nusabali

Tidak Pernah Patok Harga, Sempat Jadi Penerjemah Schapelle Corby

  • www.nusabali.com-tidak-pernah-patok-harga-sempat-jadi-penerjemah-schapelle-corby

Sebagai penerjemah di pengadilan, Wayan Ana biasanya dibayar kisaran 75 dolar AS per jam, dengan durasi waktu minimal 2 jam. Misal, jika sidang hanya berjalan 10 menit, dia tetap dibayar untuk 2 jam

I Wayan Ana MHum, Pionir Penerjemah Terdakwa Warga Negara Asing di PN Denpasar


DENPASAR, NusaBali
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang telah dikenal hingga mancanegara, setiap tahunnya Bali dikunjungi jutaan turis asing. Sebagian dari mereka harus berurusan dengan hukum, mulai masalah keimigrasian, narkotika, terlibat keributan, hingga pencurian. I Wayan Ana MHum, 52, kerap mendampingi mereka sebagai penerjemah dalam sidang pengadilan. Wayan Ana sendiri tak pernah mematok harga dalam menjalankan profesinya.

Dalam proses persidangan memang dibutuhkan penerjemah lisan untuk menjembatani komunikasi antara terdakwa warga negara asing (WNA) dengan hakim, jaksa, dan penga-cara. Pasalnya, orang-orang asing yang berperkara tersebut umumnya tidak memahami Bahasa Indonesia yang digunakan dalam persidangan. Nah, dengan adanya interpreter (penerjemah lisan), kendala bahasa bisa diatasi dan persidang pun bisa berjalan.

Salah satu penerjemah lisan pioner (paling awal) di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar adalah Wayan Ana. Pria asal kawasan seberang Desa Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung ini sudah selama 29 tahun malang sebagai penerjemah lisan di PN Denpasar, sejak Terhitung sejak 1988. Saat ini, Wayan Ana merupakan satu dari empat juru bahasa yang ada di PN Denpasar. Saking berpengalamannya, dia bahkan kerap diminta menjadi penerjemah terdakwa asing dalam persidangan di daerah lain, termasuk luar Bali.

Wayan Ana mengisahkan, dirinya terjun sebagai penerjemah lisan di pengadilan saat masih kuliah di Fakultas Sastra Unud tahun 1988. “Waktu itu, saya diminta oleh dosen saya, Prof Dr Made Suastra untuk menggantikan dirinya sebagai penerjemah di PN De-npasar, karena beliau berhalangan. Saat itu, saya masih Semester IV,” kenang Ana kepada NusaBali di PN Denpasar, beberapa hari lalu.

Sebagai langkah awal, Ana kemudian diajak oleh sang dosen untuk melihat suasana persidangan. “Jadi, semacam kaderisasi. Waktu itu, Pak Suastra akan melanjutkan studi S3 ke Austalia. Karena itu, saya yang diminta melanjutkan tugas-tugasnya sebagai penerjemah di pengadilan. Dari sanalah awal karier saya sebagai penerjemah hingga saat ini,” terang Ana yang kini sedang fokus mengejar program S3 dengan mengambil konsentrasi terjemahan bidang hukum.

Salah satu klien terkenal Ana dalam profesinya sebagai penerjemah adalah Schapelle Leigh Corby, Ratu Mariyuana 4,2 kg asal Australia, si cantik terpidana seumur hidup. Ana juga jadi penerjemah kelompok Bali Nine. Menurut Ana, sebagai interpreter di pengadilan, kunci utamanya adalah harus menguasai kedua bahasa secara fasih, baik, dan benar. Selain itu, juga bisa menerjemahkan dari bahasa satu ke bahasa yang lain (interlengual).

