabali.com-tanah-dalam-kosmologi-hindu

DALAM kosmologi Hindu, tanah atau pratiwi merupakan ‘ikang prethiwi ya patimbunan ng tatwa kabeh’ — tempat manusia hidup yang dinyatakan sebagai kumpulan semua unsur Panca Maha Bhuta.

Tanah menempati posisi sangat penting bagi krama Bali Hindu. Fungsi tanah sangat bervariasi namun tragedinya sangat mengkhawatirkan dan apokaliptik. Tragedi hilangnya subak, berkurangnya ruang terbuka, alih fungsi jurang dan jeram, dan sebagainya adalah sesuatu yang memprihatinkan walau tak bisa dielakkan?

Garret Hardin (1968), seorang ahli ekologi Amerika yang dikenal dengan Hukum Pertama Ekologi Manusia Hardin, menjelaskan kenapa tragedi tersebut terjadi. Dia menyitir dua prinsip umum yang saling bertikai. Prinsip pertama didasarkan pada hukum konservasi yang mendalilkan bahwa sumber daya di bumi langka. Sedangkan prinsip kedua didasarkan atas pengamatan biologis bahwa semua organisme hidup memiliki kecenderungan yang melekat untuk terus meningkatkan populasi mereka demi mengamankan kelangsungan hidup. Kedua prinsip itu berkoeksistensi dan tidak bisa dinafikan dalam kehidupan. Kedua prinsip tersebut mungkin sewarna dengan konsep ‘rwa bhineda’ dalam filosofi Hindu atau ‘yin-yang’ dalam filosofi China yang bertujuan untuk menyiptakan keharmonisan dan keseimbangan.

Untuk meminimalisir dampak negatif tragedi tanah, maka kedua prinsip itu perlu direformulasi. Pertama, kelangkaan sumber daya menyiratkan bahwa daya dukung ‘padang rumput’ terbatas. Hardin mendefinisikan daya dukung sumber daya sebagai jumlah ‘hewan hidup’ yang dapat ditopang oleh sumber makanan dari tahun ke tahun tanpa mengurangi kualitas padang rumput. Jadi, tanah memiliki daya dukung terbatas secara keruangan. Implikasinya, alih fungsi tanah jangan sampai mengurangi kualitas kehidupan krama Bali. Prinsip kedua direformulasi bahwa pertumbuhan eksponensial yang seharusnya alami dalam ukuran populasi setiap spesies harus diterjemahkan ke dalam ukuran ‘kawanan’ yang dibiakkan dan dikendalikan oleh para ‘penggembala’. Sejalan dengan prinsip ini, pembatasan wisatawan berkunjung semasa pandemi merupakan tindakan preventif. Atau, tatakelola pariwisata budaya perlu diberdayakan agar wisatawan lebih menghormati agama dan budaya setempat, disiplin dalam sikap dan perilaku di tempat-tempat suci, atau di ranah publik terjaga.

Implikasi kedua prinsip ini, yaitu ketika ukuran populasi dan tingkat konsumsi jauh di bawah daya dukung sumber daya yang tersedia, pertumbuhan penduduk dan ekonomi tidak memberikan masalah serius. Dalam kata-kata Hardin, “Selama ada kecukupan ‘padang rumput’ (baca: sumber daya), pembangunan hunian atau sejenisnya tidak perlu dirisaukan asal disosialisasikan dan diawasi secara ketat. Tetapi, apabila daya dukung sumber daya sudah melewati batas, maka perlu regulasi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Misalnya, penegakan hukum pidana tambahan, perampasan keuntungan, penyegelan dengan penerapan citra satelit geospasial forensik dan forensik tanah.”

Ada dua faktor lemahnya penegakan hukum. Pertama, para aparat penegak hukum yang ada belum menginternalisasikan nilai-nilai dari profesinya sebagai penegak hukum, sehingga masih sangat mudah diintervensi dalam penegakan hukum. Kedua, adalah kurangnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya mematuhi aturan hukum yang telah ditetapkan. Di samping itu, bonus demografi dapat menimbulkan dampak negatif. Misalnya, menimbulkan tingginya penurunan daya dukung lingkungan, degradasi lingkungan, dan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pemusatan penduduk pada suatu wilayah, rendahnya tingkat pendidikan penduduk desa, banyaknya penduduk yang tersebar untuk mencari pekerjaan, tingginya angka transmigrasi penduduk ke wilayah yang jarang penduduk, rendahnya kesadaran penduduk melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan. Jadi, model demokrasi mana yang cocok untuk pembangunan wilayah Bali ke depan, pertanyaan yang menuntut kehati-hatian dan kecermatan berpikir. 7

Komentar