nusabali

Kisruh Tanah Jero Kuta Pejeng Berakhir Damai

Sanksi Pengusiran Dua Krama Kanorayang Pun Dicabut

  • www.nusabali.com-kisruh-tanah-jero-kuta-pejeng-berakhir-damai

Bupati Agus Mahayastra sampaikan apresiasi kepada krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng, karena telah berkorban untuk Gianyar khususnya Desa Pejeng

GIANYAR, NusaBali

Kisruh penyertifikatan tanah teba di Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yang sempat diwarnai ancaman pengusiran terhadap 2 krama kanporayang dan sanksi adat terhadap beberapa krama lainnya, berakhir damai. Keduabelah pihak, yakni Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng Cokorda Gede Putra Pemayun dan kelompok krama yang keberatan atas penyertifikatan tanah teba, sepakat berdamai dan telah tandanangani kesepakatan damai, Jumat (22/10) pagi.

Penandatanganan kesepakatan damai kasus penyertifikatan tanah teba Desa Adat Jero Kuta Pejeng ini dilakukan di halaman belakang Kantor Bupati Gianyar, Jumat pagi sekitar pukul 10.00 Wita. Acara penandatanganan disaksikan langsung Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra, Ketua DPRD Gianyar I Wayan Tagel Winarta, Kapolres Gianyar AKBP I Made Bayu Sutha Sartana, Dandim 1616/Gianyar Let-kol Inf Hendra Cipta SSos, dan Sekda Kabupaten Gianyar I Made Gede Wisnu Wijaya.

Penyelesaian masalah penyertifikatan tanah teba di Desa Adat Jero Kuta Pejeng ini dikebut, karena keduabelah pihak sama-sama 'tersandera'. Bendesa Adat Cokorda Gede Putra Pemayun sendiri sudah menyandang status tersangka dugaan pemalsuan surat, sementara 2 krama yang kena sanksi kanorayang punya sisa waktu sampai Minggu (24/10) untuk ang-kat kaki dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng, sesuai hasil paruman agung. Dua (2) krama yang terancam diusir itu adalah I Made Wisna dan I Ketut Suteja.

Ada 8 poin kesepakatan damai yang ditandatangani. Pertama, keduabelah pihak sepakat untuk tanah sikut satak disertifikatkan atas nama Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Kedua, keduabelah pihak sepakat untuk membatalkan sertifikat tanah teba yang menjadi objek sengketa, sehingga status tanah tersebut kembali seperti semula yakni tidak bersertifikat (dinolkan).

Ketiga, apabila ada krama yang menginginkan pengajuan sertifikat terhadap tanah sebagaimana disebutkan pada poin 2 di atas, sepanjang memiliki bukti-bukti kepemilikan atas hak yang jelas dan sah, maka prajuru adat maupun prajuru dinas tidak boleh menghalangi. Mereka wajib memberikan pelayanan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, Bupati Gianyar akan mengawal proses penyertifikatan dimaksud pada poin 3, sehingga tahapan-tahapan penyertifikatan berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kelima, dengan adanya kesepakatan poin 1 dan poin 2 di atas, selanjutnya pihak pertama bersedia untuk mencabut laporan/pengaduan perihal pemalsuan surat yang dibuat oleh pelapor I (1 Made Wisna) pada 21 Oktober 2020 dengan terlapor pihak kedua dan laporan perihal pemalsuan surat yang dibuat oleh pelapor II (I Ketut Suteja) tanggal 24 Juni 2020 dengan terlapor pihak kedua, sehingga proses hukum bisa dihentikan.

Keenam, dengan adanya kesepakatan pada poin 1, poin 2, dan poin 5 tersebut di atas, selanjutnya pihak kedua (Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng) bersedia mencabut sanksi adat yang dijatuhkan kepada pihak pertama, sesuai dengan Perarem Penepas Wicara Desa Adat Jero Kuta Pejeng Nomor: 03/KL KD/DAJKP/X/2021 tanggal 10 Oktober 2021 dan Perarem Penepas Wicara Desa Adat Jero Kuta Pejeng Nomor: 04/KL KD/DAJKP/X/2021 tanggal 10 Oktober 2021, sehingga status krama yang dikenakan sanksi kembali seperti semula tanpa dikenakan penanjung batu dan penyangaskara.

