nusabali

Hidupi 3 Anak, Cari Nafkah Keliling Jualan Jagung Rebus

Balada Pasutri Tuna Netra I Wayan Pande Suardika-Ni Made Manik Ari

  • www.nusabali.com-hidupi-3-anak-cari-nafkah-keliling-jualan-jagung-rebus

Meski tuna netra, Pande Suardika tiap hari jalan kaki sejauh 1,7 kilometer ke Pasar Umum Sukawati sambil nyuwun bakul dagangan, sementara tangan kanannya pegang tongkat sebagai alat bantu petunjuk arah

GIANYAR, NusaBali

Inilah balada pasangan I Wayan Pande Suardika, 41, dan Ni Made Manik Ari, 43, pasutri tuna netra yang tinggal di Banjar Telabah, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar. Tinggal numpang di rumah kosong milik kerabat bersama 3 anaknya, pasutri Pande Suardika dan Made Manik Ari yang tidak bisa melihat ini cari nafkah dengan jualan jagung rebus keliling.

Sang suami, Pande Suardika, berasal dari Desa Yeh Kori, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Sedangkan istrinya, Made Mani, asli asal Banjar Telabah, Desa Sukawati. Rumah kosong yang mereka tempati saat ini adalah milik paman dari Made Manik Ari.

Pasutri tuna netra Pande Suardika dan Made Manik Ari menikah tahun 2004 silam. Sebelum menikah, mereka dipertemukan di Yayasan Mahatmiya Tabanan, karena sama-sama menderita tuna netra dan punya semangat belajar di yayasan tersebut. Dari pernikahannya itu, pasutri tuna netra ini dikaruniai 3 orang anak.

Si sulung Ni Putu Manika Suardini, 14, kini duduk di Klas VII SMP Widyasuara Sukawati. Sedangkan anak kedua, juga perempuan, Ni Kadek Sesa Pradnya Putri, 9, masih duduk di Kelas II SD. Sementara si bungsu, I Komang Pande Adnyana Putra, satu-satunya anak lelaki, masih berusia 1,5 tahun. Ketiga anaknya ini lahir melalui operasi caesar. Masalahnya, setiapkali hamil, kandungan Made Manik Ari selalu kering.

Made Manik Ari mengisahkan, dia bersama suami dan anaknya numpang tinggal di rumah kosong milik pamannya di Banjar Telabah, Desa Sukawati, sejak 7 tahun lalu. Ketika itu, pamannya yang teruna lingsir (tidak pernah menikah hingga usia senja) tinggal sendirian, dalam kondisi sakit komplikasi. "Supaya ada yang merawat paman setiap saat, kami diminta untuk tinggal di sini," kenang Manik Ari saat ditemui NusaBali di rumah milik pamannya itu, Jumat (18/10).

Meski dalam kondisi serba keterbatasan, pasutri Pande Suardika dan Manik Ari tetap berusaha telaten menjaga dan merawat sang paman. Sampai akhirnya sang paman yang menderita sakit komplikasi meninggal dunia. Oleh keluarganya, Manik Ari diminta untuk tetap tinggal sana.

"Karena rumah ini pernah dikosongkan, banyak barang-barang hilang. Seperti ada yang jemur mako (tembakau kering, Red), sering hilang. Apalagi, setelah paman meninggal, kalau rumah dikosongkan, bisa terkesan angker sehingga tiyang sekeluarga tetap numpang di sini," jelas perempuan berusia 43 tahun ini.

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan biaya sekolah anak, pasutri tuna netra ini berusaha bekerja apa saja. Kesehariannya, Pande Suardika cari nafkah dengan jualan keliling, menjajakan jagung rebus. Sedangkan Manik Ari majejahitan canang untuk dijual.

"Perhatian dari orangtua tiyang dan keluarga di Sukawati sebenarnya sangat luar biasa. Tapi, tiyang sadar, tidak selamanya tiyang bisa mengandalkan orang lain. Keluarga juga akan menua. Kalau tiyang tidak berjuang sendiri, bagaimana menyambung hidup? Maka, kami harus gigih berjuang," cerita Manik Ari.

