nusabali

Gerakan Ngilut, Simbolik Peran Wanita sebagai Sakti Kehidupan

Tari Rejang Ilud dari Desa Buahan yang Baru Ditetapkan Jadi WBTB Nasional

  • www.nusabali.com-gerakan-ngilut-simbolik-peran-wanita-sebagai-sakti-kehidupan

Selain Tari Rejang Ngilud dari Desa Buahan, Kecamatan Payangan, item kebudayaan di Kabupaten Gianyar yang juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional tahun 2021 adalah tradisi ritual Ngerebeg dari Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallang

GIANYAR, NusaBali

Tari Rejang Ilud di Desa Buahan, Kecamatan Payangan, Gianyar baru saja ditetapkan pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Berbeda dari tarian rejang pada umumnya, gerakan tubuh dalam Tari Rejang Ngilud sangat khas yakni ‘ngilut’, yang merupakan simbolik peran wanita sebagai sakti dalam kehidupan manusia.

Tari Rejang Ilud awalnya merupakan tari sakral untuk pengiring berbagai upacara keagamaan di Desa Buahan, Kecamatan Payangan. Namun, Tari Rejang Ilud sempat ‘menghilang’ selama 15 tahun, tergantikan oleh Tari Rejang Dewa. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan warisan tradisi budaya yang adi luhung ini, kemudian dilakukan upaya rekonstruksi.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar, I Gusti Agung Sri Widyawati, mengatakan upaya rekonstruksi Tari Rejang Ilud sudah dilakukan sejak Juli 2013 silam. Upaya itu disertai dengan pembuatan film dokumenter oleh Kader Pelestari Budaya Kabupaten Gianyar, 31 Januari-2 Februari 2014. “Film dokumenter itulah yang diharapkan menjadi salah satu media pembelajaran bagi generasi muda untuk mempelajari Tari Rejang Ilud dari Desa Buahan,” jelas IGA Sri Widyawati kepada NusaBali di Gianyar, Rabu (24/11) lalu.

Pasca rekonstruksi, Tari Rejang Ilud kemudian diusulkan Dinas Kebudayaan Gianyar ke pusat sebagai WBTB tahun 2021. Ternyata, tari Rejang Ilud ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai WBTB, 30 Oktober 2021 lalu. Ada dua item kebudayaan dari Gianyar yang ditetapkan menjadi WBTB tahun 2021. Satunya lagi adalah Tradisi Ritual Ngerebeg di Desa Adat Tegallalang, Kecamatan Tegallang, Gianyar.

Sesuai namanya, tarian sakral dari Desa Buahan ini disebut Tari Rejang Ilud, karena gerakan tarinya yang ngilut, identik dengan bodhyagiri mudrā, yaitu sikap tangan menggenggam sesuatu. Menurut IGA Sri Widyawati, gerakan mudra tersebut memiliki makna keteguhan pengetahuan/kesadaran.

"Gerakan ngilut itu dapat kita asumsikan sebagai simbol pemusatan kekuatan Ida Sang Hyang Widhi dalam menurunkan anugerah yang disimbolkan pada gerakan ngayab, yang disebut vara mudrā (gerakan memberikan anugerah) dan menghaturkan persembahan," jelas Sri Widyawati.

Makna simbolik yang terkandung dalam Tari Rejang Ilud secara umum, tidak berbeda dengan tari rejang lainnya. Namun, kata Sri Widyawati, adanya gerakan ngilut semakin menguatkan peran wanita sebagai sakti dalam kehidupan manusia. Wanita bukan hanya mampu memberikan persembahan bagi kesucian suatu wilayah yang tercermin dari gerakan ngayab, namun juga dapat bertindak tegas mengusir atau menghalau berbagai bahaya dan bencana dengan kekuatannya sebagai sakti. Itu ditunjukkan dengan adanya kombinasi gerakan ngayab dan gerakan berkacak pinggang serta meluruskan tangan, yang disebut dengan abhāya mudrā (gerakan menolak bahaya).

Tari Rejang Ilud diawali dengan gerakan menyatukan dua ibu jari kanan dan kiri serta jari lainnya, yang dirapatkan seolah membentuk segitiga. Gerakan ini disebut yoni mudrā, yang bermakna menstanakan kekuatan sakti dalam diri penari, sehingga membangkitkan kesiapan diri penari untuk melakukan tarian sebagai wujud persembahan utama.

Tahapan gerakan Tari Rejang Ilud terdiri dari dua gerakan pokok: manglot dan ngilut. Gerakan manglot identik dengan vitarka mudrā, yang bermakna munculnya kesadaran dan pembelajaran bagi diri sendiri, sehingga adanya kesadaran spiritual dalam jiwa akan kekuatan diri untuk menangkal kekuatan negatif. Sedangkan gerakan ngilut itu merupakan gerakan bodhyagiri mudrā, yaitu gerakan seperti menggeng-gam sesuatu sebagai simbol keteguhan kesadaran, pengetahuan, dan kekuatan itu, sehingga semakin menyatu dalam diri sang penari.