Di samping penguasaan bahasa, penerjemah lisan juga harus menguasai aspek hukum, serta penguasaan budaya. Sebab, budaya si terdakwa WNA sama sekali tidak mengerti dengan budaya hukum di Indonesia. “Misalnya, soal pertanyaan jenis kelamin dan agama. Bagi orang asing, mungkin ini tidak lazim. Ini harus kita jelaskan kepada klien bahwa itu normal di sini,” lanjut dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Unud ini.

Sedangkan mengenai aspek hukum, penerjemah harus menguasai bidang yang akan diterjemahkan. Istilah yang dipakai harus mendekati. “Misalnya, istilah perbuatan melawan hukum, diterjemahkan act against the law kan sudah cukup, asal si klien mengerti. Kita juga harus baca dan paham isi pasal-pasal yang disangkakan kepada terdakwa,” tutur interpreter kelahiran 5 Agustus 1965 ini.

Ana menambahkan, menjadi interpreter di pengadilan, tidak ada hubungannya dengan kesalahan terdakwa. Kehadiran di ruang sidang adalah karena ditugaskan untuk menjembatani komunikasi antara terdakwa dengan hakim, jaksa, dan pengacara. “Katakan apa yang dikatakan dan tanyakan apa yang ditanyakan. Jangan coba intervensi atau menyimpulkan,” katanya.

Ana mengakui, jumlah penerjemah lisan di pengadilani saat ini memang masih minim. Jumlahnya tak sebanding dengan jumlah kasus yang melibatkan orang asing. Dan, yang paling merepotkan adalah ketika yang bermasalah adalah warga asing yang tidak menguasai Bahasa Inggris. Soalnya, penerjemah lisan di luar Bahasa Inggris tidak selalu ada.

Karena itu, tak jarang harus digunakan sistem relay. Maksudnya, penerjemahan dilakukan dua kali dengan Bahasa Inggris sebagai penghubung. Ana mencontohkan, dirinya pernah menangani terdakwa asal Bulgaria yang tidak bisa Bahasa Inggris. Akhirnya, Ana atau jaksa dan pengacara mencarikan penerjemah bahasa Bulgaria-Inggris. Setelah itu, baru dia menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.

Ana menyatakan, banyak suka dan duka yang telah dialaminya selama dirinya bergelut di dunia penerjemahan lisan di pengadilani. Sisi sukanya, dengan pekerjaan ini, pergaulannya bisa menjadi lebih luas. Ana pun bisa mengenal banyak pengacara, hakim, jaksa, polisi, dan wartawan. “Dari pekerjaan ini, saya bisa mendapat teman asal berbagai kalangan,” ujar ayah dua anak dari pernikahannya dengan Gusti Ayu Raka Arthawati ini.

Sedangkan sisi dukanya, kata Ana, adalah bosan menunggu waktu persidangan, selain kadang mendapatkan kasus yang kliennya belum tentu paham Bahasa Inggris, sehingga harus menggunakan bahasa isyarat. Mengenai pendapatan dari profesi sebagai penerjemah terdakwa asing di pengadilan, menurut Ana, hasilnya cukup menjanjikan, asalkan tekun melakoni. Namun, Anba mengaku tak pernah mematok harga. “Boleh tanya ke para pengacara, jaksa, hakim, saya tidak pernah mematok harga,” kilahnya.

Namun demikian, Ana biasanya dibayar kisaran 75 dolar AS per jam dengan durasi waktu minimal 2 jam. “Artinya, untuk sidang selama 10 menit pun, saya dibayar 2 jam,” ujar Ana.

Ketika ditanya apakah profesi penerjemah khususnya di pengadilan harus memiliki lisensi, Ana tidak sependapat. Pasalnya, saat ini saja jumlah interpreter masih sangat kurang. Menurut Ana, mungkin nanti lisensi diperlukan. Yang terpenting, penerjemah sudah memiliki sertifikat penerjemah hukum dan punya latar pendidikan bahasa yang sesuai. Itu saja sudah cukup, karena sebelum sidang, penerjemah lisan juga disumpah menurut UU. * rez

Komentar