nusabali

Ekonomi Menggeliat Tapi Pasar Belum Siap, Inflasi Jadi Efek Kejut

  • www.nusabali.com-ekonomi-menggeliat-tapi-pasar-belum-siap-inflasi-jadi-efek-kejut
  • www.nusabali.com-ekonomi-menggeliat-tapi-pasar-belum-siap-inflasi-jadi-efek-kejut

DENPASAR, NusaBali.com – Melesatnya angka inflasi di Bali pada September 2022 yang mencapai 6,84 persen secara year-on-year (yoy) dan 5,45 persen secara year-to-date (ytd) memberikan efek kejut terhadap pasar.

Berdasarkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Singaraja, Kota Denpasar, dan Nasional yang dirilis BPS Provinsi Bali pada 3 Oktober 2022 lalu, angka inflasi di Bali melebihi rata-rata nasional di periode yang sama, yakni 5,95 persen (yoy) dan 4,84 persen (ytd).

Rekornya nilai perubahan IHK gabungan dari tahun ke tahun (September 2021-September 2022/yoy) dan secara tahun kalender (Desember 2021-September 2022/ytd) di dua kota di Provinsi Bali ini disinyalir karena pasar yang belum siap pasca kelesuan selama pandemi Covid-19.

Perekonomian Provinsi Bali yang digerakkan sektor pariwisata dan sektor-sektor penunjangnya dinilai belum mampu meladeni permintaan pasar yang hidup lebih cepat dari ekonomi nasional karena melonggarnya prosedur perjalanan bagi wisatawan.

Faktor ini mengemuka dalam wawancara dan diskusi NusaBali.com bersama Guru Besar Bidang Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, Prof Dr Drs AA Putu Agung MSi dan Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FEB Unmas Denpasar Dr I Wayan Widnyana SE MM QIA.

“Walaupun masih tergolong angka yang moderat karena masih di bawah dua digit, ini juga bukan angka yang rendah karena tidak berada di kisaran 1-2 persen,” ujar Prof Agung saat ditemui di ruang rapat FEB Unmas Denpasar, Rabu (12/10/2022) pagi.

Inflasi rendah yang berada pada angka 1-2 persen, dikatakan Prof Agung, merupakan inflasi yang terukur dan baik untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, pada angka yang tercatat di awal triwulan IV ini, ditambahkan oleh Dr Widnyana, adalah setrum atau gelombang kejut bagi pelaku ekonomi khususnya di sektor produksi.

“Suatu daerah atau wilayah jika tidak ada inflasi itu tidak bagus karena menandakan tidak ada pertumbuhan ekonomi. Inflasi itu kan gelombang kejut. Tapi kalau tidak terkontrol dan terus merangkak sampai melewati dua digit, bisa jadi tsunami (krisis),” tutur Dr Widnyana ketika dijumpai pada kesempatan yang sama.

Kata doktor bersertifikasi Qualified Internal Auditor ini, kebanyakan data inflasi yang beredar adalah yoy. Data perbandingan IHK suatu periode pada tahun 2021 dengan tahun 2022 tentu akan memunculkan selisih kenaikan angka yang tinggi.

Pada tahun sebelumnya, pandemi masih sangat berpengaruh terhadap penghambatan pergerakan ekonomi sedangkan pada tahun 2022 ini sektor-sektor perekonomian tengah memanaskan mesin untuk kembali menggeber pertumbuhan bisnis mereka.

“Sekarang ketika pandemi sudah sangat membaik, orang berbondong-bondong keluar, transaksi sedemikian besar sedangkan supply-nya belum siap. Kemudian harga-harga semua mulai naik,” terang Dr Widnyana.

Fenomena ‘spending spree’ atau katakanlah ajang ‘balas dendam’ dengan membelanjakan uang terlalu banyak pasca pembatasan sosial ini akan membuat angka pertumbuhan inflasi menjadi naik secara dramatis. Terlebih lagi jika perbandingannya adalah dua periode yang memiliki variabel khusus dan sama sekali berbeda satu sama lain.

Variabel berbeda tersebut adalah satu periode di mana terjadi kelesuan ekonomi dan satu lagi adalah periode ketika perekonomian mulai menunjukkan kegairahan.

Selain itu, dijelaskan oleh Prof Agung, ring satu ekonomi tanah air saat ini tengah digoncang dengan kenaikan harga BBM akibat pengalihan subsidi. Faktor ini pulalah yang mengakselerasi laju inflasi.

Sementara di Bali, moda transportasi umum belum solid dan kegiatan pariwisata yang meningkat tidak bisa dilepaskan dari keberadaan aktivitas travel dengan salah satu sub-sektor pendukungnya adalah transportasi.

Berdasarkan data BPS Provinsi Bali, kelompok transportasi mengalami inflasi setinggi 9,47 persen pada September 2022 dibandingkan Agustus 2022.

Periode September lalu merupakan bulan di mana harga BBM berubah naik. Di bulan yang sama pula, kelompok transportasi memberikan andil terbesar kepada angka inflasi yakni 1,0879 persen.

Masih berdasarkan data BPS Provinsi Bali yang dirilis pada 3 Oktober 2022 lalu tentang sirkulasi wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali, hingga periode Agustus 2022, jumlah wisman mengalami peningkatan sejak Januari 2022. Di mana, pada awal tahun 2022, tercatat hanya tiga wisman yang masuk ke Bali melalui Pelabuhan Benoa. Pada Agustus lalu, terdata sudah 276.659 wisman memasuki Bali.

Angka tersebut belum termasuk, wisman yang terjebak di Bali selama pandemi dan masih menetap di Pulau Dewata hingga saat ini.

Menurut Prof Agung, pada triwulan II tahun 2022 ini, kelompok makanan, minuman, dan tembakau masih mengalami inflasi dan menjadi penyumbang terbesar.

Berkaca dari data terbaru tepatnya sejak pertengahan triwulan III, kelompok tersebut sudah mengalami deflasi. Dan pada akhir triwulan III atau pada September 2022, kelompok transportasi yang sebelumnya sempat deflasi menjadi penyumbang inflasi tertinggi pasca pengalihan subsidi BBM.

Perubahan posisi pada taraf IHK pada kelompok tertentu ini menandakan sudah terjadi penyesuaian supply barang/jasa terhadap demand.

Yang cukup kentara dari perubahan taraf IHK adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang stabil pada level deflasi sejak periode Agustus 2022 setelah sebelumnya sempat menjadi kelompok dengan inflasi tertinggi. Hal ini menandakan efek kejut dari inflasi terhadap progres ekonomi sudah berjalan cukup baik.

Oleh karena itu, efek kejut inflasi ini diharapkan menjadi cambuk bagi pelaku ekonomi terutama di sektor produksi untuk bergegas menyesuaikan demand dari pasar.

Di lain sisi, pemerintah pun diharapkan mampu mendorong sektor produksi untuk bergerak lebih intensif lagi sembari menyiapkan strategi intervensi pasar demi mencegah kemungkinan terburuk. 

Melihat kondisi anggota G20 yang lain, Indonesia dan khususnya Bali masih pada tatanan inflasi yang terbilang moderat dibandingkan Turki yang berada di angka 83,45 persen yoy pada periode September 2022 dan Argentina di angka 78,5 persen yoy pada periode Agustus 2022. Kedua negara anggota G20 ini masing-masing berada di peringkat pertama dan kedua dengan angka inflasi tertinggi. *rat

Komentar