nusabali

Bisnis Ritel Belum Pulih

  • www.nusabali.com-bisnis-ritel-belum-pulih

Kalau inflasi 4 % persen, lalu bisnis ritel tumbuh 2 %, itu berarti menurun. Pertumbuhan bisnis positif, jika mampu di atas inflasi. Misalnya inflasi 3 persen, bisnis (ritel) mampu tumbuh hingga 7 persen.

Imbas Erupsi Gunung Agung

DENPASAR, NusaBali 
Pertumbuhan bisnis ritel di Bali  pada 2018 relatif lamban. Salah satu penyebabnya diperkirakan imbas dari erupsi Gunung Agung pada September-Desember 2017, yang secara ekonomis terasa hingga semester pertama 2018. 

Demikian ditegaskan Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Asprindo) Anak Agung Ngurah Arga Putra, di Denpasar, Selasa (22/1). 

Menurut Gung Agra, sapaan pebisnis muda asal Denpasar itui, pertumbuhan ritel Bali (dan Nusra )pada 2018 hanya 0,5 persen, dengan kontribusi 4,5 persen secara nasional. Sedangkan  secara nasional pertumbuhan bisnis ritel 1 persen. Lebih rinci lagi, triwulan pertama pada Januari-Maret pertumbuhan minus -4,3 persen dan -0,2 persen. 

“Jadi pada triwulan pertama di Bali khususnya masih terimbas dampak erupsi Gunung Agung,” kata Gung Agra.

Kondisinya mulai membaik pada triwulan kedua April-Juli, menyusul adanya Hari Raya Idul Fitri. Hal itu yang menyebabkan pertumbuhan ritel di Bali (dan Nusra jadi tumbuh 0,5 persen. Menurut Gung Agra, memang ada pertumbuhan, tetapi tidak terlalu signifikan.

Kalau inflasi tiga persen, lalu bisnis ritel tumbuh dua persen, itu berarti menurun. Pertumbuhan bisnis positif, jika mampu tumbuh di atas inflasi. “ Misalnya inflasi  3 persen,  bisnis (ritel) mampu tumbuh hingga 7 persen,” jelasnya.

Menurut Gung Agra, pelambanan pertumbuhan tersebut terasa sekali di semester pertama 2018 lalu. Pelambanan inilah diduga Gung Agra, dampak berlanjut dari erupsi Gunung Agung pada September hingga Desember 2017. 

“Erupsi dalam kurun waktu tersebut berakhir, namun dampaknya masih terasa, dalam bentuk penurunan omset penjualan,” kata Agra.

Tahun 2019 ini  internal ritel  akan berbenah dan kerja keras meningkatkan pertumbuhan. Namun di pihak lain, pemerintah selaku regulator juga diharap menyediakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan. “Jangan sampai misalnya menyebabkan pelambatan,” ujarnya.

Atau ada kebijakan yang secara subtansi positif, namun dalam penerapan berimbas kurang produktif bagi bisnis ritel. “Misalnya aturan soal yang ramai sekarang (Perwali Denpasar 36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik).
Tujuan pengurangan penggunaan kantong plastik,” kata Gung Agra.

Ia  sangat positif pada penguragan kantung plastik, mengingat dampak negatif sampah plastik bagi lingkungan. Tetapi di sisi lain, juga tak bisa ditampik kebijakan tersebut ternyata juga dirasakan berimbas pada bisnis- bisnis ritel dalam hal ini. “Terjadi penurunan omset,” ungkap Gung Agra. 

Penyebabnya terjadi pengurangan transaksi hingga pembatalan transaksi oleh customer. Dari penelusuran terungkap penurunan dan pembatalan transaksi tersebut salah satunya  karena faktor kantong /wadah belanjaan. 

“Misalnya seperti musim hujan sekarang ini, customer menengah ke bawah mengurungkan niat belanja karena khawatir barang yang mereka beli basah atau rusak, karena kantong alternative dinilai tak aman” papar Gung Agra. 

Itu karena konsumen menengah ke bawah adalah mereka yang belanja dengan jalan kaki atau naik sepeda motor. Jadi wajar khawatir barang kebutuhan yang mereka beli basah, karena tak cukup terlindungi. 

Karena itulah, Gung Agra berharap pemerintah dan stakeholder terkait, bisa berkumpul kembali dan melakukan evaluasi dan jalan terhadap kebijakan tersebut, terutama imbasnya terhadap bisnis ritel. “Kami garis bawahi, bukan tak setuju pembatasan penggunaan kantong plastik sangat mendukung kebijakan tersebut,” ujar Gung Agra. 

Namun di satu sisi pertumbuhan bisnis ritel dan imbasnya pada perekonomian secara umum juga harus dikaji. Bagaimana pun tandas Gung Agra, ritel tentu ada kontribusi pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. *K17

Komentar