nusabali

‘Suluh Nika Praba’ Kebudayaan Leluhur

  • www.nusabali.com-suluh-nika-praba-kebudayaan-leluhur

Gua peteng tang mada moha kasmala. Maladi yolania mageng maha wisa. Wisata sang wruh rikanang jurangkali Kalinganing sastra suluh nika praba (Kekawin Ramayana Sargah 3).

KOMODIFIKASI berlebihan terhadap nilai dan etika budaya leluhur ditengarai akan menjadikannya seperti ‘gua gelap’ atau ‘ular besar berbisa’. Kehidupan masa silam, yang diwarnai dengan pribadi yang murah senyum, sederhana, ramah, toleran, kreatif dalam budaya, santun, memiliki rasa hormat, akan tergusur oleh pribadi narsis, yaitu terlalu percaya diri dan hobi pamer diri (selfie). Gangguan kepribadian narsistik dicirikan, misalnya merasa dirinya paling penting, sangat membutuhkan perhatian, dan kekaguman berlebihan pada teknologi informasi. Selain itu, gangguan ini juga kerap menyebabkan kurangnya empati terhadap orang lain.

Generasi baby boomers memahami eksistensi diakui dan mendapat pujian atau tepuk tangan khalayak karena prestasi atau capaian diri optimal. Tetapi, generasi narsis suka memamerkan ‘kediriannya’ dengan sering menyebarkan foto diri (selfie) di media sosial agar populer, bukan karena prestasi atau berkinerja optimal. Banyak generasi milenial ditengarai mengalami gangguan kepribadian narsistik, yaitu suatu kondisi kesehatan mental dengan gejala persisten yang berdampak negatif pada kualitas hidup.

Komodifikasi budaya adalah transaksi bisnis nilai, norma, etika, atau moralitas budaya melalui proses industri yang lahir seiring dengan era globalisasi. Industri pariwisata adalah anak kandung globalisasi yang memproduksi sistem budaya untuk diperjualbelikan demi keuntungan secara finansial semata. Perlu dijelaskan bahwa komoditas merupakan barang atau jasa yang memiliki nilai ekonomi. Sedangkan modifikasi adalah perubahan fungsi atau bentuk. Bisa disimpulkan jika komodifikasi adalah perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditas (yang memikiki nilai ekonomi). Komodifikasi dan komoditas menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan. Ketika kita ‘mabuk’ dan ‘sombong’, kita tidak menyadari bahwa nilai, norma, etika, dan moralitas budaya Bali sedang diintip dan diincar untuk dialihfungsikan menjadi komoditas yang menguntungkan segelintir orang.

Dalam sloka di atas dinyatakan bahwa ‘Kalinganing sastra suluh nika praba’, hanya ilmu pengetahuan suci yang patut dipakai sebagai obor penerangan yang benderang. Tetapi dewasa ini ilmu pengetahuan suci sangat tidak jelas eksistensinya. Ironisnya, obor sebagai penerangan tradisional kalah terang dengan lampu LED yang terbuat dari tabung gelas, lapisan fosfor, dua elektroda, dan gas. Apakah yang dimaksud dalam sastra itu ‘nurani suci’ ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hati nurani bisa diartikan, antara lain perasaan hati yang sedalam-dalamnya. Nurani adalah potensi yang mengilhami kebaikan dan mendorong seseorang melakukan kebaikan tersebut. Ia merupakan yang merasakan kepuasan akibat seseorang telah memenuhi panggilan nurani budayanya sendiri.

Hati nurani dibedakan menjadi dua, yaitu: retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif dapat memberikan penilaian tentang adil atau buruknya suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Hati nurani prospektif dapat memberikan penilaian tentang adil atau buruknya seseorang ke masa depan. Krama Bali hendaknya menimbang komodifikasi nilai, norma, etika, dan moral budaya Bali secara retrospektif maupun prospektif. Memang, dampak komodifikasi bisa positif  atau negatif. Dampak negatif komodifikasi ialah hilangnya nilai kekeluargaan di masyarakat. Sedangkan dampak positifnya bisa meningkatkan pendapatan masyarakat bagi segelintir orang. Komodifikasi juga berdampak positif terhadap perubahan. Misalnya, para pelaku seni bisa menciptakan seni tari dan karawitan sebagai produk wisata. Para pelaku seni dan masyarakat merespons perubahan itu dengan cara adaptasi dan rekreasi kesenian tari maupun lainnya. Proses komodifikasi kesenian dimanfaatkan sebagai atraksi wisata budaya. 7

Oleh: Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa

Komentar