nusabali

Menjaga Ketahanan Pangan Bali di Tengah Covid-19

  • www.nusabali.com-menjaga-ketahanan-pangan-bali-di-tengah-covid-19

Sudah bukan rahasia lagi jika ekonomi Bali sejatinya hanya ditopang oleh sektor Pariwisata. Keberadaan sektor lainnya seperti sektor angkutan dan perhubungan, restoran, industri, pertanian berkembang dikembangkan untuk mendukung sektor pariwisata.

Penulis : Putu Simpen Arini, SST,M.Si
Kepala Seksi Statistik Sosial BPS Kabupaten Bangli

Sektor pariwisata sendiri sangat sensitif terhadap kejadian alam, keamanan, dan kesehatan. Ketika Dunia dihantam virus Covid-19, hal yang paling pertama dilakukan adalah melarang perjalanan. Kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi sektor Pariwisata. Akibatnya, pariwisata menjadi industri pertama yang tumbang. Sebagai daerah yang bergantung pada pariwisata, ekonomi Bali langsung terjun bebas. Hal ini tercermin dari laporan Badan Pusat Statistik yang mencatat pertumbuhan ekonomi Bali mengalami kontraksi sebesar -1,14% (yoy) pada triwulan I 2020 yang utamanya disumbangkan oleh sektor Pariwisata. 

Dampak Covid-19 terhadap ekonomi bermula dari sisi ketersediaan stok (supply), pertama-tama para pekerja terinfeksi Covid-19 sehingga memaksa isolasi dan akhirnya mengurangi kemampuan perusahaan memproduksi barang/jasa (supply shock). Kemudian hal ini berimbas kepada sisi permintaan (demand shock). Proses ilosasi membuat perusahaan menutup sementara atau permanen usaha mereka dan merumahkan para pekerja. Dampaknya masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan sehingga mereka mengurangi konsumsi (demand). Kedua hal ini menyebabkan perlambatan ekonomi menuju krisis ekonomi. Ekonom senior Chatib Basri menilai pandemi COVID-19 mengakibatkan krisis yang lebih parah dibandingkan krisis 1998. Padahal krisis yang terjadi puluhan tahun silam itu telah sangat memporak-porandakan perekonomian Indonesia. 

Guncangan perekonomian Bali akibat Covid-19 juga lebih fatal dibandingkan akibat bom bali. Ketika bom Bali, para wisatawan tidak terdampak secara ekonomi. Kepercayaan mereka kepada Bali dengan cepat pulih setelah Bali mampu meningkatkan keamanan dan mengungkap pelaku Bom bunuh diri kala itu. Begitu pula ketika pariwisata Bali dihadapkan pada kejadian alam meletusnya gunung merapi, pariwisata Bali pulih dengan cepat. Kini akibat pandemi Covid, semua orang didunia terdampak. Usaha besar, usaha kecil, masyarakat lokal, masyarakat eksternal, semuanya terdampak Covid-19. Sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)  yang menyelamatkan Indonesia pada krisis 1998 juga turut terdampak akibat pandemi ini. Tidak ayal hal ini mendorong banyak orang terjun ke dalam lembah kemiskinan dan memicu munculnya orang miskin baru. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Smeru Institut, jumlah penduduk miskin baru di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan bertambah 1,3 juta orang akibat Covid-19. Bahkan jika Covid-19 berlanjut ke tahun 2021, jumlah penduduk miskin baru diperkirakan bertambah  hingga 8,5 juta orang. 

Dahsyatnya dampak pandemi ini, mengingatkan kita untuk tidak bertumpu sepenuhnya pada sektor Pariwisata. Fokus pembangunan kepada ketahanan pangan sangat diperlukan sembari menunggu pulihnya sektor pariwisata sebab kita tidak pernah tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Terkait dengan ketahanan pangan, pemenuhan pangan Bali saat ini masih sangat bergantung pada wilayah luar. Beras misalnya, hasil Survei Pola Distribusi Perdagangan Beras Tahun 2019 menunjukkan 52,41 persen beras yang beredar di Bali dipasok oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB. Padahal Bali dari dahulu sangat terkenal dengan subaknya, bahkan Kabupaten Tabanan dikenal sebagai icon lumbung beras Bali. 

Melihat fenomena ini, kini pemerintah kembali berkeinginan mengembangkan potensi pertanian dan industri kerajinan rakyat berbasis kearifal lokal selain sektor pariwisata. Sejatinya wacana mengembangkan sektor pertanian di Bali telah dilakukan dari beberapa tahun sebelumnya. Salah satunya melalui kebijakan Pergub No 99 Tahun 2018. Melalui kebijakan ini toko swalayan wajib membeli dan menjual produk pertanian, perikanan dan industri lokal Bali dalam kegiatan usahanya. Dengan adanya jaminan pemasaran hasil produksi seperti ini, peluang usaha pertanian nampaknya masih menjanjikan. Tentu saja bantuan seperti bibit dan benih pada kondisi sekarang sangat diperlukan agar petani tidak berhenti berproduksi.

Dari sisi masyarakat, usaha mendekatkan produk pertanian kepada konsumen juga semakin kreatif dengan menambahkan sentuhan teknologi didalamnya. Sebut saja aplikasi BOSFresh (Bali Organik Subak), sebuah aplikasi belanja online hasil produk pertanian langsung dari petani di Bali. Jika anak muda Bali masih enggan terjun langsung mengolah lahan pertanian, menggarap pasar hasil pertanian melalui teknologi bisa menjadi alternatif sumbangan kita membantu petani Bali. Terlebih Covid-19 telah masuk ke pasar-pasar tradisional yang selama ini menjadi tumpuan petani dalam memasarkan produk-produk hasil pertanian. Jangan sampai kesulitan memasarkan hasil pertanian menyebabkan petani berhenti berproduksi. 

Selain usaha tersebut, sebagai masyarakat kita juga bisa membantu petani dengan mengkonsumsi produk lokal Bali. Alih-alih menggunakan buah apel impor misalnya, kita bisa menggunakan salak atau jambu biji untuk sarana upakara/banten. Selain membantu petani, tentu ini lebih menghemat kantong karena lebih murah. Kita senang, petani pun terbantu.

Membangun pertanian memang menjadi salah satu fokus pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pangan Bali. Adanya pandemi ini memaksa kita melakukannya dengan lebih cepat dan efektif. Tentu saja ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat Bali. Semua komponen harus untuk ikut mengambil bagian dalam pembangunan pertanian Bali dan menjaga ketahanan pangan Bali ditengah pandemi Covid-19. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? 


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar