nusabali

Kembangkan Sanggar dalam Konsep Yadnya

  • www.nusabali.com-kembangkan-sanggar-dalam-konsep-yadnya

Konsep yadnya dalam berkesenian menjadikan materi bukan sebagai tolok ukur. Melainkan niat yang tulus untuk ngayah dan tetap berkreasi.

KLUNGKUNG, NusaBali
Melestarikan seni budaya bukanlah hal yang mudah, apalagi di tengah perkembangan zaman yang kian pesat. Supaya warisan budaya itu tidak punah, perlu disediakan wadah untuk berkreativitas. Salah satunya bisa dengan membuka sanggar seni, baik seni rupa, seni tabuh, seni tari dan lainnya.

Namun, merintis sanggar juga membutuhkan perjuangan yang berkesinambungan, yang tak kalah penting dukungan dan peran serta masyarakat. Seperti halnya I Dewa Gede Alit Saputra, perintis sekaligus Ketua Komunitas Seni Sanggar Kayonan, di Desa Adat Kemoning, Kelurahan Semarapura Klod, Kecamatan Klungkung. Sanggar Kayonan sendiri bergelut di bidang tari dan tabuh, berdiri sejak 8 Juni 1992. “Sejak sanggar ini berdiri sudah mampu menelorkan hingga ribuan penari dan penabuh,” ujar I Dewa Gede Alit, Sabtu (28/5).

Yang lebih membanggakan mereka banyak menjadi pelatih di tempatnya masing-masing. Perputaran regenersi juga tetap eksis belajar di Sanggar Kayonan, kini ini mencapai 300 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Klungkung. “Saya juga dibantu 6 orang pembina tari dan 6 orang pembina karawitan,” katanya.

Dalam mengembangkan sanggar, Dewa Alit memakai konsep yadnya dalam berkesenian. Sehingga yang menjadi tolak ukur bukanlah semata-mata mengejar material. Melainkan niat yang tulus untuk ngayah dan tetap berkreasi. Sebab, dia berkomitmen aktivitas berkesenian di Bali tidak akan pernah mati, selama yadnya tetap berlangsung. “Antara seni wali, bebali dan balih-balihan saling melengkapi,” ujarnya.

Disampaikan, cikal bakal berdirinya Sanggar Kayonan ini, saat Dewa Alit mengamati fenomena di lingkungannya di era 1990. Saat itu muncul kekhawatiran di benak Dewa Alit. Pasalnya, untuk pementasan seni tari, topeng dan sebagainya ketika upacara keagamaan berlangsung. Lebih banyak mengundang seniman dari luar, karena jumlah seniman di lingkungannya memang sedikit. Masalahnya selain biaya yang cukup tinggi, dalam jangka panjang juga bisa memberikan efek ketergantungan. “Dari persoalan itu saya mencoba merintis sanggar,” ujarnya.

Setelah melalui proses diskusi dengan keluarga dan dibantu oleh rekannya sesama seniman, akhirnya sanggar ini bisa didirikan, dengan mengambil momentum hari lahir Dewa Alit, yakni 8 Juni 1968. Dengan mengusung nama ‘Kayonan’ sebagai icon.

Sebab, bagi pria pencita wayang kulit sejak kecil ini. Kayonan memiliki hal yang istimewa. Mengingat saat pementasan wayang selalu diawali dengan kayonan, begitupula isi cerita maupun penutup juga muncul kayonan.

Kalau dari segi kata, Kayonan berasal dari kata kayu, kemudian menjadi kayun=keinginan yang kuat. “Jika dikonotasikan dengan kata kayu (pohon), maka pohon itu bisa menjadi sumber kehidupan,” katanya.

Beberapa tahun berdiri, sanggar tersbut memang masih berkecimpung di dunia tari, baik tari tradisional maupun modern. Namun, seiring berjalannya waktu, Dewa Alit mulai melengkapi dengan seni tabuh. “Saya secara bertahap menyiapkan sarana dan prasarana, seperti gamelan, barong, atribut penari dan lainnya,” katanya.

Kata dia, yang membuatnya semakin bergairah karena produk dan kreativitas yang dihasilkan Sanggar Kayonan, bisa dirima oleh masyarakat. Bahkan sanggar yang dinahkodai Dewa Alit ini, juga mendapat kepercayaan dari Pemkab Klungkung untuk membuat fragmentari perang puputan, maupun perang kusamba yang digelar pada 29 April 2016. “Kami juga dipercaya menjadi duta Kabupaten dalam pesta kesenian Bali (PKB) beberapa tahun lalu,” ujarnya.

Atas dasar tersebut, Dewa Alit memiliki tekat yang kuat untuk mempertahankan sanggar Kayonan ke depannya, apapun yang terjadi. Yang jelas untuk permodalan Dewa Alit memang berjuang sendiri. Namun untuk tenaga tentu bergotong-royong, karena sanggar ini merupakan seni kolektif. “Banyak teman-teman yang membantu saya,” ungkapnya sembari menyebut nama Cokorda Nala Ratmaja, Gede Dogler, dan Kadek Lolak Arimbawa, anggota DPD RI. 7dewa darmawan

Komentar