Sri Widyawati mengatakan, gerakan ini disandingkan dengan gerakan memutar gerak tangan searah jarum jam yang disebut dengan purwa daksina, yaitu simbol penyucian dan kekuatan utpeti (penciptaan). Gerakan lain dalam tahap pertama ini dikombinasikan pula dengan gerak meluruskan tangan kiri dan telapak tangan ditegakkan ke atas, yang identik dengan gerakan abhaya mudrā yaitu simbol gerakan menolak marabahaya.

"Gerakan tangan ini sesekali akan berpindah ke tengah yaitu di depan dada, yang merupakan inti gerakan mudra. Mudra ini menyimbolkan bagaimana manusia bisa senantiasa menolak segala pengaruh negatif dari luar. Bagi wanita, pusat energinya lebih berada pada arah kiri, bisa kita lihat dari konsep Purusa-Pradana, yaitu kekuatan Pradana menguasai arah kiri karena berpusat pada kekuatan pertiwi," jelas Sri Widyawati.

Sedangkan tahapan kedua, menunjukkan suatu gerakan ngilut di depan dada dan tangan kirinya menyilang di depan dada. Gerakan ini identik dengan gerakan vajrahuṇkara mudrā, yaitu gerakan tangan menyilang ke depan dada, di mana salah tangan seolah sedang memegang bajra. Sikap ini bermakna adanya pemusatan energi yang ada dalam diri, yang selanjutnya digunakan untuk memberikan perlindungan dan penjagaan/proteksi diri dalam menghalau kekuatan negatif.

Gerakan memutar bajra itu dikombinasikan dengan gerakan ngilut arah purwa daksina, sebagai simbol penyucian. Perpaduan antara vajrahuṇkara mudrā dan ngilut purwa daksina ini bermakna untuk memproteksi diri, bukan dengan kekuatan dari senjata, melainkan memproteksi diri dengan penyerahan diri dan kesucian untuk memusatkan kekuatan dalam tubuh.

Sementara, tahapan ketiga Tari Rejang Ilud terdiri dari tiga gerakan utama: manglot dikombinasikan dengan ngilut sambil berkacak pinggang (nungked bangkiang), manglot dikombinasikan dengan ngilut sambil gerakan tangan diluruskan, dan gerakan mencakupkan tangan di dada.

Pergantian gerakan dari ngilut dengan nungked dan gerakan ngilut dengan tangan lurus menunjukkan adanya perbedaan kedudukan. Ketika gerakan ngilut dengan nungked itu menunjukkan penari dalam kesadaran yang berkedudukan sebagai daiva stana (meraga dewa), ditunjukkan dengan gerakan ngilut lebih tinggi yang menunjukkan telah berstananya kekuatan Tuhan dalam manifestasinya sebagai kekuatan sakti. Ngungked itu sendiri menyimbolkan bahwa dalam kedudukan ini manusia harus senantiasa menghormati perintah dan petunjuk Tuhan, sehingga terjadilah hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia.

Sedangkan pada gerakan ngilut tanpa nungked, menunjukkan adanya pergantian kedudukan menjadi manava stana (maraga manusa), yang bermakna kesadaran diri sebagai manusia menyebabkan kesejatian manusia sejati (atman) diliputi oleh maya yang menyebabkan manusia mengalami kegelapan pikiran (avidya). Dalam kedudukan itulah manusia harus menyadari dirinya agar kembali kepada kesejatian sejati, yakni mulai menstanakan kekuatan Tuhan dalam diri agar kembali dapat men-capai kedudukan daiva stana.

Gerakan ini menunjukkan hubungan horizontal antara sesama manusia. "Jika gerakan itu dikombinasikan, maka akan terbentuk tanda tambah yang merupakan simbol Swastika, yaitu simbol kehidupan," jelas istri dari Perbekel Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Dewa Sumerta ini.

Sebaliknya, tahapan keempat tari Rejang Ilud terdiri dari tiga gerakan inti, masing-masing ngayab yang dikombinasikan dengan berkacak pinggang (nungked), gerakan ngayab yang dikombinasikan dengan meluruskan tangan, dan gerakan añjali mudrā. Inti dari gerakan ngayab ini merupakan gerakan yang identik dengan gerakan sevana/naivedya mudrā, yaitu gerakan menghanturkan persembahan yang menyimbolkan adanya ketulusikhlasan dalam melakukan persembahan.

Gerakan ngayab ini juga identik dengan varamudrā, yaitu gerakan tangan sedang memberikan anugerah. “Gerakan ini menunjukkan adanya kegiatan pemberian anugerah dari Tuhan yang kita terima kepada manusia. Karena fungsi ngayab sesuai dengan konteks upacara dan ritual sendiri merupakan menghaturkan sesaji kepada Tuhan dan setelah dihaturkan, maka anugerah dari Tuhan itu kemudian diterima oleh manusia,” papar Sri Widyawati.

Tahapan-tahapan gerakan Tari Rejang Ilud merupakan sebuah rangkaian gerakan mudra, yang menunjukkan adanya pemusatan kekuatan sakti dalam rangka memutar roda kehidupan dan proses penyucian diri agar mencapai kesadaran dan terlepas dari awidya. Nah, dengan keikhlasan dan kepasrahan diri itulah tubuh ini dijadikan sarana bhakti dan karma untuk mewujudkan keharmonisan kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya. *nvi

Komentar