nusabali

Endek Bali dalam Ragam Kecemasan Budaya

PROYEKSI 2023: Bidang ADAT

  • www.nusabali.com-endek-bali-dalam-ragam-kecemasan-budaya

Berbusana adalah hal lumrah, namun unik di lain arah. Gaya berbusana menjadi kekhasan sang pemakai.

Selebihnya merupakan hasil dari proses peniruan dalam setiap zaman. Dalam jejak perbusanaan di Bali era dahulu, gaya busana kaum kerajaan adalah salah satu patron, menjadi pusat objek peniruan oleh orang dalam lingkaran istana hingga rakyat biasa.  

Praktik peniruan tersebut berlangsung masif, diam-diam, perlahan, namun pasti. Keberanian mamada-mada (berani meniru dan menyamai) gaya busana seperti itu tiada lain karena fungsi dan kompleksitas petanda busana itu sendiri. Tak seperti zaman kuno. Kini, busana tak lagi sekadar untuk membungkus tubuh agar terhindar dari tusukan dingin atau rajaman terik matahari. Busana menyuguhkan multipesan bahkan alat komunikasi simbolik. Dengan busana, si pemakai membahasakan kepada pihak lain, bahwa mereka telah berada dalam strata sosial tertentu, punya kemartabatan, pembuktian identitas diri, bahkan perlawanan.

Maka busana pun menjadi komoditas yang tak kalah dahsyat dalam memanjakan hasrat, melampaui kebutuhan pokok biasa. Dampaknya, masyarakat kontemporer kini tak tanggung-tanggung mengkonsumsi petanda busana sebagai bagian penting dalam proses mengkonstruksi wibawa dan citra-citra kharismatis diri. Namun fungsi busana bisa juga sebaliknya, alat manipulasi. Misalnya, pengemis mengaburkan keaslian identitas.

Sistem peniruan berbusana tidak hanya dalam seni drama, melainkan juga dalam ‘drama’ kehidupan nyata, bahkan menghabit (jadi kebisaan yang seakan sah) tanpa pantangan. Perangkat busana kaum raja-raja di Bali zaman iloe (duhulu) kian lumrah dipakai oleh siapa saja, asal mampu membeli atau dengan menyewa. Dalam kekinian, sangat menonjol tampak saat upacara pawiwahan atau perkawinan pada segenap strata sosial. Warga mulai dari eks kaum istana, penunggu jempeng (istilah bagi warga istana yang tinggal di belakang area istana), hingga non keturunan raja, bebas memakai busana model kerajaan. Tanpa lagi ada tuduhan mamada-mada. Mereka bebas menyamai bentuk dan komposisi busana berikut aksesorisnya. Dengan kebebasan pula, maka kualitas busana ‘orang biasa’ sekalipun, bisa melampaui mutu model busana kaum raja. Modalnya sederhana;  punya uang. Kalau toh ekonominya pas-pasan, tetap dipaksakan karena akan malu jika tidak ikut trend gaya busana tiruan kekinian.

Ragam fungsi dan petanda budaya menjadikan  sistem produksi busana tidak lagi sebatas untuk pemenuhan kaum istana dan keturunannya. Busana telah menjadi salah satu ikon hasrat bersama. Ia ditopang oleh kemajuan taraf pikir, kognitif (pengetahuan), penguasaan ‘panggung’ atau area tindak, dan terpenting modal ekonomi. Dampak lebih lanjutnya, fenomena perbusanaan ala Bali kekinian dan segala ikutannya, ikut menjadi lokomotif penting untuk memutar roda perekonomian Bali.

Busana dengan segenap pernak-perniknya menjadi salah satu ceruk bagi para petarung kapitalis. Kondisi ini bertemali dengan sistem ekonomi yang sedemikian terbuka, maka persaingan dagang kian liar, hingga antinorma. Sejurus kemudian, tradisi meniru berbusana sejak zaman lampau yang repetitif  makin kuat mereinkarnasi menjadi pemalsuan. Maka, orientasi produksi fesyen dan bahan bakunya tidak lagi selalu soal mutu, melainkan perlombaan tentang jumlah dan gunungan keuntungan.  Muaranya, kualitas bahan busana, tak terkecuali endek tenunan perajin tradisional Bali, makin saru gremeng (gamang), bahkan terpinggirkan.

