nusabali

Parwa Langka Digarap, Sanggar Seni Madu Raras Tampilkan Versi Anyar Inovatif

  • www.nusabali.com-parwa-langka-digarap-sanggar-seni-madu-raras-tampilkan-versi-anyar-inovatif

Sanggar Seni Madu Raras dari Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Tegallalang, Gianyar mencoba mementaskan drama tari Parwa anyar inovatif dengan iringan Semarandana dalam ajang Bali Mandara Mahalango, di kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, Jumat (18/8) malam.

DENPASAR, NusaBali
Drama tari ini pesankan pemimpin jangan ingat hak saja, melainkan harus juga menunaikan tanggung jawabnya.

Pementasan Sanggar Seni Madu Raras ini mengangkat  cerita tentang keadaan yang terjadi di zaman Kaliyuga. Dunia mulai terasa panas tak ubahnya neraka. Hal itu membuat Raja Yudistira merasa iba kepada rakyatnya yang tertimpa wabah penyakit. Dimasa sulit itu bangkitlah Sangsemara alias Tualen. Tualen merupakan penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Tualen memberi solusi dengan penjajakan ke Siwa Loka. Atas anugerah Sang Hyang Tunggal akhirnya situasi dunia dapat pulih seperti sedia kala. “Jadi seorang pemimpin harus mulat sarira,” pesan Kordinator Sanggar Seni Madu Raras, Pande Made Rahajeng.

Tak heran dalam pementasan tersebut dialog-dialog menggelitik antara sang Suratma dengan atma-atma yang harus menghadap. Mulai dari sang koruptor hingga tukang kapling tanah menjadi dialog segar menggelitik. “Kami dari kalangan seniman, dengan cara seperti ini mengkritik dan mengingatkan para pejabat kita yang mengingkari tanggungjawab dan hanya mengejar haknya,” terangnya.

Kondisi ini, menurut Pande Rahajeng, tidak hanya terjadi di Bali saja, tetapi juga di Indonesia. Tak heran kalau kemudian banyak pejabat yang baru naik atau sedang menjabat terjerat korupsi. “Mereka orang-orang yang baru jadi pemimpin langsung masuk penjara karena korupsi itu kan moral mereka tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat,” tegasnya.

Mengenai dipilihnya karya seni dalam bentuk parwa, menurut Pande Rahajeng merupakan satu bentuk kepedulian sebagai seniman untuk memberikan warna baru dalam dunia pertunjukkan yang ia garap. “Kalau pementasan sanggar kami sering. Tetapi dalam bentuk parwa seperti ini betul-betul jarang,” katanya.

Tentang parwa, Pande Rahajeng mengaku kondisi kesenian itu hidup tetapi sebenarnya mati suri. Karena parwa ini memang langka. “Parwa ini adalah sebuah teater klasik di Bali yang sangat sulit karena memadukan vocal, bahasa Kawi, sesendonan, bebaturan dan gegendingan yang betul-betul khusus dengan dialek pewayangan, sehingga tidak banyak anak muda yang tertarik menekuni ini,” imbuh Pande. Pementasan ini, menurutnya sekaligus membawa misi untuk menggali dan menunjukkan bahwa banyak kesenian klasik di Bali yang berkualitas hanya saja jarang orang menggarapnya. *in

Komentar