nusabali

Pedagang dan Krama Tionghoa Padati Palinggih Ratu Subandar Besakih

  • www.nusabali.com-pedagang-dan-krama-tionghoa-padati-palinggih-ratu-subandar-besakih

AMLAPURA, NusaBali
Kalangan pedagang dan krama (warga) Tionghoa memadati palingih Ida Bhatara Ratu Subandar dan Ida Ratu Ulang Alu.

Suasana persembahyangan ini berlangsung sejak Puncak Karya Agung Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Penataran Agung Besakih, Purnama Kadasa, Buda Umanis Prangbakat, Rabu (5/4). Lokasi palinggih Ida Bhatara Ratu Subandar, dan linggih Ida Bhatara Ulang Alu di Mandala V Pura Penataran Agung Besakih, Banjar Besakih Kangin, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem.

"Pamedek ramai bersembahyang saat hari libur. Krama pedagang dan krama Tionghoa berbaur," jelas Jro Mangku Ketut Pica, pangayah di pura itu, di Kawasan Pura Besakih, Selasa (11/4).

Sesuai keyakinan, katanya, di zaman dulu kalangan pedagang memuja Ida Bhatara Ulang Alu terutama pedagang keliling (pangalu) sering sembahyang di pura tersebut. Maka, para pedagang turun-temurun sembahyang terutama saat rangkaian Karya Agung Ida Bhatara Turun Kabeh. Krama Tionghoa muspa di linggih Ida Bhatara Subandar. Palinggih tersebut dihias pernak-pernik budaya Tionghoa. Kedua palinggih itu berdampingan di sisi barat, di Mandala V Pura Penataran Agung Besakih.

Sedangkan di Mandala V, ada sejumlah palinggih. Di antaranya,  Meru Tumpang Solas linggih Ida Bhatara Ratu Sinaring Jagat, palinggih Ida Bhatara Surya Candra, palinggih Ida Bhatara Hyang Widyadara dan Widyadari khusus untuk tempat sembahyang pragina penabuh dan penari. Tujuannya, agar mereka memperoleh taksu dan lain-lain.

Tahun 2016 sempat ada pamangku keturunan Tionghoa, Jro Padma Rajesvari, ngayah di pura itu. Belakangan tidak terlihat lagi. Para pedagang yang datang sembahyang kata Jro Mangku Pica, untuk mohon berkah, agar lancar dalam menjalankan usahanya. Ida Ratu Ulang Alu diyakini sebagai tempat memohon restu dan perlindungan bagi para pedagang.

Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa) Karangasem Thomas Prasetyo mengatakan, warga Tionghoa sudah banyak bersembahyang sejak puncak Karya Agung Ida Bhatara Turun Kabeh. "Sepintas sulit membedakan warga pribumi dengan Tionghoa, secara fisik terlihat sama, kulitnya sama-sama sawo matang, matanya tidak sipit lagi. Apalagi sama-sama mengenakan pakaian adat ke pura, terlihat sama. Kami tiap tahun sembahyang di sana," kata Thomas Baskara. *k16

Komentar