nusabali

Konstruktivis Menggeser Tradisi Positivis

  • www.nusabali.com-konstruktivis-menggeser-tradisi-positivis

TRADISI sering dialihtukar maknanya dengan budaya, tanpa dipahami perbedaannya. Sederhananya, tradisi adalah kebiasaan turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.

Sedangkan, budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Selanjutnya, apa perbedaan kebiasaan dengan cara hidup agar lebih tepat pemaknaannya? Cara hidup adalah norma yang menunjuk kepada satu bentuk perbuatan, sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama.

Aguste Comte meyakini bahwa kebiasan maupun cara hidup harus berjalan dan dilakukan berdasarkan aturan-aturan tertentu. Sumber-sumber aturan, misalnya Weda dalam agama atau awig-awig desa pakraman. Implikasinya, pelanggaran atau penyimpangan terhadap norma kebiasaan maupun norma cara harus dikenakan sanksi, denda, atau bahkan hukuman setelah diperoleh data sebagai alat pembuktian. Mungkin, salah satu kelemahan analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial ditengarai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

Dalam beragama Hindu di Bali kadang mencuat polemik pemicu konflik, karena perbedaan desa, kala, dan patra, misalnya dalam pelaksanaan Panca Yadnya. Penyelesaian polemik pemicu konflik seperti itu sulit diselesaikan secara berkeadilan sosio-religius, dikarenakan norma cara dan norma kebiasaan lebih didasarkan pada rasa bukan rasio (baca: ilmiah), seperti keyakinan para positivis yang sealiran dengan pemikiran Aguste Comte. Contoh lain yang memiliki nilai keadilan sosio-kultural, yaitu: pengaturan desa adat berdasarkan atas awig-awig atau pararem. Kelemahannya, aturan-aturan awig-awig bersifat fleksibel yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau keadaan yang akan terus melangkah maju dan format substansi yang diatur tidak memiliki keseragaman format tentang substansi, ada kene ada keto.

Ketika ada penyimpangan, pergeseran, atau sejenisnya terhadap norma bentuk, proses, dan/atau atribut sosio-religius, misalnya pelaksanaan berbagai sebutan upacara ngaben, siapa yang mampu memastikan sudah memenuhi kehandalan dan keakuratan suatu acara Hindu? Siapa yang menjadi hakim dalam menentukan sembilan tingkatan pelaksanaan acara Hindu, yaitu ‘utamaning-utama sampai nistaning nista’?

Pemikiran Aguste Comte memiliki keterbatasan berkaitan dengan aplikasi sepenuhnya di desa adat Bali. Oleh karena itu, untuk meminimalkan polemik berujung konflik, maka sebaiknya lirikan dikerlingkan ke paradigma Konstruktivisme. Konstruktivisme justru menganggap bahwa tidak ada realitas ataupun kebenaran tunggal. Realitas sosial diinterpretasikan oleh individu maupun kelompok, sehingga hasil yang didapat akan beragam, ‘kula warga mawa cara, desa wawa cara, negara mawa tata’, setiap keluarga, masyarakat, dan negara memiliki adat kebiasaan sendiri yang harus dihormati. Pendekatan konstruktivistik telah berhasil diterapkan secara aman dan damai dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi Kula Bahong (demokrasi) dengan memerankan Du’a Mo’an Watu Pitu di Desa Baomekot, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Jean Piaget dan Lev Vygotsky menciptakan paradigma konstruktivisme sebagai suatu teori pembelajaran. Namun, paradigma ini cocok ditransformasikan untuk mengembangkan pemikiran tradisi ala Aguste Comte. Piaget maupun Vygotsky menyakini bahwa kebiasan maupun cara hidup tidak selalu harus berjalan dan dilakukan berdasarkan aturan-aturan tertentu. Norma kebiasaan maupun norma cara hidup suatu komunitas harus dapat mendorong dan menyiptakan kreativitas dalam kekerabatan sosial, sehingga tercipta suasana ruang yang lebih nyaman dan kreatif; melatih krama desa adat untuk bergotong royong dan terlibat langsung, aktif, dan produktif dalam melakukan kegiatan untuk memberi solusi terhadap berbagai persoalan agamaga, tradisi, dan budaya.

Menurut pandangan konstruktivisme, majelis desa adat beserta jajarannya lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu melaksanakan seni hidup bermasyarakat, paras paros sarpanaya. Di samping itu, elite desa adat perlu mendorong krama desa adat untuk membangun sistem berpikir dan pengetahuannya sendiri (otonom). Ciri khas desa adat berparadigma konstruktivisme, antara lain: aktif membelajarkan diri tentang agama, tradisi, dan kebudayaannya, berkreativitas secara otentik dan situasional, mengaitkan pengetahuan lokal dengan informasi baru, merefleksikan pengetahuan sejalan dengan zaman. Semoga. 7

Oleh:
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa

Komentar