nusabali

Kremasi di Cilincing, Ngaben Akan Dilakukan di Sudaji

Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika Tutup Usia

  • www.nusabali.com-kremasi-di-cilincing-ngaben-akan-dilakukan-di-sudaji

I Gede Ardika terakhir pulang ke Buleleng pada Maret 2020. Seusai kremasi pada Soma Wage Kulantir, Senin (22/2), dilanjutkan mendem abu di Setra Gunung Bohong wilayah Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

JAKARTA, NusaBali

Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) pada era Kabinet Gotong Royong (2001-2004) I Gede Ardika meninggal pada usia 76 tahun, di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/2).

“Betul sekali (kabar I Gede Ardika meninggal dunia),” kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Agustini Rahayu saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu kemarin.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno turut menyampaikan rasa duka cita atas berpulangnya I Gede Ardika.

“Saya atas nama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepergian Bapak I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata periode 2000-2001 dan periode 2001-2004,” kata Sandiaga Uno dalam rilis di kemenparekraf.go.id.

Sandiaga melanjutkan bahwa berpulangnya I Gede Ardika adalah kehilangan besar bagi Bangsa Indonesia.

Sementara rumah di kampung halaman mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika, di Banjar Dinas Bantas, Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng, kemarin tampak lengang. Di rumah keluarga besar Ardika hanya dihuni kakak tertua namun beda ibu, Luh Rety, 85. Tidak ada aktivitas menonjol di rumah besar itu, meskipun keluarga di kampung halamannya mengaku sudah menerima kabar duka pada pukul 08.30 Wita, kemarin.

Sepupu Ardika, Gede Suharsana, menjelaskan seluruh rangkaian upacara kremasi dilakukan di Cilincing, Jakarta Utara. Prosesi upacara kremasi (makingsang ring geni) akan dilakukan pada Soma Wage Kulantir, Senin (22/2) besok pukul 08.00 Wita. Setelah dikremasi akan dilanjutkan dengan prosesi mendem abu di Setra Gunung Bohong wilayah Padalarang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan prosesi pengabenan akan dilaksanakan di Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng. Namun keluarga besar masih berunding untuk menentukan hari baik.

“Informasi dari keluarga di Jakarta, beliau memang berpesan agar dikremasi di Cilincing, sedangkan ngabennya di rumah Sudaji,” kata Suharsana.

Ardika anak sulung dari 6 bersaudara dari pasangan suami istri I Made Arka dan Ni Made Sandat, memang menetap di Jalan Hegarmanah, Cidadap, Bandung. Diungkap Suharsana dan Rety, Ardika terakhir pulang ke Buleleng pada Maret 2020 lalu. Saat itu kepulangan untuk terakhir kali ke kampung halaman, Ardika sudah diketahui sakit oleh keluarga besarnya. Tangannya gemetar terus. Saat ditanya Suharsana saat itu, Ardika mengaku menderita leukemia (kanker darah).

“Saat pulang terakhir itu tangannya sudah tremor, katanya leukemia dan itu ketahuan pas pandemi kemarin (2020),” kata Suharsana.

Informasi kesehatan Ardika yang dipantau Suharsana melalui WA group keluarga pasca kembali ke Bandung, almarhum sempat dirawat di rumah sakit sebelum dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (20/2) pukul 07.46 WIB di RS Santo Borromeus Bandung. Keluarga di Sudaji mendapatkan kabar duka pukul 08.30 Wita.

Rety menjelaskan, setelah tamat SMAN 1 Singaraja tahun 1963, ayah dua anak ini merantau ke Kota Kembang Bandung tepatnya di Jalan Hegarmanah, Cidadap. Saat itu, kenang Rety, kakak tertuanya dia dibantu kerabatnya disekolahkan di sekolah perhotelan di Bandung. “Yang kami tahu dia (Ardika) itu orang pekerja keras, setelah tamat itu sempat dapat beasiswa kuliah lagi ke Swiss, sempat jadi asisten dosen juga, kemudian jadi pengajar di sana. Kemudian di Bali mendirikan STP Nusa Dua. Banyak, sekali terobosannya tetapi memang tidak diekspos,” kata Rety yang ingatannya masih sangat tajam di usia rentanya.

Bahkan capaian kerja keras putra kebanggaan Sudaji, Buleleng, ini sangat mengejutkan keluarganya saat mendapat kepercayaan sebagai menteri pada periode 2002-2004 silam. Jabatan dan raihan karir tertingginya tak membuat Ardika sombong. Dia dikenal keluarga sebagai sosok yang sangat sederhana, selalu ingat kepada keluarga di kampung halamannya. “Dia itu tidak pernah membeda-bedakan orang, semuanya dia perlakukan sama. Setelah pensiun menjadi menteri, Ardika tetap menentap di Bandung bersama istrinya Indriati dan dua anak perempuannya.”

