nusabali

Berkeliaran Saat Nyepi, Kena Denda Rp 100.000

  • www.nusabali.com-berkeliaran-saat-nyepi-kena-denda-rp-100000

Pihak desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Badung memberlakukan aturan lebih ketat dalam pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka 1938, Rabu (9/3) besok. 

Desa Adat Kuta Pun Dirikan 21 Pos Jaga

MANGUPURA, NusaBali
Bagi yang nekat berkeliaran di jalan saat sipeng (pelaksanaan Catur Brata Penyepian), mereka disanksi denda rp 100.000 per orang. Desa Adat Kuta pun dirikan 21 pos penjagaan.

Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa, menegaskan saat pelaksanaan Nyepi tahun Baru Saka 1938 nanti, warga lokal, pendatang, maupun wisatawan dilarang  melabrak ketentuan yang sudah ada. Ini untuk menjamin khusyuknya pelaksanaan Catur Brata Penyepian selama 24 jam, mulai Rabu pagi pukul 06.00 Wita hingga keesokan harinya, Kamis (10/3) pagi pukul 06.00 Wita---saat Ngembak Gni. Catur Brata Penyepian yang dilaksanakan umat Hindu, termasuk di Desa Adat Kuta, meliputi Amati Karya (tidak melakukan aktivitas kerja), Amati Gni (tidak menyalakan api), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak mencari kesenangan).

Berdasarkan hasil paruman (rapat adat) yang digelar 26 Februari 2016 lalu, pihak Desa Adat Kuta tidak mengeluarkan surat dispensasi apa pun saat pelaksanaan Catur Brata Penyepian. Tidak juga ada dispensasi untuk melakukan persembahyangan keluar areal hotel, misalnya. Pihak manajemen hotel wajib menginformasikan kepada tamu agar mereka tidak keluar hotel. 

Jika sampai ada pelanggaran dari tamu, semisal keluar daerah areal hotel saat Nyepi, menurut Bendesa Wayan Swarsa, maka sanksi adat akan dikenakan buat mereka. Dalam hal ini, Desa Adat Kuta memberlakukan Tri Dande (tiga sanksi denda), masing-masing Jiwa Dande (sanksi sosial), Artha Dande (sanksi berupa uang), dan Sangaskara Dande (sanksi upacara penyucian).

“Jadi, jika ada pelanggaran saat Catur Brata Penyepian, nanti kita pilah-pilah bentuk pelanggarannya. Misal, kalau krama adat bepergian ke luar rumah tidak dalam keadaan sakit, maka kena Jiwa Dande. “Kita akan panggil, biar ada rasa malunya. Itu namanya Jiwa Dande,” jelas Bendesa Wayan Swarsa saat ditemui NusaBali di Kuta, Minggu (6/3).
Kemudian, kalau ada orang asing keliaran di jalan karena tidak tahu, menurut Bendesa Swarsa, maka pihak hotel tempatnya menginap yang akan dipanggil. “Jadi, yang begini kena sanksi Jiwa Dande buat hotelnya, serta dikenakan Artha Dande berupa denda Rp 100.000,” katanya.

Bukan hanya itu. Menurut Bendesa Swarsa, Desa Adat Kuta juga menyiapkan surat tilang bagi manajemen hotel yang tamunya melanggar aturan saat Catur Brata Penyepian. Jika sampai kena tilang, artinya manajemen hotel bersangkutan tidak optimal melakukan sosialisasi Nyepi.

Bagaimana dengan sanksi Sangaskara Dande? Menurut Bendesa Swarsa, sanksi kewajiban menggelar upacara ini diberikan bagi krama yang dengan sengaja masuk ke dalam kompleks pura saat Nyepi. Mereka dikenakan keeajiban menggelar upacara Penyepuhan (bermakna pembersihan sacara niskala). 

“Sanksi ini berupa pembersihan terhadap tempat yang kecuntakan (kotor secara niskala. Dalam hal ini, seluruh biaya upacara dibebankan kepada si krama yang melanggar tersebut,” katanya. “Kalau yang melakukan bukan dari keyakinan yang sama (umat Hindu), maka uangnya kita minta untuk biaya upacara.”