Ketujuh, setelah disepakati oleh keduabelah pihak dengan ditandatanganinya surat kesepakatan bersama ini, maka surat ini dapat digunakan sebagai dasar untuk permohonan pencabutan laporan polisi dan pengaduan di Polres Gianyar, permohonan pembatalan sertifikat di Kantor BPN Kabupaten Gianyar, dan pencabutan semua sanksi adat yang telah dikeluarkan oleh pihak kedua. Kedelapan, mlalui surat kese-pakatan ini, para pihak tersebut di atas berjanji untuk mentaati semua kesepakatan. Apabila para pihak ada yang mengingkarinya, maka akan bersedia dituntut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Yang menandatangani kesepakatan damai ini dari pihak pertama, masing-masing I Made Wisna (pelapor 1), I Ketut Suteja (pelapor 2), I Ketut Puja (perwakilan Banjar Intaran), I Ketut Suparta (perwakilan Banjar Pande), dan I Wayan Ngenteg (perwakilan Banjar Guliang). Sedangkan pihak kedua yang tandatangan adalah Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Cokorda Gde Putra Pemayun.

Salah satu krama kanorayang yang akhirnya bebas dari sanksi pengusiran, I Made Wisna, berterima kasih kepada Pemkab Gianyar dan jajaran Forkopimda Gianyar. Made Wisna menyambut baik perdamaian ini, sepanjang sesuai dengan komitmen dalam butir kesepakatan.

"Sudah dituangkan semua dalam kesepakatan. Jajaran desa adat dan dinas agar tidak mempersulit di kemudian hari. Kami yakin, Bupati Gianyar akan mengawal ini sampai selesai," ujar Made Wisna yang kemarin didampingi penasihat hukumnya, Putu Puspawati.

Terhadap status tanah teba yang saat ini dinolkan alias tidak bersertifikat, Made Wisna dan puluhan krama lainnya yang sebelumnya keberatan hingga terancam sanksi adat, akan segera mendatangi BPN Gianyar. "Segera kami mohonkan ke BPN Gianyar agar tanah teba dikembalikan atas nama krama," papar Wisna.

Sementara itu, Bupati Agus Mahayastra menyampaikan apresiasi kepada krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng, karena mereka telah berkorban untuk Gianyar, khususnya Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring. "Hari ini (kemarin) adalah kemenangan kita semua. Ini hari yang sangat luar biasa. Semua di sini berkorban untuk Gianyar. Semua di sini mengalah secara pikiran, material, waktu, tenaga, dan emosi. Semua hanya satu kata untuk Gianyar dan Desa Pejeng,” tandas Mahayastra.

Menurur Mahayastra, masalah ini sejatinya sangat sederhana. Tidak perlu mencari pembenaran, karena hukum dibuat untuk mensejahterakan rakyatnya, demi melindungi rakyatnya. Penyelesaian masalah dengan cara damai, merupakan cara-cara terhormat dan bukti kedewasaan. "Dengan ditandatanganinya kesepakatan damai, itu adalah hati kita. Di sanalah tumpahan hati kita, keseriusan kita untuk berkomitmen,” jelas Bupati asal Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar yang juga Ketua DPC PDIP Gianyar ini.

Mahayastra juga meyakini penyelesaian masalah dengan cara damai ini akan menjadi percontohan. Pasalnya, tak menutup kemungkinan permasalahan serupa juga akan terjadi di desa-desa lainnya di Gianyar maupun daerah lain. “Ciri orang besar adalah bisa memaafkan orang lain. Orang yang besar bisa mengoreksi dirinya dan itu sudah kita lakukan. Kita semua adalah orang besar,” tandas mantan Ketua DPRD Gianyar dua kali periode (2004-2009, 2009-2012) ini. *nvi

Komentar