nusabali

MUTIARA WEDA: Mengapa Belajar Hindu Susah?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-mengapa-belajar-hindu-susah

tam uvāca hṛṣīkeśaḥ prāhasann iva bhārata, senayor ubhayor madhye viṣīdantam idaḿ vacaḥ. (Bhagavad-gita, II.10)

Wahai keturunan Bharata, pada saat itu Kresna sambil tersenyum di tengah kedua bala tentara, mengucapkan kata-kata berikut kepada Arjuna yang sedang berduka.

AGAMA Hindu diajarkan di sekolah dari SD sampai perguruan tinggi. Namun, ketika ditanya, apa itu Hindu? Hanya sedikit yang lengkap jawabannya. Apa kitab suci Hindu? Mereka seragam menjawab: ‘Weda’. Apa saja yang diajarkan Weda? Lebih sedikit lagi yang mampu menjabarkannya. Apakah pernah membaca Weda? Hanya sedikit yang menjawab ‘ya’. Mengapa bisa demikian? Bukankah mereka setiap saat berada dalam praktik agama? Mereka tentu semarak beragama, rata-rata religius, tetapi ketika ditanya ‘apa itu’, hanya sedikit yang mampu mengartikulasikannya. Setiap saat mereka disuguhkan dan involve dalam praktik religius, namun mengapa mereka tidak tahu? Ada apa? Apakah susah belajar Hindu? 

Pertama, mungkin sebagian besar kita merasa bahwa praktik agama yang diwarisi hanya sebuah kewajiban yang mesti dilaksanakan. Saat semua itu terlaksana, kita merasa sudah menjalankan kewajiban, hati senang, dan sudah, itu saja, tidak ada ketertarikan untuk mendalaminya. Bahkan kita tidak memiliki ide bahwa praktik itu penting untuk didalami dan dipelajari. Kedua, mungkin ada dalih yang kita yakini bahwa agama itu persoalan praktik, bukan teori. Jika praktik agama itu telah terlaksana, maka itulah kebenaran tertinggi, tidak perlu repot berteori. Justifikasi ini juga sering kita dengar untuk membenarkan bahwa belajar ‘teori’ agama tidak penting. 

Ketiga, tidak sedikit pula yang berpikir bahwa praktik agama yang diwariskan dari leluhur itu sulit dan rumit. Sehingga banyak yang mencoba untuk mengesampingkannya. Mereka beragama hanya secara formal agar tampak begitu. Namun, sejatinya mereka tidak tertarik. Keempat, mungkin yang terbanyak adalah mereka tampak rajin beragama oleh karena merasakan berbagai ketakutan, takut kutukan, takut miskin, takut sakit, takut terkena penyakit, takut diremehkan tetangga, dan yang lainnya. Jadi, praktik mereka hanya untuk menghindari semua ketakutan itu. Dengan melaksanakan semua ritual itu, mereka yakin bahwa Hyang Embang memberkatinya. Jadi, mereka tidak punya kebutuhan untuk belajar.

Kelima, mungkin pula pelajaran agama yang diajarkan di sekolah masih berupa hafalan, sehingga itu disebut ’teori’ belaka. Dari SD, SMP, dan SMA mereka belajar agama, tetapi pengetahuannya tetap flat. Mereka merasa sulit menghafal dan sejenisnya, sehingga memutuskan untuk tidak mendalaminya. Keenam, dari semua alasan di atas, sejatinya, yang menjadi alasan mengapa kita susah belajar agama, enggan, tidak tertarik, tidak fokus, tidak menjadi prioritas, dan tidak senang adalah karena kita masih memiliki harapan, masih ada ‘hope’. Mereka miskin, tetapi masih memiliki harapan, sehingga mereka berupacara hanya untuk mengharap kepada-Nya. Demikian juga yang lainnya, dalam segala hal kita masih memiliki harapan, sehingga leha-leha. 

Namun, ketika kita hopeless, tidak lagi ada harapan atas hidup ini, maka kita bisa memfokuskan pikiran kita pada ajaran agama. Seperti halnya orang yang ditenggelamkan di air, mereka tidak menginginkan apa-apa selain bernapas. Dia akan berusaha sekuat tenaga agar bisa bernapas, tidak ada yang dipikirkan selain napas. Mungkin teks di atas juga bisa menjadi clue. Arjuna awalnya bersemangat perang, ada harapan untuk menang dari Korawa yang jahat. Namun, ketika tahu yang dilawan adalah kakek, guru, dan keluarganya, dia mendadak bingung, sedih, tidak berdaya, dan berniat mundur. Arjuna merasa hopeless, sehingga, satu-satunya yang masih di pikirannya adalah encouragement. Hanya Kresna yang mampu mempenetrasinya.

Jadi, belajar agama memerlukan pondasi ‘kebutuhan’ yang kuat. Dalam proses survival, semakin nyaman financially, sengatan untuk belajar agama semakin melemah. Mengapa? Karena ‘hope’ berlimpah. Dalam konteks survival, mendalami ajaran agama tergolong tersier. Namun, jika signifikasi ajaran agama menjadi sentral, seperti halnya orang tenggelam perlu napas, atau seperti Arjuna yang mendadak linglung, maka mereka akan secara alami mendalaminya. Sehingga, dalam sistem pendidikan, membangun dan menciptakan kebutuhan untuk belajar lebih penting dibandingkan memberi materi atau ajarannya. Jika orang butuh, mereka akan belajar di mana saja. Sebaliknya, jika merasa tidak butuh, sehebat apapun isi ajaran tidak akan berarti apa-apa baginya. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute 

Komentar