Bendesa Swarsa mengisahkan, saat Nyepi Tahun Baru Saka 1937 setahun lalu, ada dua orang yang dikenakan sanksi berupa uang di desa Adat Kuta. Masalahnya, mereka kedapatan berkeliaran di jalan saat Nyepi. “Kebetulan yang keliaran itu warga pendatang, lalu mereka dikumpulkan ke pos jaga,” kenangnya sembari menyebut saat Nyepi Tahun Baru Saka 1936 (pada 2014), terjadi 5 pelanggaran.

Menurut Bendesa Swarsa, untuk menjamin khusyuknya pelaksanaan Catur Brata Penyepian, maka didirikan 21 pos penjagaan di wewidangan (wilayah) Desa Adat Kuta. Termasuk di antaranya yang ada di Markas Polsek Kuta, Markas Koramil Kuta, dan Kantor Lurah Kuta. Untuk tiga pos ini dijaga dan dikawal aparat masing-masing, seperti Hansip di Kantor Lurah.

Sedangkan 18 pos jaga lainnya dikoordinasikan dan dikawal langsung oleh pecalang desa. “Pecalang desa ini yang memang kita siapkan untuk pengamanan saat pelaksanaan Catur Brata Penyepian,” ungkap Bendesa Wayan Swarsa saat ditemui NusaBali di Kuta, Minggu (6/3).

Dia menyebutkan, komponen desa yang dijadikan ‘pecalang desa’ terdiri dari pecalang Desa Adat Kuta (40 orang), prajuru desa (26 orang). “Termasuk tiyang selaku (Bendesa Adat Kuta) juga ikut jadi pecalang desa,” tandas Swarsa.

Selain itu, lanjut Swarsa, ini masih dilapis prajuru dari komponen banjar adat di Desa Adat Kuta, yang mencapai 13 banjar adat. Tenaga keamanan dari komponen banjar adat, jumlahnya telah ditetapkan. Masing-masing, terdiri dari kelian banjar adat (1 orang), kepala lingkungan (1 orang), prajuru banjar (6 orang), dan Sekaa Teruna (6 orang). 

Berarti, dari totalk 13 banjar adat di Desa Adat Kuta, nantinya ada 182 orang yang bertugas menjaga pelaksanaan Nyepi. Ini belum termasuk dari unsur Desa Adat Kuta yang berjumlah 66 orang (pecalang 40 orang dan prajuru desa 26 orang).

“Untuk pengamanan swakarsa di Desa Adat Kuta, Satgas Pantai Kuta juga kami libatkan. Mereka diatur sedemikian rupa, sehingga ada Satgas pantai Kuta yang bertugas saat Nyepi. Kemudian, para satpam dari Pasar Seni juga dilibatkan dalam pengamanan swakarsa ini,” jelas Swarsa.

Meski sudah ada pos penjagaan dari desa adat, menurut Swarsa, untuk urusan tindak pidana akan diserahkan langsung ke aparat berwajib. Pertimbangannya, pengamanan yang dilakukan prajuru dan pecalang hanya sebatas di tempat pemukiman saja.

Terkait peristiwa langka Gerhana Matahari saat Nyepi di mana umat Muslim biasanya melakukan persembahyangan khusus, menurut Bendesa Swarsa, pihak Desa Adat Kuta telah sepakat menginformasikan agar warga Muslim sembahyang di rumah-rumah. 

“Paruman desa adat tidak membolehkan (keluar rumah, Red). Yang boleh hanya di rumah masing-masing. Kami tegas soal itu, biar sama-sama jalanlah,” tandas Swarsa.

Sementara itu, bagi awak media yang akan meliput di kawasan wisata Kuta, menurut Swarsa, mereka diberi toleransi melakukan tugas jurnalistik selama 1 jam, sejak pagi pukul 09.00 Wita hingga 10.00 Wita. “Tapi, wartawan bersangkutan harus menginep, lalu diantar pecalang, habis itu selesai,” katanya. 7 as

Komentar