Menurut Manik Ari, dia dan suaminya memang memiliki kemampuan sebagai jasa pijat tuna netra. Namun, layanan pijat tidak selalu ada setiap hari. Maka itu, pasutri tuna netra ini mengambil pekerjaan tambahan.

"Tiyang majejahitan di rumah sambil ngempu. Bapaknya jualan keliling ke Pasar Umum Sukawati. Barang dagangan yang dijual antara lain nasi bungkus, kacang rebus, jagung rebus, dan aneka umbi-umbian rebus,” katanya.

Nasi bungkus yang dijual keliling dibuat oleh kedua orangtua Manik Ari sendiri, pasangan I Ketut Lenju Artawa dan Ni Made Musini, yang kesehariannya mengelola pabrik tahu di Sukawati. Sedangkan jagung rebus, umbian, dan kacang rebus dimasak sendiri oleh sang suami, Pande Suardika.

"Tiyang memang tidak bisa melihat total. Sedangkan suami masih bisa melihat sedikit-sedikit. Sehingga dia yang lebih banyak mengurus rumah tangga dan masak untuk jualan," ungkap Manik Ari.

Disebutkan, setiap pagi setelah dagangannya jadi, Pande Suardika berjalan kaki dari rumah menuju Pasar Umum Sukawati yang berjarak sekitar 1,7 kilometer. Jarak itu ditempuh dalam waktu 21 menit. Pande Suardika yang buta biasanya berangkat dari rumah, dinihari sekitar pukul 04.00 Wita. Dia biasanya nyuwun bakul dagangan di kepala, sementara tangan kanannya membawa tongkat sebagai alat bantu petunjuk jalan.

Pande Suardika sendiri mengaku sudah hafal lika-liku, tikungan, dan rute per-jalanan menuju Pasar Sukawati. Jika beruntung, terkadang dagangan Pande Suardika dibeli oleh pengguna jalan yang kebetulan melintas. Kalau lagi apes, dagangannya tidak laku sama sekali, meskipun sudah keliling di Pasar Sukawati.

"Saya biasanya pulang paling awal pagi sekitar pukul 09.00 Wita. Tapi, kalau sepi pembelu, saya bisa sampai siang masih jajakan dagangan di pasar," cerita Pande Suardika. Hasil jualan keliling tidak seberapa, hanya kisaran Rp 50.000 sampai Rp 100.000 sehari. Meski demikian, pasutri tuna nentra ini tetap bersyukur masih bisa menyambung hidup.

Pasutri Pande Suardika dan Manik Ari berusaha tegar menjalani hidup bersama tiga anaknya. Namun, mereka pernah dalam posisi hilang semangat, merasa diri tidak berguna hingga pesimistis bisa bertahan. "Kami pernah takut keluar rumah. Beruntung, saya punya kakak yang selalu memotivasi, sehingga saya beranikan diri jauh sama orangtua dan tinggal di Yayasan Mahatmiya Tabanan," ujar Manik Ari mengenang masa remajanya.

Selain itu, Manik Ari juga mengaku termotivasi oleh penyanyi Pop Bali idolanya, Widi Widiana. Bahkan dalam satu kesempatan, Widi Widiana katanya langsung menemui Manik Ari di Banjar Telabah, Desa Sukawati. "Kak Widi Widiana memotivasi saya untuk jangan takut keluar rumah, demi mencari kebaikan. Sampai sekarang saya masih termotivasi olehnya," tutur Manik Ari.

Menurut Manik Ari, perkenalannya dengan Widi Widiana berawal dari hobinya yang suka mendengarkan radio. Dalam setiap kesempatan, Manik Ari rajin nelepon penyiar radio dan ikut menyanyi. Bahkan, Manik Ari sering menyambangi stasiun radio, dengan diantar oleh temannya naik sepeda motor. "Saya menjadi orang yang tidak bisa diam. Hampir semua stasiun radio saya pernah sambangi, saya uber. Saat sekolah di Yayasan Mahatmiya Tabanan, saya juga pilih keterampilan menyanyi," jelas Manik Ari. *nvi

Komentar