nusabali

Jadi Karya Terbesar, Dipamerkan Saat Momentum KTT G20 di Bali

Lukisan 'Harmoni' dan 'Flora Fauna' Komunitas Seni Kalisa Kutuh Dipamerkan di Museum Arma

  • www.nusabali.com-jadi-karya-terbesar-dipamerkan-saat-momentum-ktt-g20-di-bali

Kelompok ini didirikan atas dasar kesadaran bersama untuk kembali membangkitkan lukisan tradisional Kutuh yang pernah berjaya di era tahun 1980-an.

GIANYAR, NusaBali
Lukisan Harmoni dan Flora Fauna Komunitas Seni Kalisa Kutuh menjadi karya terbesar yang dipamerkan di Museum Arma Ubud, Gianyar. Harmoni berukuran 10 meter x 2,8 meter dan Flora Fauna berukuran 7 meter x 1,5 meter. Menjadi lebih istimewa, karena dua lukisan besar ini dilukis secara kolektif oleh 87 seniman satu banjar di Banjar Kutuh Kelod, Desa Petulu, Kecamatan Ubud.

Menurut pemilik Museum Arma, Anak Agung Gede Rai melukis secara kolektif dengan hasil karya yang luar biasa ini tidaklah mudah. "Ada spirit Banjar dalam lukisan ini. Bahwa para seniman senior di Kutuh Kelod berjiwa besar merangkul seniman muda untuk membangkitkan kembali lukisan khas mereka," ungkap Agung Rai Arma pada pembukaan pameran, Kamis (10/11) malam.

Ketua Himpunan Museum Bali (Himusba) ini mengaku sangat berbahagia melihat antusias masyarakat yang hadir. "Saya sangat berbahagia karena malam ini sahabat yang hadir mencerminkan interaksi masyarakat global, benar mencerminkan semangat bersama. Bahwa interaksi melahirkan saling memberi dan menerima. Masyarakat Kutuh perlu menjaga dan  mewarisi," ungkapnya.

Kolaborasi melukis secara gotong royong ini, kata Gung Rai sangat sulit diwujudkan. "Kolaborasi ini tidak mudah, karena paling sulit menyatukan banyak orang. Jadi, lukisan ini sangat istimewa, tidak ada kasta senior junior. Tidak ada tinggi rendah, menjadi motivasi anak muda. Pencapaian Kutuh sudah sangat luar biasa sehingga punya identitas karya. Khususnya kehidupan flora fauna khas Kutuh, kalau itu tidak disadari tidak dijaga bisa menghilang begitu saja," ujarnya.

Maka dari itu dibutuhkan momentum-momentum baik, seperti halnya even KTT G20 saat ini. "Momen KTT G20 telah menjadi daya rangsang yang luar biasa. Sehingga seniman punya semangat gotong royong tinggi, peteng lemah megae (siang malam bekerja). Jumlahnya 87 orang, tentu tidak mudah, paling sulit. Harus ada penggerak yang memiliki jiwa besar tahan banting. Tantangan berat yang pada akhirnya berbuah manis. Karya yang bicara sangat masif," terang Gung Rai.

Gung Rai berharap, desa-desa yang telah mewarisi ciri khas seni bisa mencontoh Kalisa Kutuh. "Bayangkan jika tiap desa seperti ini. Maka kantong budaya akan dijaga. Dan, selain berkesenian bagian dari ngayah. Menguatkan tradisi kita, kadang kita perlu berpikir pragmatis. Bahwa ini harus ada bagaimana memasarkan. Karena ini ekonomi kreatif berbasis pedesaan," jelasnya.

Terkait filosofi lukisan, merupakan cerminan hidup harmoni. Ketika Macan yang biasanya musuhan dengan monyet, dalam lukisan keduanya bersanding. Begitu pula kehidupan nyata perbedaan semestinya bukan menjadi perdebatan, melainkan bisa saling mengisi melengkapi sehingga terwujud keharmonisan.

Sementara itu, tiga orang perwakilan pelukis I Made Suweta, I Wayan Balik Sena dan Ketut Karim mengatakan tujuan awal karya besar ini untuk membangkitkan semangat generasi muda Kutuh untuk melukis. "Semua punya potensi dan hampir 85 persen warga Kutuh adalah pelukis," ujarnya. Namun oleh karena perkembangan zaman, banyak yang beralih mata pencarian lain.

"Kita di Kutuh pernah jaya, maka itu kita rangsang generasi muda untuk melukis," jelasnya. Untuk biaya yang dihabiskan selama pengerjaan hampir setahun, diakui tidak terhingga. "Kita urunan secara sukarela ketika kerja malam perlu makan harus beli sesuatu makanan spontanitas, siapa ada uang itu yang beli. Berangkat dari kesadaran, agar generasi muda kami dapat terangsang kembali melukis," jelasnya.

Made Suweta berharap karya ini menawarkan sesuatu kebersamaan dan keindahan. "Setelah bersama, ternyata indah dari berbagai macam suku ras dan sebagainya, justru setelah dicerna berbeda itu indah. Ada macan bersanding dengan monyet, burung gagak, ular hidup harmonis. Beda pendapat itu biasa. Hasilnya luar biasa," ujarnya. Ketua Komunitas Seni Kalisa Kutuh, I Wayan Januariawan menambahkan, pameran ini berlangsung selama sebulan.

Diakui, cukup banyak kolektor yang tertarik dengan lukisan besar ini. Dalam mewujudkan karya lukisan ini para pelukis sebanjar ini menggunakan teknik melukis Kutuhisme. Mulai dari Nguwet membuat sketsa pembagian bidang komposisi proporsi, kemudian Nyawi mempertegas sketsa menggunakan spidol atau sejenisnya, Nyelah proses memberi kesan gelap terang dan memberi gradasi atas bawah, Ngabur memberi detail aksen pada objek lukisan, selanjutnya memberikan kesan warna pada daun kayu dan lainnya. Teknik berikutnya Nyenter yakni memberikan kontur sinar pada bidang atau objek lukisan, Ngelem mempertegas kontur sinar dan memberi kesan cahaya, Nyenter kedua memberi kesan hidup hingga tahap akhir menyempurnakan kesan dimensi pada objek lukisan. Kelompok seni lukis Kalisa Kutuh sendiri berdiri sejak 3 Maret 2015.

Anggotanya terdiri dari semua pelukis yang ada di Banjar Kutuh berjumlah 87 orang. Kelompok ini didirikan atas dasar kesadaran bersama untuk kembali membangkitkan lukisan tradisional Kutuh yang pernah berjaya di era tahun 1980an. "Kalisa Kutuh didirikan bertujuan memotivasi pelukis yang sudah tidak aktif untuk kembali melukis, terlebih lagi merangsang anak-anak dan generasi muda untuk bisa melukis," jelasnya. *nvi

Komentar