nusabali

Satu Teroris Tewas Didor

  • www.nusabali.com-satu-teroris-tewas-didor

Empat anak terduga teroris yang jadi korban aksi biadab orangtua mereka mengalami tekanan psikologi luar biasa, otaknya sudah dicuci

Setelah Terlibat Baku Tembak dengan Densus 88 di Surabaya

SURABAYA, NusaBali
Sehari pasca teror bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Selasa (15/5) sore kembali terjadi aksi baku tembak antara Densus 88/Antiteror Polri vs terduga teroris. Dalam baku tembak di sebuah rumah kawasan Manukan Kulon, Surabaya, Jawa Timur ini, satu terduga teroris tewas didor, sementara istri dan 3 anaknya diamankan petugas.

Terduga teroris yang tewas didor petugas Densis 88 di rumah kontrakannya, Selasa sore pukul 17.15 Wita, disebut-sebut bernama Teguh. Menurut Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Frans Barung Mangera, terduga teroris itu lelaki berusia 39-41 tahun. Sebelum tewas didor, pelaku sempat terlibat baku tembak dengan petugas Densus 88.

Kombes Frans Barung menegaskan, pelaku terpaksa ditembak karena melawan dan lakukan tindakan yang membahayakan petugas. Lagipula, baku tembak terjadi di kawasan pemukiman padat penduduk. Usai baku tembak, Densus 88 mengamankan istri dan 3 orang anak terduga teroris itu. "Anaknya 3 orang dan istrinya satu. Mereka sudah diamankan, mau dibawa ke Dit Reskrimum atau Brimob (Polda Jatim, Red)," terangnya.

Sementara, Tim Gegana mengecek rumah kos terduga teroris yang ditembak mati dalam baku tembak di kawasan Manukan Kulon, Surabaya. Pantauan detikcom, hingga tadi malam pukul 20.30 WIB, penyisiran masih berlangsung di area kos yang berlokasi di Jalan Sikatan Nomor 6A Surabaya ini. Warga sekitar menyebut rumah kos lokasi penyergapan terduga teroris ini dihuni Teguh. Terduga teroris itu disebut warga tinggal bersama istri dan 3 anaknya.

Menurut Kombes Frans Barung, terduga teroris yang tewas dalam baku tembak kemarin sore adalah jaringan JAD dan stau kelompok dengan gerombolan teroris yang sebelumnya melakukan serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13 Mei 2018) dan serangan di Polrestabes Surabaya (14 Mei 2018). JAD adalah pendukung utama ISIS di Indonesia.

"Itu pasti ya, ini petugas di lapangan tak akan ragu lakukan penindakan selain tiga (alasan) itu. Tentu itu kalau memiliki bukti akurat yang dimilikinya dalam rangka jaringan ini. Sehingga tidak ragu untuk melakukan tindakan tegas," ujar Kombes Frans Barung.

Serentetan serangan bom bunuh diri dan penggerebekan sarang teroris di Surabaya sebelunya, yang terjadi selama 26 jam terakhir sejak Minggu (13/5) pagi pukul 06.30 WIB hingga Senin (14/5) pukul 08.50 WIB, menyebabkan 26 orang tewas, termasuk 14 terduga teroris.

Serangan bom bunuh diri hari pertama, Minggu pagi, terjadi di 3 gereja di Sura-baya, Jawa Timur, yakni Gereja Katolik Santa Maria, Gereja Kristen Indonesia Surabaya, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Pelakunya satu keluarga beranggotakan 6 orang yang terdiri dari suami, istri, dan empat anaknya.

Total korban tewas dalam ledakan bom bunuh diri di tiga gereja ini mencapai 18 orang, termasuk 6 pelaku sekeluarga: Dita Oeprianti, Puji Kuswati, 43 (istri dari Dita Oeprianti), YF, 18, dan FA, 16 (anak lelaki dari pasutri Dita Oeprianti dan Puji Kuswati), serta FS, 12, dan FR, 9 (anak perempuan dari dari pasutri Dita Oeprianti dan Puji Kuswati).

Ledakan bom hari kedua terjadi di Polrestabes Surabaya, Jalan Sikatan Surabaya, Senin pagi pukul 08.50 WIB. Pelakunya juga 4 orang sekeluarga yang terdiri dari suami, istri, dan 2 anaknya. Pasutri tersebut adalah Tri Murtiono, 50, dan Tri Ernawati, 43. Mereka tewas semua bersama 2 anak lelakinya.

Selain itu, ada 3 terduga teroris yang tewas dalam penggerebekan di kawasan Rasunawa Wonocolo Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu malam pukul 21.20 WIB. Mereka yang tewas dari satu keluarga. Keesokan harinya, Senin pagi pukul 07.30 WIB, kembali dilakukan penggerebekan sarang teroris di Perum Puri Maharani Sidoarjo. Dalam penggerebekan ini, satu terduga teroris tewas, yakni Budi Satrio, 48.

Sementara itu, 3 anak dari terduga teroris yang tewas dalam penggerebekan di Sidoarjo dan 1 anak pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Subaraya, mengalami tekanan psikologi luar biasa. Mereka perlu pendampingan yang melibatkan pe-merhati anak. “Pendampingan ini dilaksanakan oleh Polda Jatim, mendampingi anak-anak itu dengan psikolog anak dan pemerhati anak," ujar Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Frans Barung, Selasa kemarin.

Tiga (3) dari 4 anak korban pengeboman yang dilakukan orangtuanya adalah merupakan anak dari Anton, teroris yang tewas dalam penggerebekan di Rusun Wonocolo, Sidoarjo. Mereka masing-masing AR, 15 (anak kedua Anton), FP, 11 (anak ketiga Anton), dan GHA, 11 (anak keempat Anton). Mereka adalah anak Anton dalam peristiwa pengeboman di Sidoarjo, Jatim. Sedangkan satu bocah lagi adalah A, 8, anak dari pasutri Tri Murtiono dan Tri Ernawati, pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya.

Menurut Kombes Frans Barung, anak-anak para bomber yang selamat ini merupakan korban yang wajib didampingi agar tidak terdoktrin paham radikal orangtuanya. Nantinya, pendampingan itu tak hanya kepada anak, tapi juga keluarga yang merawatnya.

Sementara, istri Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin, Lita Machfud, sempat men-jenguk A, bocah 8 tahun yang jadi korban aksi biadab kedua orangtuanya, di RS Bhayangkara Surabaya, Selasa kemarin. Istri Kapolda Jatim merasa prihatin, karena bocah ini mulai tercuci otak dan pemikirannya.

"Kita juga takut anak-anak ini, tadi sudah sempat diwawancara dan sepertinya dia juga tercuci pemikirannya, otaknya," ujar Lita seusai menjenguk A kemarin. Lita mengaku ngeri mendengar perkataan bocah A saat diajak berkomunikasi. Pemikiran A sangat keras dan ada paham radikal yang ditancapkan orangtuanya. "Ngerinya itu dalam wawancara, pemikirannya sudah radikal, sudah keras," katanya. *

Komentar