nusabali

MUTIARA WEDA: Kita Tertipu

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kita-tertipu

ichchha-dvesha-samutthena dvandva-mohena Bharata, sarva-bhutani sammoham sarge yanti parantapa.(Bhagavad-gita, 7.27)

Wahai keturunan Bharat, dualitas keinginan dan kebencian muncul dari ilusi. Wahai penakluk musuh, semua makhluk hidup di alam material tertipu oleh hal-hal ini.

KITA telah terjebak dalam ilusi, sehingga raga dvesa senantiasa muncul. Alam material ini ilusi, tubuh kita sendiri adalah ilusi. Karenanya, kita ini telah terlelap di dalam ilusi. Saking terbenamnya dalam ilusi, kita tidak saja tertipu, tetapi tipuan itu sendiri kehidupan kita. Kita menjadi ilusi itu sendiri. Identitas kita sepenuhnya berada di dalam ilusi. Jika seperti itu, maka tidak ada lagi solusi atau upaya untuk terbebas darinya. Ilusi sudah berada di dalam ultimate-nya. Selamanya kita berada dalam keinginan dan kebencian. Tidak ada jalan ke luar dari itu. Semua jalan telah buntu.

Namun untungnya, kehidupan kita bukan ilusi, Krishna menyatakan, ‘kita hidup dalam ilusi’. Teks di atas menyebut bahwa kita tertipu oleh ilusi, oleh alam material. Kita hanya hidup dalam ilusi, bukan kehidupan kita yang ilusi, sehingga ada celah untuk melakukan perbaikan. Kita hanya tertipu, sehingga, untuk terbebas, kita perlu menemukan kebenaran, kesejatiannya. Sekali menemukan kebenarannya, maka ilusi itu tidak lagi memiliki kekuatan untuk menipu kita. Cuma persoalannya adalah bagaimana kita terbebas, bagaimana kesejatian itu ditemukan kembali. Apakah gampang menemukan kebenarannya? Gampang. Segampang apa? Segampang membalikkan telapak tangan. Jika sedemikian gampangnya, lalu mengapa masih ada keinginan dan kebencian tiada henti? 

Karena kita tidak mau membalikkan telapak tangan. Mengapa tidak mau? Karena kita sedang berada dalam ilusi. Ide untuk membalikkan telapak tangan tidak ada. Mungkin upaya untuk mengatasi problem kehidupan ada, tetapi upaya tersebut masih berada pada ruang material sehingga tetap berputar-putar. Ruang material menurut teks tidak pernah menyelesaikan tipuan itu, karena ruang material itu ilusi. Oleh karena kita mencarinya di dalam ilusi, makanya telapak tangan kita tidak pernah terbalik, dan tetap terjerembab di dalam samsara tanpa tepi. 

Seperti itulah kehidupan kita. Masalah terus datang silih berganti, penderitaan terus datang secara berantai. Meskipun setiap orang ingin agar penderitaannya berakhir, tetapi mereka tidak memperolehnya karena mereka mencarinya di tempat yang salah. 

Kemana dicari? Teks di atas menyatakan ‘kita terjebak di dalam ilusi’. Jadi, kita harus menyadari bahwa kita sedang terjebak. Kita menderita oleh karena kita terjebak di dalamnya. Menyadari ini adalah momentum terpenting, sebab hanya ketika masalahnya telah ditemukan dengan pasti, solusi dengan lebih mudah ditemukan. Seperti misalnya seorang pasien datang ke dokter, dan ditanya sakit. Jika pasien tidak mampu menunjukkan sakitnya apa, maka dokter tidak mampu mendiagnosa dan tidak bisa memutuskan obat apa diberikan. Jika pasien mampu menunjukkan sakitnya di mana, tentu dokter langsung mengarah pada persoalan tersebut, melakukan diagnosa dan mengambil keputusan untuk memberikan obat yang tepat. 

Jadi, persoalannya adalah kita sedang tidak sadar terjebak di dalam ilusi. Kita merasa bahwa alam material ini adalah sesuatu yang nyata sehingga kita larut dalam permainannya. Jebakan itu membuat kita menderita, dan karena kita tidak tahu itu jebakan, kita mencoba mencari solusi di dunia material, yang juga berada di dalam jebakan itu. Jadinya, kita berputar-putar. Kita mendapat masalah baru, kemudian kita selesaikan, masalah lagi datang terus-menerus. Tidak ada akhir dari semua itu. Jebakan ilusi ini membuat kita berada dalam siklus, kita bergerak tetapi tidak ke mana-mana, berada di tempat yang sama. 

Jadi, menyadari bahwa kita berada di dalam ilusi adalah landasan pertama. Setelah itu kita melakukan diagnosa dan kemudian mencari cara untuk mengatasinya. Diagnosa yang benar akan menghasilkan solusi yang benar. Jika metode yang digunakan benar, maka semua problem tersebut teratasi. Kita kemudian mampu ke luar dari ilusi tersebut dan menemukan kebenaran sejatinya. Sesaat kebenaran sejati diraih, ilusi tidak lagi menguasai, tidak lagi memiliki energi untuk menipu kita lagi. 7

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar