nusabali

Dresta Mendisiplinkan Krama Ngayah, Wajib Bertelanjang Dada

Tradisi Magibung di Desa Adat Pumahan Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Buleleng

  • www.nusabali.com-dresta-mendisiplinkan-krama-ngayah-wajib-bertelanjang-dada

Piodalan Pura Desa Adat Pumahan memang dilaksanakan setiap Tumpek Landep, namun tradisi magibung hanya dilakukan saat piodalan agung setiap satu tahun sekali.

SINGARAJA, NusaBali

Ratusan krama lanang (warga adat laki-laki) Desa Adat Pumahan, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Buleleng duduk bersila berderet dan berhadap-hadapan satu dengan yang lainnya. Di tengah-tengah deret panjang telah tersaji nasi yang beralaskan klatkat (anyaman bambu) dan daun pisang. Di atas dan di samping nasi juga telah tersedia berbagai lauk pauk.

Potret tersebut terjadi di jaba tengah Pura Desa Adat Pumahan pada Saniscara Kliwon Landep (Tumpek Landep), Sabtu (5/11). Mereka sedang melaksanakan tradisi magibung serangkaian upacara piodalan agung di Pura Desa setempat. Uniknya saat menyantap makanan yang telah disediakan dan disiapkan bersama ini, krama lanang wajib menyantapnya dengan bertelanjang dada, membuka baju yang dikenakan.

Kelian Desa Pumahan, Made Rida dihubungi, Minggu (6/11) menjelaskan tradisi magibung ini sudah dilaksanakan secara turun temurun dari tetuanya. Tradisi magibung krama lanang akan dilangsungkan saat hari H piodalan, yakni pada Sabtu Kliwon Landep, menjelang puncak karya yang dilangsungkan malam hari.

“Magibung ini dilaksanakan usai krama lanang selesai ngayah. Biasanya krama sudah turun ngayah sejak H-3 piodalan, hingga hari H. Nah, saat hari H pagi jam 6 sudah mulai proses mebat (meramu dan memasak), lalu setelah selesai yang ngaturang ayah wajib nunas (makan di pura) dengan cara magibung,” ucap Rida.

Piodalan Pura Desa Adat Pumahan memang dilaksanakan setiap Tumpek Landep. Namun tradisi magibung hanya dilakukan saat piodalan agung setiap satu tahun sekali. Seluruh krama disebutnya wajib untuk ngayah dalam rangkaian piodalan. Kini ada sekitar 200 KK di Desa Adat Pumahan sebagai pangempon pura desa.

“Makna nunas ajengan melalui tradisi magibung ini salah satu ketertiban krama untuk ngayah, selain juga menciptakan kerukunan antara krama. Tidak hanya krama, prajuru, jro mangku  juga magibung tapi tempatnya di jeroan pura,” imbuh dia.

Saat magibung, satu petak suguhan nasi di atas klatkat itu untuk empat orang krama. Dalam satu paket hidangan magibung juga dilengkapi dengan jukut balung (campuran iga dan tulang babi dicampur nangka dan daun belimbing) dan komoh (kuah kaldu babi yang dicampur daging cincang dan bumbu genap). Lalu di setiap sudut untuk masing-maisng krama juga disiapkan satu bungkus lawar (campuran kelapa parut, daging babi, darah merah dan bumbu genap) dan gecok (lawar putih/tanpa darah).

Seluruh hidangan itu kemudian disantap bersama dengan posisi duduk bersila saling berhadap-hadapan. Krama juga wajib membuka baju saat magibung alias bertelanjang dada. Rida mengaku belum mengetahui pasti makna pelepasan baju saat magibung. Sebab laku tradisi itu sudah didapati secara turun temurun.

Setelah usai melaksanakan tradisi magibung, krama akan pulang ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan puncak piodalan pada, Sabtu malam. Seluruh krama pun akan kembali berkumpul di areal pura desa sejak petang. “Prosesi piodalannya mulai jam 11 malam. Sebelumnya juga ada tari rejang renteng. Tidak ada pantangan dan ritual khusus, hanya mengatur larangan krama yang sedang cuntaka pribadi dan halangan kematian saja,” jelas Rida. *k23

Komentar