nusabali

Desa Adat Busungbiu Gelar Tradisi Maboros Kidang

  • www.nusabali.com-desa-adat-busungbiu-gelar-tradisi-maboros-kidang

Jika tidak berhasil mendapatkan kidang, Pujawali harus diundur.

SINGARAJA, NusaBali

Ribuan krama lanang (warga laki-laki, red) di Desa Adat Busungbiu, Desa/Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Kamis (10/10/2019) pagi menggelar tradisi maboros kidang (berburu kijang, red). Tradisi unik yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu, merupakan rangkaian Upacara Pujawali di Kahyangan Tiga Desa Adat Busungbiu yang jatuh pada Purnama Kapat, Redite Umanis Menail, Minggu (13/10/2019) lusa.

Krama desa yang berjumlah 3.500 KK itu sudah mulai persiapan sejak Rabu (9/10/2019) malam. Biasanya tradisi maboros kidang dilakukan H-3 puncak pujawali. Krama Desa Adat Busungbiu secara turun-temurun melakukan Upacara Pujawali dalam dua perayaan, yakni, dua tahun sekali untuk Pujawali Alit dan tiga tahun sekali Pujawali Ageng. Pada tahun ini Desa Adat Busungbiu sedang menggelar Pujawali Ageng. Tradisi ini pun dilakukan lebih awal karena seluruh krama bersama-sama maboros kidang ke tengah hutan Busungbiu.

Kelian Desa Adat Busungbiu, I Nyoman Dekter, ditemui Kamis (10/10/2019) menjelaskan jika tradisi maboros kidang di Desa Adat Busungbiu berbeda dengan di desa lain. Istimewanya, tradisi maboros kidang di Desa Adat Busungbiu memiliki nilai kesakralan yang tinggi. “Kalau tradisi maboros kidang kami, sebelum maboros, tengah malam sebelumnya kami melakukan upacara ngajit, meminta petunjuk dan restu kepada Ida Sesuhunan kami untuk memohon I Bulu Pangi (sebutan lain untuk kidang, red). Ritual ini dilakukan tepat tengah malam di Pura Desa melibatkan 66 pewaris tegak lingsir,” jelas Kelian Desa Adat I Nyoman Dekter.

Nah saat dilaksanakannya ritual ngajit, satu per satu pewaris tegak lingsir akan dipanggil dan duduk di bale lantang. Ritual ini pun disebutnya sangat penting, karena melalui ritual ini akan terungkap petunjuk dimana krama dapat menemukan kidang di tengah hutan. Petunjuk dari Ida Sesuhunan itu disebut langsung didapat dengan menghadirkan Ida Bhatara melalui raga Jro Tapakan.

Setelah didapatkan restu dan petunjuk, seluruh krama desa adat baik yang tinggal di desa maupun yang merantau ke luar daerah akan pulang dan mengikuti ritual maboros kidang. Maboros kidang ini dilakukan oleh krama lanang. Masing-masing bersiap pukul 06.00 WITA dengan seluruh perlengkapan.

Salah satu yang menarik adalah penggunaan udeng tapis yang berasal dari pelepah pisang. Selain itu mereka juga membawa jaring dan senjata untuk berburu. Krama yang berkumpul di pura desa lalu bergerak ke arah hutan Busung Biu yang mereka sebut kawasan Pangkung Biu, masuk wilayah geografis, Desa Pucak Sari, Kecamatan Busungbiu, Buleleng.

Krama dengan semarak dan membunyikan berbagai macam suara mulai dari gambelan blaganjur, sorak-sorai hingga alarm Toa yang bertujuan untuk menghalau kidang.  Proses maboros ini pun dilakukan sampai ditemukan kidang, maksimal tiga hari hingga hari puncak Pujawali di Kahyangan Tiga.

Menurut Kelian Desa Adat Nyoman Dekter, tradisi maboros ini maksimal dilakukan tiga hari sebelum Pujawali dan harus dapat. Kalau tidak dapat Pujawali yang akan berlangsung di Kahyangan Tiga pun bisa diundur ke pelaksanaan tahun berikutnya. Kidang sebagai sarana utama upacara pujawali menurutnya tidak bisa digantikan dengan hewan lain, karena sudah menjadi tradisi bacakan dalam upacara upakara Desa Adat Busungbiu.

“Kalau tidak dapat sekali, alternatif terakhir beli di penangkaran, tetapi sejauh ini belum pernah tidak dapat,” jelas Kelian Nyoman Dekter yang juga pernah menjabat sebagai Sekcam Busungbiu.

Untuk Pujawali Ageng kali ini seperti biasa, krama desa memerlukan dua ekor kidang sebagai sarana upacara. Jumlah ini pun akan dikurangi pada pelaksanaan Upacara Pujawali Alit yang hanya menggunakan satu ekor kidang. Kidang yang diburu dari hutan itu, akan dipakai sebagai bukakak yang akan dihaturkan di bale panggungan. Sedangkan satu ekor lagi akan dipakai aci-aci yang kemudian dibagikan kepada seluruh krama desa. Penggunaan kidang dalam upacara di desa adat Busungbiu diyakini sebagai simbol merta (kehidupan,red) yang diharapkan memberikan kesejahteraan kepada mereka yang mendapatkannya.

Sementara itu pada tradisi maboros kidang kemarin, krama desa yang berjalan berkilo-kilometer ke tengah hutan berhasil mendapatkan dua ekor kidang dalam waktu setengah hari. Kidang itu pun langsung dibawa ke Pura Desa untuk digarap sebagai sarana upacara yang disambut gembira oleh seluruh krama desa istri (wanita, red) dan pamangku yang sudah menunggu di sekitaran pura Desa. Dua ekor kidang yang berhasil ditangkap, selanjutnya menjalani ritual mapendak sebelum diolah menjadi sarana upakara.*k23

Komentar