nusabali

Berbentuk Rumah Panggung, Saksi Bisu Peradaban Islam di Pulau Bali

Melihat Kondisi Rumah Adat Bugis yang Masih Lestari di Kampung Bugis, Serangan, Denpasar

  • www.nusabali.com-berbentuk-rumah-panggung-saksi-bisu-peradaban-islam-di-pulau-bali
  • www.nusabali.com-berbentuk-rumah-panggung-saksi-bisu-peradaban-islam-di-pulau-bali

Rumah adat yang disebut berasal dari bangsawan suku Bugis ini terletak di Jalan Tukad Bulan, satu arah menuju Masjid As-Syuhada, Kampung Bugis, Serangan

DENPASAR, NusaBali
Di masa lalu, warga Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar bentuk rumahnya merupakan rumah panggung yang merupakan cirr khas rumah adat Bugis. Namun kini hanya tersisa satu rumah adat Bugis saja sejak perantau asal Sulawesi Selatan ini terdampar di Bali berabad-abad silam pasca terdesak VOC.

Rumah adat yang disebut berasal dari bangsawan suku Bugis ini terletak di Jalan Tukad Bulan, satu arah menuju Masjid As-Syuhada, Kampung Bugis, Serangan. Rumah Panggung terakhir di Serangan ini sangat kentara di antara bangunan lain yang lebih modern. Dan, menjadi gambaran kilas balik tentang penampakan perkampungan Bugis, Serangan di masa lalu. 

Muhamad Zulkifli,48, Wakil Ketua Takmir Masjid As-Syuhada Serangan menjelaskan seluruh rumah suku Bugis di Serangan di masa lalu berbentuk Rumah Panggung. Rumah adat ini identik dengan elevasi lantai rumah dari tanah selayaknya panggung. 

"Rumah Panggung yang masih tersisa itu memang sudah dipugar. Tetapi, tiang-tiangnya masih asli semua dari kayu besi yang didatangkan dari Kalimantan di masa lalu," tutur Zulkifli ketika ditemui pada Minggu (14/4) lalu di Kampung Bugis, Serangan. Suku Bugis sempat memohon kepada Kerajaan Badung agar diperkenankan pindah dari lahan yang diwakafkan kerajaan, yakni Telagi Gendong Tegal ke Pulau Serangan. Sebab, suku Bugis sendiri memiliki jiwa pelaut dan hidup dekat pesisir. 

Pulau yang rindang dengan pepohonan ini di masa lalu merupakan tempat eksekusi mati para pembangkang Kerajaan Badung sehingga lokasinya dikenal angker. Namun, suku Bugis tidak mempedulikan hal itu dan meminta izin agar diperkenankan membuka lahan di sana. Pasca membuka lahan, mulai dibangun fasilitas dasar seperti tempat tinggal, yakni Rumah Panggung khas Bugis. Lantas, dibangun pula tempat ibadah umat Islam yang arsiteknya sendiri disediakan oleh Kerajaan Badung. Maka tidak heran, tampak akulturasi arsitektur Bugis-Bali pada bangunan masjid. 

Dijelaskan Bachtiar Mansyur,44, Ketua Taman Pendidikan Al-Qur'an Masjid As-Syuhada, sebelum rumah ibadah didirikan, suku Bugis, Serangan beribadah dengan bangunan dari pelepah dan daun kelapa. "Baru kemudian menghadap ke kerajaan untuk memohon agar dapat didirikan rumah ibadah sesuai agama dan keyakinan (Islam) suku Bugis, Serangan. Barulah didirikan masjid dengan empat saka (pilar) yang menyimbolkan empat sahabat Nabi," tutur Bachtiar. 

Foto: Muhamad Zulkifli, Wakil Ketua Takmir Masjid As-Syuhada, Kampung Bugis. -RATNADI

Oleh karena itu, Rumah Panggung terakhir yang masih bertahan hingga kini secara tidak langsung menjadi saksi bisu peradaban Islam di Serangan dan Pulau Dewata. Sebelum rumah ibadah dibangun, rumah adat Bugis dibangun lebih dulu. "Dulu rumah adat itu letaknya di depan Masjid As-Syuhada. Kemudian dipindah dan dipugar karena sebagian komponennya sudah tidak kuat," imbuh Zulkifli. 

Kata Zulkifli yang juga Ketua LPM Kelurahan Serangan ini, rumah adat Bugis identik dengan atap seng dan menyisakan ruang kosong di bawah rumah/panggung. Kata dia, dua ciri khas ini memiliki makna tersendiri. Penggunaan seng alih-alih genteng lantaran ada kepercayaan bahwa sebelum manusia berpulang, mereka tidak boleh 'ditindih' tanah. Yang mana genteng sendiri berbahan tanah sehingga orang Bugis kuno tidak menggentengi rumah mereka. 

Lantas, rumah adat Bugis juga memiliki elevasi layaknya panggung. Lantai rumah adat Bugis tidak langsung berada di atas tanah melainkan menyisakan ruang kosong antara fondasi dan lantai. Kata Zulkifli, hal ini dipengaruhi kebiasaan orang Bugis. 

"Adanya ruang kosong di bawah panggung itu karena ruang itu dimanfaatkan untuk berbagai hal. Misalkan, dijadikan kandang ternak, untuk menjemur ikan tangkapan, dijadikan dapur, dan lain-lain," jelas Zulkifli. Jarak antara fondasi dan panggung ini cukup untuk dimasukki oleh orang dewasa tanpa harus menunduk. Sehingga, aktivitas dapat dilakukan dengan nyaman tanpa gangguan keterbatasan ruang kepala. 

Namun, tidak semua rumah adat Bugis memiliki elevasi yang tinggi seperti yang tersisa di Kampung Bugis, Serangan. Hanya bangsawan saja yang disebut memiliki elevasi panggung yang tinggi sedangkan rakyat biasa elevasi rumahnya lebih rendah. Kini, rumah ini dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat bersantai dan bermain anak-anak Kampung Bugis. Kata Zulkifli, pemilik rumah adat ini sudah tidak menetap di Kampung Bugis, melainkan sudah di Bali daratan karena alasan pekerjaan. 

"Kampung Bugis di Serangan ini memang bukan yang pertama di Bali karena awal berlabuh di Bali itu di Loloan, Jembrana sebelum sampai di Serangan. Tetapi, dari sini, kami memekarkan Kampung Bugis di Tuban, Tanjung Benoa, hingga Angantiga (Petang)," tandas Zulkifli. 7 ol1

Komentar