nusabali

Indonesia Darurat Programmer, Profesi yang Lagi Hype

  • www.nusabali.com-indonesia-darurat-programmer-profesi-yang-lagi-hype

DENPASAR, NusaBali.com – Indonesia mengalami darurat programmer. Karena ketersediaan tenaga programmer sangat terbatas, sementara kebutuhan di dunia sangat tinggi.

Demikian ungkap Rektor Primakara University I Made Artana SKom MM menyoroti soal profesi yang sedang hype ini. 

“Indonesia dan Bali darurat programmer,” kata Artana di sela-sela media gathering di Denpasar pada Rabu (9/8/2023). 

Walau tak mengungkap rincian data, Arta menyatakan bahwa indikator bisa dilihat dari banyaknya lowongan untuk programmer yang masuk, sementara kemampuan untuk memenuhi ketersediaan lowongan itu tidak ada.

Bahkan walaupun saat ini setiap tahun melahirkan sarjana di bidang IT (Informasi dan Teknologi), namun kompetensi untuk programmer terbilang langka.

“Saya tahu kebutuhan dan obstacle hambatan menjadi seorang programmer,” kata Artana. Karena itulah salah satu Program Studi di Primakara University, S1 Informatika, memacu lahirnya talenta-talenta programmer

Di sisi lain, tantangan untuk mendapatkan programmer di Indonesia pun disebutnya cukup berat. “Programmer di Indonesia semakin langka, karena dari luar negeri juga menyediakan lowongan tersebut,” ungkap Artana.

Lowongan ini pun menjadi daya tarik bagi para programmer di tanah air, karena pekerjaan bisa dilakukan dari Indonesia.

“Ada lowongan dari luar negeri yang remote. Kerja bisa dari sini (Indonesia). Si tenaga kerja tak perlu meninggalkan rumah, seentara penyedia lowongan tidak perlu mengeluarkan bayaran  lebih besar,” kata Artana.

Fenomena ini, lanjut Artana, terlihat bagus di permukaan. Namun, ada dampak bagi industri di tanah air, yakni, kekurangan talenta programmer.

Ia pun mengakui bebebrapa mahasiswanya dipekerjakan oleh industri di Selandia Baru. Dengan pekerjaan secara remote tersebut, si tenaga kerja mendapatkan USD 3.000 hingga 4.000 atau Rp 45 juta – 60 juta per bulan.

Bayaran ini memang lebih murah dari standar di negara setempat yang bisa mencapai USD 10.000. Namun dengan pekerjaan secara remote, maka biaya hidup pun masih tetap lokal.

“Dampak negatifnya semakin susah ketemu programmer bagus, karena pada ke (industri) luar negeri,” ujar Artana.

Sebaliknya, kelangkaan programmer di Indonesia ini membuat programmer dari luar negeri juga masuk ke Indonesia. “Di Jakarta banyak programmer-programmer dari India,” ungkapnya.

Karena itulah, lanjut Artana, kampus yang dipimpinnya sangat antusias mengembangkan talenta-talenta programmer Indonesia, khususnya dari Pulau Dewata.

Saat ini diakui ada belasan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa programming. “Kalau ada yang sudah belajar menjadi programmer sejak dini, kami akan berikan beasiswa programing,” tegasnya.

Artana pun memotivasi para calon mahasiswa untuk berani mengambil disiplin ilmu ini. Diakui walaupun mahasiswa IT diminati sesuai tren, namun programmer dipersepsikan sulit sehingga ada ketakutan menekuni bisang ini. 

“Memang sedikit sulit, tapi bisa dipelajari. Ambil bidang yang menantang, jangan mau yang gampang saja. Karena nanti akan dibayar murah. Sebaliknya belajar sulit nanti akan dibayar mahal,” pesan Artana.

Komentar