nusabali

Yowana Bali Juara Sayembara Gagasan Monumen Reog Ponorogo

Taman Ragam Selaras Sisihkan 60 Peserta, Usung Keselarasan pada Setiap Goresan Karya

  • www.nusabali.com-yowana-bali-juara-sayembara-gagasan-monumen-reog-ponorogo

PONOROGO, NusaBali.com – Kemahiran orang Bali dalam seni tidak perlu diragukan lagi. Karya adiluhung sering lahir dari tangan kreatif insan Pulau Dewata.

Salah satunya dibuktikan oleh Taman Ragam Selaras yang menjadi jawara sayembara gagasan Monumen Reog di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Merealisasikan kawasan Monumen Reog Ponorogo (MRP) merupakan salah satu program Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko untuk pengembangan pariwisata dan budaya di Bumi Reog.

MRP digadang-gadang menjadi patung tertinggi di Indonesia yakni 126 meter dari tanah pijakan façade. Gagasan MRP bertajuk Taman Ragam Selaras karya lima orang yowana Bali lah yang berhasil mencuri perhatian para juri, termasuk Bupati Ponorogo. Karya ini mampu menyisihkan 60 peserta lain dari seluruh Indonesia.

Makna Taman Ragam Selaras sendiri berarti tempat atau wadah berbagai ragam aktivitas seni dan kebudayaan yang ada di Bumi Reog. Sehingga, taman tersebut diharapkan menjadi pusat kegiatan masyarakat dengan beragam motivasi untuk berkreasi.

Namun, taman dengan keragamannya itu hendaknya juga selaras dengan ekologi dan aspek sosial di sekitarnya yang ada lebih dulu.

Bramana Ajasmara Putra, 26 juga dua orang rekan arsiteknya yakni Putu Dharma Putra, 22 dan Kadek Yuda Pramana, 22, serta dibantu dua rekan ahli strukturnya I Made Aryatirta Predana, 26 dan Freddy, 24 adalah otak di balik goresan orisinal Taman Ragam Selaras.

Selain itu, Putu Yudik Juniarta juga turut dalam menggarap dan menyempurnakan visualisasi 3D dari monumen tersebut.

“Ide awalnya dari kami semua. Saya kasih ide, mereka juga kasih ide, kami kumpulkan dari multi disiplin ilmu (arsitektur dan struktur),” terang Ajas ketika ditemui, Kamis (29/9/2022) malam, di Denpasar.

Pemuda asal Belayu, Tabanan yang menetap di Penatih, Denpasar ini pun mengungkapkan tidak pernah berpikir soal menang-kalah setiap kali mengikuti sayembara.

Baginya, menyampaikan makna melalui setiap karya yang dihasilkan lebih penting bagi alumni  Prodi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud) ini.

“Kami ikut sayembara, soal menang itu nomor dua. Yang pertama itu, supaya ide kami tersampaikan ke dunia luar,” ujar alumni penerima beasiswa LPDP S2 di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB ini.

Dari gagasan MRP Taman Ragam Selaras tersebut, lima pemuda sarat prestasi ini memutar otak untuk mampu memanfaatkan 30 hektare lahan dengan kontur yang ekstrem.

Dikatakan ekstrem karena berada pada kawasan eks tambang batu gamping di Bukit Sampung, Desa/Kecamatan Sampung yang bergelombang, miring, dan tidak rata.


FOTO: Penampakan visualisasi gagasan MRP karya Tim Taman Ragam Selaras dari langit Desa/Kecamatan Sampung, Ponorogo. -IST

Dengan mengusung konsep keselarasan dengan ekologi yang sudah ada di area tersebut seperti kawasan bukit konservasi air, sawah, sungai, dan perkebunan, Ajas dan kawan-kawan hanya menggarap 30 persen lahan yang ada.

Sedangkan untuk menjaga kawasan konservasi airnya, dalam desain tersebut terdapat bioswale. Fitur ini berupa cekungan yang dapat menyimpan air hujan yang mengalir dari bukit ke dalam tanah dan sungai terdekat.

“Ini adalah sebuah gagasan tentang pembangunan berkonsep Taman, wadah Ragam kesenian, sebagai perwujudan cita-cita Selaras alam dan masyarakat,” ucap Ajas menjelaskan tagline karya timnya.

Letak MRP sendiri sudah ditentukan oleh Pemkab Ponorogo dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Timur bertengger di atas bukit bekas kerukan tambang.

Sedangkan untuk sekitar 15 bangunan pendukung lain berada di area ‘lembah’ bukit. Kondisi lahan yang tidak rata ini pun dimanfaatkan menjadi kelebihan oleh Ajas dan kawan-kawan dengan membuat desain kawasan yang berundak mengikuti kontur lahan.

“Selain itu, karena monumen patung Reog itu dibatasi dimensinya, kami coba akali dengan gestur Reog yang sedang bergerak. Jadi, Reog itu terlihat melengkung dan bagian atasnya terlempar ke belakang seperti saat ditarikan,” tutur Ajas.

