nusabali

Ketika Rizieq Shihab Dihentikan oleh Corona

PROYEKSI 2021: Bidang EKONOMI

  • www.nusabali.com-ketika-rizieq-shihab-dihentikan-oleh-corona

DENPASAR, NusaBali
SIAPA tokoh di Indonesia yang layak menyandang status news maker atau tokoh yang paling menyita perhatian di tahun 2020? Rasanya, salah satunya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab atau yang lebih akrab disapa dengan Habib Rizieq.

Perjalanan Rizieq dalam 3 tahun belakangan memang penuh kontroversi. Ketika pergi dari Indonesia pada 2017, dia meninggalkan sederet kasus yang membelitnya. Antara lain, pada 2016 Rizieq dilaporkan oleh Forum Mahasiswa Pemuda Lintas Agama, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Student Peace Institute ke Polda Metro Jaya. Laporan itu terkait ceramah Rizieq di Pondok Kelapa, Jakarta, yang antara lain mengatakan, "Kalau Tuhan beranak, terus bidannya siapa?"

Pada 2016, Ketua Umum PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri juga melaporkan Rizieq ke Bareskrim Mabes Polri. Laporan Sukmawati ini terkait pernyataan Rizieq yang menyebut 'Pancasila Soekarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala'.

Tahun 2017, Rizieq kembali dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Kali ini, dia dilaporkan oleh sejumlah warga yang tergabung dalam Solidaritas Merah Putih, karena menyinggung suku, agama, ras, antarkelompok (SARA) melalui media sosial. Hal itu berkaitan dengan ceramah Rizieq yang menyinggung soal mata uang berlogo 'palu-arit'. Tak hanya itu, Rizieq juga disebut memfitnah Presiden Jokowi sebagai seorang komunis.

Masih di tahun 2017, Rizieq jadi tersangka kasus konten pornografi. Yakni, terkait percakapan mesum antara Rizieq dengan aktivis Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein.

Di tengah belitan kasus-kasus yang belum kelar, pada 2017 Rizieq tahu-tahu meninggalkan Tanah Air dan tak pernah pulang ke Indonesia. Sampai kemudian ada kabar Rizieq memutuskan untuk pulang ke Indonesia, 10 November 2020 lalu.

Tak kalah heboh dengan kasusnya, kepulangan pria kelahiran Petamburan, Jakarta Pusat, 24 Agustus 1965, ini mendapat perhatian begitu besar dari berbagai kalangan masyarakat. Bukan semata karena ribuan pengikutnya yang tumpah ruah di sepanjang jalan menuju Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten untuk menyambut kedatangannya, lalu hajatan pernikahan putrinya, Shafira Najwa Shihab, yang konon dihadiri hingga 10.000 orang. Tetapi, juga dampak dari keru-munan yang ditimbulkannya.

Maklum saja, semua kejadian itu berlangsung ketika seluruh dunia, termasuk Indonesia, tengah dilanda pandemi Covid-19. Kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19 tersebut jelas mendatangkan persoalan tersendiri, mengingat salah satu cara penularan virus mematikan itu adalah lewat kerumunan.

Meski sudah jelas-jelas termasuk pelanggaran, toh tidak ada tindakan tegas dari aparat untuk membubarkan kerumunan massa Rizieq tersebut. Padahal, aparat sebelumnya mampu bertindak tegas untuk membubarkan kerumunan massa dalam kegiatan sejenis.

Pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang sebut telah menjatuhkan sanksi denda Rp 50 juta terhadap penyelenggara hajatan pernikahan anak Rizieq, tidak lantas meredam protes publik yang telanjur tuding pemerintah bersikap tebang pilih dalam menyikapi aksi kerumunan yang terjadi di masyarakat sejak pandemi berlangsung.

Apalagi, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, menyebut sanksi denda uang tidak akan membuat jera para pelanggar protokol kesehatan. Selain itu, nominal Rp 50 juta tak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan, mengingat risikonya adalah kehilangan nyawa. Bukan hanya satu orang, tapi bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang mungkin tertular akibat dari kerumunan itu.

Karena itu, denda yang dikenakan dari aksi kerumunan bukan solusi utama yang harus ditegakkan. "Tidak cukup (disanksi denda). Untuk selanjutnya perlu dicegah terjadi kerumunan, seperti tidak memberikan izin berkumpul dan dibubarkan jika mulai ada kerumunan orang,” jelas epidemiolog dari UI, Iwan Ariawan, seperti dikutip detikcom.

Ibarat efek bola salju, kegaduhan demi kegaduhan akibat kerumunan di Petamburan terus bergulir. Setelah diwarnai gelombang protes dan kritikan kepada aparat terkait, aksi kerumunan di Petamburan mulai makan ‘korban’.

Setidaknya, sejumlah pejabat di wilayah DKI Jakarta mendapat sanksi karena dinilai lalai menerapkan protokol kesehatan pada acara yang diselenggarakan oleh Rizieq. Mereka, antara lain, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tanah Abang Sukana, Walikota Jakarta Pusat Bayu Meghantara, hingga Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih.

Nasi sudah menjadi bubur. Permintaan maaf Rizieq tak menghentikan pengusutan perkara kerumunan. Polisi juga menemukan adanya unsur tindak pidana dalam serangkaian kerumunan yang melibatkan Rizieq. Kerumunan tersebut dianggap telah melanggar Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemimpin FPI itu ditetapkan sebagai tersangka bersama lima orang lainnya. Rizieq Shihab bahkan ditahan Polda Metro Jaya. Akhirnya, Corona yang menghentikan Rizieq.

Di tengah pengusutan kasus kerumunan acara Rizieq, 6 anggota FPI pengawal Rizieq ditembak mati polisi di kawasan Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12) dinihari. Menurut keterangan polisi, penembakan terhadap 6 orang yang disebut Laskar Khu-sus FPI lantaran berusaha menghalangi penyelidikan dilakukan aparat.

Akankah efek bola salju kasus Rizieq terus menggelinding dan kembali memakan ‘korban’ dengan berujung pada proses hukum? Semuanya memang masih serba mungkin. Karena hingga kini proses hukum terus berjalan.

Semoga Rizieq dengan massa FPI-nya dan siapa saja bisa menarik hikmah dari pembelajaran ini. Bahwa membiarkan kerumunan massa di tengah Pandemi Covid-19 seperti sekarang, sama saja dengan melakukan tindak kejahatan. Mengapa? Karena kerumunan menjadi salah satu media penularan virus Corona. Membiarkan kerumunan terjadi sama artinya membuka jalan bagi orang lain untuk menghadapi kematian. *

Hardinah Sistri Ani
Wartawan NusaBali

Komentar