nusabali

90 KK Datang Bersama Tahun 1979, Bangun Pura Tri Kahyangan

  • www.nusabali.com-90-kk-datang-bersama-tahun-1979-bangun-pura-tri-kahyangan

Sejak 5 tahun silam, transmigran asal Bali di Desa Muktijaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan bertani dengan peralatan canggih seperti jonder berharga Rp 350 juta

Menengok Krama Bali yang Transmigrasi di Desa Muktijaya, Kabupaten Banyuasin, Sumsel


PALEMBANG, NusaBali
Desa Muktijaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan tak merupoakan salah satu daerah transmigrasi bagi krama Bali. Saat ini, terdapat sekitar 110 kepala keluarga (KK) krama Bali perantauan yang tinggal di Banjar Darma Kerti, Desa Muktijaya. Mereka awalnya berjumlah 90 KK, datang bersamaan tahun 1979, lengkap membangun Pura Tri Kahyangan.

Begitu banyaknya jumlah krama Bali perantauan yang tinggal di Banjar Darma Kerti, Desa Muktijaya, tak heran jika suasana Bali terasa sangat kental. Saat NusaBali berkunjung ke kawasan ini, Sabtu (8/10), penjor Galungan masih tertancap di depan rumah-rumah krama Bali perantauan.

Sanggah atau merajan milik krama Bali di kampung transmigran ini juga menunjukkan suasana Bali, khususnya Tabanan. Maklum, pembangunan sanggah nganutin pamesuan (tempat keluar masuk rumah) dengan konsep ulu teben. Di kampung ini juga ada Pura Tri Kahyangan, yakni Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem-Pura Prajapati.

Khusus krama Balai perantauan yang berasal dari kawasan seberang Nusa Penida, Klungkung, mereka bangun Pura Dalem Ped di Banjar Darma Kerti, Desa Muktijaya. Sedangkan krama perantauan asal Desa Cau Belayu, Kecamatan Marga, Tabanan mendirikan Pura Pucak Geni.

Setahun sekali, krama Bali perantauan yang berjumlah 110 KK---sempat mencapai hampir 130 KK, tapi sebagian telah pulang kembali ke tanah leluhur Bali---ini juga melaksanakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka (sehari setelah Tilem Kasanga), lengkap dengan Catur Brata Penyepian. Tentu saja, mereka membuat sarana ogoh-ogoh, sebagaiomana halnya pelaksanaan Nyepi di Bali.

Menurut Sekretaris Desa (Sekdes) Muktijaya, I Made Mudita, yang membangun Desa Muktijaya adalah krama Bali transmigran angkatan pertama. Mereka pertama kali datang ke kawasan ini untuk transmigrasi, 17 Juli 1979 silam.

Awalnya, kata Made Mudita, krama Bali yang transmigrasi ke Desa Muktijaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin tahun 1979 berjumlah 90 KK. Mereka berasal dari 4 kabupaten di Bali. Rinciannya, dari Kabupaten Badung sebanyak 45 KK, dari Jembrana sebanyak 22 KK, dari Tabanan sebanyak 20 KK, dan dari Klungkung hanya 1 KK.

Mudita mengatakan, seluruh transmigran asal Bali sebanyak 90 KK ini kala itu berangkat bareng dari Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan. “Bisa dikatakan, krama Bali yang merintis buka kampung ini,” ungkap Mudita kepada NusaBali.

Ketika 90 KK krama Bali datang sebagai transmigran, menurut Mudita, jumlah penduduk asli Palembang (Sumatra Selatan) di kawasan Desa Mutijaya hanya mencapai 10 KK. Setelah kedatangan transmigran asal Bali membangun Desa Muktijaya, selanjutnya datang transmigran asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

“Jumlah penduduk Desa Muktijaya saat ini mencapai 701 kepala keluarga. Wilayah desa seluas 16.500 meter persegi, dengan pemukiman seluas 8.900 meter persegi,” cerita transmigran asal Nusa Penida, Klungkung ini.

Menurut Mudita, seluruh penduduk Desa Muktijaya bekerja di sektor pertanian. Masing-masing transmigran yang datang ke kawasan ini awalnya mendapat lahan sawah seluas 2 hektare dan lahan untuk pemukiman 25 hektare per KK.

Krama Bali di daerah transmigrasi Desa Mutijaya awalnya menerapkan sistem pertanian tradisional ala Bali dalam mengelola sawah. Namun, sejak 5 tahun terakhir, mereka sudah beralih ke teknologi, mengingat luasnya lahan yang harus digarap. Sistem bajak sawah dari tenaga sapi bertransformasi ke traktor kecil, traktor besar, hingga jonder (traktor lengkap setir seperti mobil). Harga sebuah jonder mencapai Rp 350 juta.

Atas keuletannya bekerja, sudah banyak krama Bali perantauan di Desa Muktijaya yang memiliki piranti pertanian ini. Demikian pula untuk panen, mulai dari ngedigang (memukulkan padi di kayu), beralih menggunakan mesin combine. Mesin ini bekerja canggih, tinggal dibawa ke tengah sawah, petani mendapatkan gabah dengan mudah tanpa capek bekerja.

Pola tanam petani setempat pun sudah berubah. Awalnya, mereka melestarikan budaya nandur (menanam mundur) sehingga tanaman terlihat rapi. Namun sekarang, maburuh nandur telah ditinggalkan dan beralih dengan sistem menabur bibit menggunakan mesin “Ongkos nabur menggunakan mesin hanya Rp 70.000 per hektare, sementara jika nandur ongkosnya bisa tembus Rp 1,8 juta per hektare,” ungkap I Nyoman Yurjana, transmigran asal Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan.

Krama Bali perantauan lainnya, IB Nyoman Dirga Manuaba, mengatakan perubahan pola menanam padi dari sistem nandur ke sistem tabur ini mulai diterapkan sejak 5 tahun silam. Sedangkan penggunaan jonder baru dilakukan sekitar 2 musim panen. Hasil panen rata-rata 6 ton gabah kering per hektare. * k21

Komentar