Aturan teknis sayembara menentukan bahwa dimensi patung Reog tersebut (l,p,t) 30 x 50 x 81 meter. Dimensi terbatas ini diakali dengan melengkungkan kepakkan ekor merak dan menekuk ujungnya. Selain didapatkan hasil yang memenuhi syarat, bentuk ini memberi kesan dinamis terhadap patung yang statis.


Foto: Penampakan MRP dari berbagai sisi. -IST

Ajas membeberkan bahwa purwarupa paling awal dari patung Reog tersebut dibuat menggunakan plastisin dengan bentuk global atau tanpa ornamen dan terkesan berantakan.

Namun, wujud patung yang juga disebut Singa Barong ini mulai terlihat rohnya begitu memasuki proses sketsa dan dimodelkan ke dalam digital art.

“Awalnya kami sempat bingung karena ini kan patung, apa dik anggo model nah. Akhirnya, kami pakai plastisin dan sudah diulang berkali-kali, tidak terhitung dengan beberapa pilihan alternatif sampai ditemukan bentuk yang pas,” beber Ajas.

Sementara dari segi struktur, dijelaskan oleh I Made Aryatirta Predana sebagai tim struktur, dilakukan riset terlebih dahulu terhadap struktur patung-patung raksasa di dunia untuk mencari jenis rangka yang tahan gempa dan kecepatan angin rata-rata 50 km/jam.

Akhirnya diputuskan bahwa patung berstruktur baja dan façade setinggi 45 meter menggunakan beton diperkuat bracing dari podium hingga patung.

“Kami cek simpangan struktur antara baja dan beton terhadap beban gempa dan tiupan angin. Lalu kami dapatkan strukturnya itu paling bagus adalah patung itu full baja, podiumnya beton, diperkuat dengan bracing yang diagonal dari bawah podium sampai ke atas patung. Jadi satu kesatuan menyambung,” terang dosen Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Unud ini.

Menurut Aryatirta, selama proses analisis struktur tersebut, sempat terjadi silang pendapat antara tim arsitek dengan tim struktur perihal estetika dan keandalan rangka.

Tim arsitek berencana membuat museum penuh di dua lantai paling bawah façade tanpa struktur beam namun hanya ada column setinggi 10 meter atau dua lantai.

Tim struktur pun tidak setuju dengan ide tersebut lantaran museum itu berada di lantai paling bawah sedangkan bangunan façade itu menumpu 8 lantai bangunan dan patung raksasa di atasnya.

“Itu tantangan sih buat kami. Sempat ada perdebatan panas mengenai struktur dua lantai itu. Tetapi, pada akhirnya kami diskusi dan ditemukan bentuk yang sesuai tanpa harus mengesampingkan strukturnya,” tutur Aryatirta.

Meski ada perbedaan pendapat yang logis di antara kedua tim ini, struktur penuh MRP dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu saja. Sedangkan, hasil final dituntaskan kurang dari satu bulan. Itu termasuk maket monumen yang dibuat semalam suntuk sebelum tahap penjurian langsung di Kantor Pusdalops PB BPBD Ponorogo, Jl. Sekar Putih Timur nomor 32 Kelurahan Tonatan, Kecamatan Ponorogo, Sabtu (24/9/2022).

“Kami dapat info sayembara tanggal 23 Agustus dan sudah bisa kami kumpul di tanggal 16 September,” beber Ajas.

Setelah penjurian tahap pertama, pengumpulan hardcopy, dan akhirnya diumumkan 5 besar gagas MRP pada Selasa (20/9/2022) lalu.

Tiga hari kemudian, Jumat (23/9/2022) pagi, Ajas dan kawan-kawan bergegas berangkat ke Bumi Reog dengan jalur darat. Bermodal kepercayaan diri dan orisinalitas, Ajas dan kawan-kawan berhasil memukau juri lewat presentasi gagasan.

Menurut Ajas, yowana Bali ini dianggap sebagai peserta yang dapat memenuhi seluruh kriteria sayembara lantaran menyuguhkan gagasan yang holistik baik dari segi arsitektural, struktural, maupun nilai kebudayaan yang disampaikan pada setiap jengkal desainnya.

“Yang pasti kompetitor kami adalah orang-orang kompeten dan berpengalaman di bidangnya,” ungkap Ajas. Ajas mengungkapkan menempati posisi pertama di ajang sayembara profesional yang diselenggarakan IAI merupakan yang pertama kali diraih oleh timnya. Meskipun, sebelumnya sudah ada belasan sayembara yang sudah diikuti sejak akhir 2019 namun belum pernah memeroleh hasil segemilang ini.

“Hasil ini tidak instan, karena dari banyak sayembara yang sudah diikuti itu hasilnya naik turun bahkan ada yang tidak lolos. Sebelum-sebelumnya, kami merangkak dari bawah mulai dari 30 besar, 15 besar, dan akhirnya sekarang juara 1,” tandas pendiri Studio Tanareka ini.

Ajas berharap timnya semakin aktif mengikuti sayembara di masa mendatang demi menyampaikan ide dan gagasan ke dunia luar. *rat

Komentar