nusabali

PDIP Lontarkan Sindiran Pedas

Ingatkan Bahaya Pemimpin yang Sombong

  • www.nusabali.com-pdip-lontarkan-sindiran-pedas

Hasto menepis, jika lakon Wahyu Cakraningrat sengaja disiapkan untuk menggambarkan dinamika politik saat ini

JAKARTA, NusaBali
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto melontarkan sindiran dalam hiruk pikuk politik menjelang Pemilu 2024. Salah satunya adalah perilaku pemimpin sombong yang sangat berbahaya bagi bangsa dan negara.

Hasto menyampaikan hal itu, saat memberikan sambutan pada pagelaran wayang berlakon Wahyu Cakraningrat dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2023) malam. 

Hadir dalam acara tersebut Plt Kepala ANRI Imam Gunarto, pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, dan Ketua DPP PDIP Wiryanti Sukamdani. Dalam lakon itu, Hasto mengatakan ada tiga ksatria yang menjadi tokoh, yaitu Lesmono Mandrokumoro, Sombo, dan Abimanyu. "Seorang Lesmono Mondrokumoro, dia dibesarkan dalam kemanjaan sebagai anak raja yang merasa segala sesuatunya bisa dilakukan karena bapaknya ini approval ratingnya tinggi, kira-kira seperti itu. Lalu Lesmono ini untuk mendapatkan wahyu dia harus bertapa, tetapi bertapanya berbeda," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.

Lesmono seharusnya berpuasa dan bertapa untuk mendapatkan wahyu. Namun, Lesmono nyatanya meminta kepada pamannya untuk mengubah aturan itu sehingga dia bisa makan dan minum enak. "Dia ingin puasa yang enak, maka dia minta tolong pada pamannya untuk mengubah aturan itu. Jangan, dong, puasa tanpa makanan, maka akhirnya Lesmono ini melalui paman yang mengasihinya, termasuk sengkuni, akhirnya dia boleh berpuasa. Karena anak raja, bawa makanan minuman yang enak dan sebagainya," kata Hasto.

Singkat cerita, Lesmono akhirnya menerima wahyu. Namun, karena kesombongan Lesmono, wahyu itu pun loncat. "Jadi cerita wayang, wahyu kepemimpinan itu bisa berpindah, ketika tidak setia pada asal usul wahyu, pada rakyat itu sendiri maka kemudian pindah ke Sombo," imbuh Hasto.

Namun demikian, Sombo tidak memiliki kedewasaan berpikir, mental, dan memimpin. Selain itu, Sombo juga sombong dan pilih kasih sehingga wahyu itu lalu berpindah lagi. Akhirnya, wahyu itu jatuh pada Abimanyu, seorang ksatria yang rendah hati, jujur, penyabar, yang mau menjadikan hukum sebagai pedang keadilan, dan berpihak pada wong cilik.

Abimanyu berasal dari kalangan biasa dengan laku prihatin yang sangat-sangat kuat. Bahkan, Abimanyu memang awalnya tidak mau dicalonkan untuk menerima wahyu. "Namun, akhirnya dia dengan kesabaran revolusionernya itu, akhirnya Abimanyu ini menerima wahyu. Dalam kehidupan saat ini, kita tahu siapa yang dimaksudkan dengan Abimanyu itu. Karena itulah dari wayang kita bisa belajar dari nilai-nilai kepemimpinan," jelas Hasto.

Hasto menepis, jika lakon Wahyu Cakraningrat sengaja disiapkan untuk menggambarkan dinamika politik saat ini. Hasto menegaskan, niatan itu tidak ada. Sebab, lakon wayang tersebut sudah dirancang sejak 2 bulan yang lalu. Sehingga saat itu, ketika para dalang mengusulkan Wahyu Cakraningrat, tidak diniatkan ada relevansinya dengan dinamika politik nasional saat ini.

"Tapi ternyata dengan apa yang terjadi saat ini, ini menjadi suatu refleksi kehidupan tentang makna kekuasaan itu, tentang makna wahyu yang hanya bisa berdiam dalam diri seorang pemimpin apabila pemimpin ini betul-betul menjalankan kepemimpinannya untuk rakyat bangsa dan negara," papar Hasto.

Menurut Hasto, ketika kepemimpinan disalahgunakan untuk kepentingan yang lebih sempit. Apalagi, untuk kepentingan pribadi dan dengan kesombongan, maka wahyu itu bisa berpindah. k22

Komentar