Sementara itu saat menikmati masa-masa pensiunnya sebagai menteri,  Ardika, menurut Suharsana, banyak membantu pengembangan Desa Sudaji menjadi desa wisata. Kebetulan pengelolanya adalah Made Suharsana sepupunya sendiri. Hanya saja bantuan dan dukungan itu baru dilakukan setelah lengser dari jabatannya. “Saat menjabat Pak Gede (Ardika) prinsipnya tidak mau dikira mentang-mentang, sumbangan pikiran mengembangkan desa kelahirannya baru dilakukan setelah selesai jadi menteri,” ucap Suharsana.

Dikutip kompas.com dari Kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, Ardika lahir di Singaraja, pada 15 Februari 1945.

Semasa hidupnya, Ardika mengenyam pendidikan di SDN No 2 Singaraja (1957), SMPN I Singaraja (1960), dan SMAN Singaraja (1963) sebelum merantau ke Bandung.

Namun sebelum bersekolah di SDN No 2 Singaraja, dia sempat bersekolah di Sekolah Rakyat di Desa Sudaji selama tiga tahun hingga kelas tiga.

Di sana, dia melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan di Institut Teknologi Bandung mengambil jurusan Seni Rupa (1963-1964) dan Akademi Perhotelan Nasional (APN) Bandung (1964-1967) sebelum melanjutkan kuliah di Glion Institute of Higher Education (1969-1972).

Adapun, edukasinya di Swiss berhasil diraih melalui beasiswa yang diberikan pemerintah untuk menempuh pendidikan Manajemen Perhotelan.

Pada 1974-1977, Ardika kembali melanjutkan sekolah di STIA LAN Bandung dan AKTA IV IKIP Malang (1984).

Sekembalinya di Indonesia, dia ditugaskan untuk bekerja sama dengan beberapa tenaga ahli asal Swiss di APN Bandung sebagai Kepala Seksi Pengajar. Namun, dia juga merangkap sebagai dosen mata kuliah House Keeping.

Pada 1973-1976, Ardika ditugaskan menjadi Pelaksana Tugas Direktur APN Bandung sebelum menjabat sebagai Direktur APN Bandung pada 1976-1978.

Pada 1978-1985, Ardhika kembali ke Bali untuk bekerja sebagai Direktur Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata Nusa Dua.

Namun pada 1985-1986, dia diangkat menjadi Pelaksana Tugas Kepala Sub Bagian Direktorat Perhotelan dan Penginapan Ditjen Pariwisata sebelum mengemban tugas menjadi Kepala Sub Bagian direktorat tersebut pada 1986-1988.

Kariernya pun terus maju dengan dirinya ditugaskan sebagai Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Pariwisata (1988-1991) dan Kakanwil Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Bali (1991-1993).

Selanjutnya, Ardika menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Pariwisata (1996-1998), Dirjen Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998-2000), Wakil Kepala Badan Pengembangan Pariwisata dan Kesenian (2000), sebelum akhirnya menjabat sebagai Menbudpar pada 2001-2004.

Ardika memiliki jasa yang besar di sektor kebudayaan dan pariwisata selama menjabat sebagai Menbudpar.

Pada saat itu, dia bekerja keras untuk mewujudkan bangkitnya kembali dunia pariwisata Indonesia agar makin berkembang.

Salah satu jasanya selama menjabat sebagai Menbudpar adalah peresmian Museum Basoeki Abdullah yang dulunya rumah pelukis Basoeki Abdullah, di Jalan Keuangan Raya No 19, Cilandak Barat, Jakarta Selatan pada 25 September 2001.

Gede Ardika memiliki karya berupa buku dengan judul Kepariwisataan Berkelanjutan. Dalam buku itu, dia memaparkan gagasannya tentang dunia pariwisata ke depan.

Dia mengupas bagaimana pembangunan pariwisata di Indonesia bertumpu pada konsep, prinsip-prinsip, serta cita-cita dan tujuan sebagai bagian integral dalam pembangunan nasional. Bagi Ardika, falsafah kepariwisataan Indonesia bertumpu pada nilai-nilai dasar sebagai bangsa yang religius.

Nilai itu, menurut Ardika seperti dilansir liputan6.com, menjadi acuan tertinggi yang diturunkan dalam nilai luhur agama, mengatur konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan lingkungan alam dalam upaya mencapai kebahagiaan.

Di buku tersebut Ardika juga mengungkapkan tentang gagasannya mengenai konsep wisata desa. Gagasan itu dia presentasikan pada Sidang Umum UNWTO di Santiago, Chili, pada 1999 saat pengesahan Kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism). *k23

Komentar