nusabali

Lambat Berbalas Pantun, Kena Sanksi Menari atau Matembang Bali

  • www.nusabali.com-lambat-berbalas-pantun-kena-sanksi-menari-atau-matembang-bali

Keberadaan tradisi ritual Masidnihan ini menjadi semacam alat kontrol bagi kalangan teruna-teruni di Desa Pakraman Talepud untuk hindari berbuat yang tidak-tidak, karena bisa jadi bahan sindiran.

Tradisi Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang, Gianyar (3-Habis)

GIANYAR, NusaBali
Krama Desa Pakraman Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar termasuk sangat beruntung mewarisi tradisi ritual Masindihan. Pasalnya, melalui tradisi ritual berupa saling sindir semalaman di jaba tengah Pura Puseh yang dilaksanakan setahun sekali pada Sasih Kapitu (bulan ketujuh sistem penanggalan Bali) ini, kaum teruna (remaja pria) dan teruni (remaja perempuan) bisa sejak dini belajar tentang kasanah seni, budaya, adat, dan agama Hindu. 

Di dalam ritual Masindihan terdapat hasrat berkesenian menabuh gamelan, sastra pantun, menari, bahkan mengembangkan kritik secara positif, kesantunan sosial, dan lainnya. Masindihan adalah ritual saling sindih (sindir) dengan pantun antara kelompok teruna vs teruni di jaba tengah Pura Puseh, Desa Pakraman Talepud. 

Intinya, mereka saling berbalas pantun berupa sasindihan bermaterikan kritik sosial yang sangat jamak, mulai dari soal pergaulan sehari-hari, pekerjaan, kebiasaan unik dan lucu, sekolah, hingga hal-hal lainnya. Materi pantun ini merupakan hasil ‘rekaman’ selama setahun tentang tindakan kaum teruna atau teruni yang nyeleneh. Mereka berbalas pantun dengan disaksikan seluruh pamangku dari Pura Kahyangan Tiga, prajuru adat, dan krama desa.

Menurut salah seorang tokoh masyarakat di Desa Pakraman Talepud, I Nyoman Cendikiawan, dirinya bersama krama setempat sangat bangga menjadi ahli waris dan penerus tradisi para leluhurnya ini. Cendekiawan menyatakan, Masindihan bukan sekadar menjalankan tradisi yang diwariskan para leluhur, tapi ritual ini sarat dengan makna pokok: mendidik masyarakat tentang banyak hal. Masindihan adalah cikal bakal para remaja untuk mendalami etika sosial. 

Jika ada remaja atau krama lainnya yang etikanya sehari-hari selama setahun tidak sesuai kepatuatan dan kepantasan, maka pasti akan menjadi bahan sindihan (sindiran) saat digelar ritual Masindihan ini. Kecuali itu, kata Cendekiawan, dialog berpantun ini juga bermanfaat untuk membenahi kesalahan dan kekeliruan, baik sengaja maupun tanpa sengaja, dari kalangan teruna-teruni. 

“Dengan Masidnihan ini, krama (terutama kalangan teruna-teruni) akan enggan berbuat yang tidak-tidak. Penyindir dalam Masindihan ini memang tidak menyebut nama yang disindir. Tapi, apa materi sindirannnya itu, maka orang per orang yang mengoreksi diri sendiri,” ujar jebolan Magister Pascasarjana Ilmu Budaya dan Agama UNHI Denpasar ini kepada NusaBali, Kamis (7/1).

Cendikiawan yang kini menjabat Ketua BKS-LPD se-Bali, menyatakan Masindihan juga merupakan ritual yang memancing pengembangan ide atau gagasan, hingga menjadi sastra pantun. Selain itu, teruna-teruni peserta ritual Masindihan juga memancing potensi seni yang dimiliki masing-masing. 

Potensi ini akan terungkap saat salah satu kelompok, baik teruna maupun teruni, lambat menjawab pantun kelompok lain, maka akan dikenai sanksi. Bentuk sanksi itu, antara lain, pihak yang gagal membalas pantun sesuai waktu yang ditentukan alias terlambat, maka wajib menari. Bentuk sanksi lainnya, yang bersangkutan harus matembang Bali. 

Namun, pihak yang kena sanksi menari ini tidak merasa disanksi, karena dia toh dapat ngayah menari di pura sekaligus menguji kemampuan seninya di depan masyarakat. ‘’Istilahnya, Masindihan ini salah satu ‘sekolah’ kearifan lokal di Bali yang sesungguhnya,” jelas Cendikiawan.

Berdasarkan pengamatan Cendikiawan, sebelum ada kemajuan teknologi kemunikasi informasi dan transportasi seperti sekarang, ritual Masindihan adalah ajang komunikasi dan curah pandang langsung kaum remaja desa yang sangat ditunggu-tunggu. Dengan melontarkan pelbagai jenis pantun, para teruna-teruni bisa menuangkan unek-uneknya, sehingga mereka menembak hati gadis atau sebaliknya si gadis menembak hati perjaka.
Paparan senada juga disampaikan Bendesa Pakraman Talepud, I Nyoman Suyasa. 

Menurut Suyasa, kritik yang disampaikan dalam ritual Masindihan sangat santun dan beretika. Apalagi, ritual Masindihan ini dilaksanakan di depan Palinggih Ratu Panglurah Agung, Pura Puseh. Posisinya, kelompok teruni dudu di bagian kiri, sementara kelompok teruna di bagian kanan. ”Namanya di pura, siapa pun sangat berhati-hati dalam berkata-kata, hingga tak sampai terkesan berucap kotor,” jelas Suyasa.

Selain itu, lanjut Suyasa, di bagian luar antara kelompok teruna dan kelompok teruni, juga terdapat krama desa lanang-istri duduk berjejer. Bukan hanya itu, para pamangku semua Pura kahyangan Tiga dan prajuri desa juga hadir menyaksikan ritual Masindihan semalam suntuk dari pukul 20.00 Wita hingga subuh pukul 05.00 Wita ini. Kehadiran mereka menjadikan ritual Masindihan berjalan suntuk dan sangat terjaga.

Ritual Masindihan sendiri diakhiri dengan prosesi nunas paica berupa makan bersama di jaba tengah Pura Puseh, Desa Pakraman Talepud. kaum teruna-teruni peserta ritual Masindihan makan bersama-sama dengan prajuru desa, para pamangku, dan krama adat. Makanan yang disantap bersama adalah Nasi Yasa. 7 lsa

Komentar