Menyikapi kondisi itu, Gubernur Bali menerbitkan SE Nomor : 04 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali/Khas Tradisional Bali. Memang, SE ini tak langsung membuat pasaran tenun endek tradisional Bali meroket. Tidak pula menjadikan masyarakat mengenakan kain endek Bali secara massal, apalagi endek asli. Tapi, setidaknya SE ini bagian dari siasat kebudayaan nan arif dan terukur, guna menjawab pelbagai bentuk kecemasan orang Bali karena keterpinggiran endek Bali.

Jauh sebelum SE itu terbit, trend pasar busana global menjadikan endek tenunan Bali terancam punah. Ancaman itu berbuah pelbagai kecemasan. Produksen dan penenun endek cemas. Karena Bali dijejali produk mirip endek Bali, maka pasar kain asli Bali ini pun jadi rusak. Kecemasan berkelindan karena permintaan endek Bali anjlok. Dampaknya, penenun beralih profesi, jadi buruh bangunan, dan lain-lain. Sarana/prasarana produksi tenun terbengkalai. Endek Bali diproduksi dengan ketelatenan penenun ber-ATBM (alat tenun bukan mesin) dan cagcag. Nilai investasi alat tenun berikut sarana pakan tenun ini tentu tak kecil, apalagi bagi usaha mikro-kecil.  

Masyarakat Bali terkhusus lagi para pencinta endek Bali juga cemas. Karena endek Bali terancam punah. Endek asli Bali dan endek-endekan Bali atau palsu, makin sulit dideteksi. Kemilau endek Bali yang terus meredup tentu turut menyumbang ketidakelokan semangat pembangunan, sebagaimana diprogramkan pemerintah di Bali, khususnya sub Jana Kerti. Kebijakan bidang ketenagakerjaan pada sektor industri kerajinan akan terhadang. Pada sisi berbeda, kain endek Bali telah dicatatkan sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI, 22 Desember 2020.

Pencatatan ini seakan menjadi jaminan, bahwa kain endek Bali akan makin eksis, dan luput dari aksi pemalsuan. Pada saat bersamaan, eksistensi endek Bali kian redup. Pencatatan ini pula belum diimbangi sosialisasi secara intens terkait identifikasi antara endek Bali asli dan endek-endekan Bali. Bukan mustahil, kebanyakan masyarakat masih awam tentang mana asli dan palsu, kecuali produksen. Di lain sisi, tidak jarang keawaman tersebut ‘dikelola’ menjadi bagian dari rahasia dagang. Ada, namun amat sedikit pedagang jujur menyatakan, antara endek asli Bali dan bukan produk asli Bali. Rahasia ini makin nyaman karena mutu kain apa pun tak mungkin dites dengan selera lidah, seperti lawar, komoh, atau jukut ares.

Demi untung, tak sedikit pedagang pongah juari menyebut endek luar Bali, terutama yang berkualitas lebih rendah, adalah endek tenunan Bali. Jika praktik ini tak direm, maka masyarakat Bali non pedagang pun makin cemas. Karena tenun kain endek Bali sejak lampau telah menjadi salah satu indentitas kebangsaan (Bali), sekaligus modal budaya dan ekonomi krama Pulau Dewata. Bagi orang Bali, memakai endek asli Bali adalah kebanggaan, selain berkualitas. Jika kualitas endek Bali dan dari luar sama, maka pilihannya pasti ke endek Bali. Tak terkecuali, orang luar Bali atau turis. Mereka membeli kain endek asli Bali, karena oleh-oleh ini, antara lain, terkandung petanda kemewahan dalam perjalanan berwisata ke Bali.  

Pembeli telah membekali diri dengan image, bahwa endek Bali tak sekadar lembaran kain. Namun, tenunan dari serat-serat kemasyuran estetika pelaku tradisi, alam, seni, dan budaya Bali. Dengan keaslian itu, maka siapa pun termasuk pedagang,  tidak akan dapat mengatur dan menentukan cita rasa konsumen. Terlepas dari ukuran isi dompet, konsumen punya cakrawala untuk mandiri dan tegas menentukan selera. Dalam konteks ini, endek Bali, termasuk produk khas made in Bali lainnya, tentu tidak terlalu perlu promosi. Praktis, citra positif Bali dan endek Bali asli akan menjadi dua hal saling topang untuk memajukan Bali itu sendiri. Asalkan, pemajuan produk khas Bali ini, baik kini dan ke depan, tidak karena untuk sarana politik sebuah rezim. Tapi, kapan dan siapa pun pemimpin Bali, endek Bali mesti tetap di hati. *

I Nyoman Wilasa
Wartawan NusaBali

Komentar