nusabali

Made Sanggra, Jembatan Antara Bali Masa Lalu dan Masa Kini

  • www.nusabali.com-made-sanggra-jembatan-antara-bali-masa-lalu-dan-masa-kini

DENPASAR, NusaBali - Sastrawan Bali modern Made Sanggra turut berperan dalam transformasi kebudayaan Bali melalui jalur sastra.

Dia menjadi semacam jembatan antara Bali lama yang mencurahkan perhatian

pada tradisi dan Bali sekarang yang lebih modern dan meng-Indonesia.

Tak hanya itu, Made Sanggra juga sebagai jembatan dengan dunia luar. Itu

tercermin dalam karyanya cerpen ‘Katemu ring Tampaksiring’ yang

berkisah tentang hubungan antara orang Bali dan Belanda.

“Cerita

itu menyangkut peristiwa pasca perjuangan, sedangkan dia sendiri

terlibat dalam perjuangan. Artinya, dia bisa melampaui segala ketegangan

bahkan mungkin segala kebencian yang terkait dengan perjuangan untuk

menjadi universal di dalam sikapnya. Saya rasa ini yang bisa dicatat

sebagai sumbangan beliau,” kata budayawan Jean Couteau saat memberikan

tanggapannya atas sosok Made Sanggra dalam pergelaran ‘Tribute to Made

Sanggra: Ketemu Made Sanggra ring Bali Jani’ serangkaian Festival Seni

Bali Jani di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu

(22/7).

Pergelaran Tribute to Made Sanggra merupakan wujud

apresiasi atas pencapaian dan pengabdian Made Sanggra pada dunia seni

sastra Bali. Persembahan Yayasan Wahana Dharma Sastra Made Sanggra

Sukawati digarap Putu Suarthama, seorang jurnalis dan penulis yang juga

putra Made Sanggra dan Gde Aryantha Soethama, sastrawan yang juga

berasal dari banjar yang sama dengan Made Sanggra di Banjar Gelulung,

Desa Sukawati, Gianyar.

Tribute to Made Sanggra dikemas dengan

musikalisasi puisi, pergelaran drama, video dokumenter, video testimoni

serta gelar wicara (talkshow) bersama sejumlah tokoh, seperti Jean

Couteau, Putu Suasta, Ary Dwijayanti serta putra kedua Made Sanggra yang

juga sastrawan Bali modern, I Made Suarsa.

Ditampilkan juga

bintang tamu penyair Wayan Jengki Sunarta dan pangawi sastra Bali

modern, Carma Citrawati yang membacakan sajak-sajak Made Sanggra.

Penyair

dan pemerhati seni, Hartanto, mengutip kata sastrawan Umbu Landu

Paranggi yang menyebut Made Sanggra sebagai Federico Garcia Lorca dari

Bali.

Lorca merupakan penyair dan dramawan Spanyol yang karya-karyanya menggabungkan unsur tradisionalitas dan tema kontroversial.

“Karya-karya

Pak Sanggra visioner. Dalam puisi-puisi beliau tentang Denpasar,

misalnya. Beliau mengatakan sawah akan jadi rumah, rumah akan jadi

sawah. Itu merupakan kritik terhadap developmentalist,” kata Hartanto.

Aktivis

dan pengamat sosial, Putu Suasta mengaku tak begitu kenal Made Sanggra,

tapi membaca karya-karyanya. Dari karya-karyanya itu Putu Suasta

menyimpulkan Made Sanggra mampu bermetamorfosis karena hidup dalam tiga

zaman yang berbeda, yakni zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan

Jepang, dan zaman kemerdekaan.

“Tak hanya bermetamorfosis, dia

juga bertransformasi, melompat beradaptasi dengan semangat zaman. Dia

punya visi dan karakternya membentuk energi luar biasa,” tandas Putu

Suasta.

Akademisi serta sastrawan Bali modern, Ni Made Ary

Dwijayanti mengaku tak pernah bertemu Made Sanggra tapi dia merasa

berutang sastra terhadap Made Sanggra. Karya-karya Made Sanggra

menerbitkan keinginannya untuk menulis sastra Bali.

“Karya-karya

Pak Made Sanggra ibarat mantra dalam hidup saya. Dalam puisinya tentang

hidupe nemu sengsara. Tapi, Pak Made Sanggra juga meyakinkan saya, di

jalan sastra, saya tidak akan mati kelaparan,” kata Ary.

Putra

Made Sanggra, I Made Suarsa yang kini melanjutkan sang ayah menjadi

pangawi sastra Bali modern mengaku selalu ingat dengan wasiat dan

nasihat ayahnya agar ikut membantu kelangsungan sastra Bali modern.

“Ayah tahu basic saya sastra Indonesia. Ayah berkata, ‘Sa, tulungin jep

sastra Bali anyar, pang ada ajak liu. Sastra Indonesia kan suba ajak

liu. Itu yang membuat saya terjun ke sastra Bali, walaupun saya sering

dikatakan salah pilih jurusan karena memilih sastra Indonesia tapi

berkarya di sastra Bali. Tapi, justru saya mendapat banyak penghargaan

karena menulis sastra Bali,” tutur Suarsa.

Suarsa juga

mengapresiasi karya-karya ayahnya diapresiasi, bahkan menjadi makin

berkembang. ‘Katemu ring Tampaksiring’ yang merupakan cerita pendek

dikembangkan menjadi cerita panjang dalam bentuk drama gong, arja, dan

belakangan geguritan. Alih wahana ini menjadi karya-karya Made Sanggra

melintas batas dan diterima berbagai kalangan.

Memang, cerpen

‘Katemu ring Tampaksiring’ karya Made Sanggra pernah dialihwahanakan

menjadi arja oleh Prof Wayan Dibia. Belakangan, cerpen itu dijadikan

lakon drama gong dalam lomba drama gong remaja Pesta Kesenian Bali

(PKB).

Menurut Dibia, awalnya dia tak tertarik dengan cerpen

‘Katemu ring Tampaksiring’ karena hanya cerpen. Namun, setelah

membacanya, dia menyadari karya itu penting karena merepresentasikan

relasi Bali dalam konteks globalisasi. Lalu muncul idenya untuk

menjadikannya sebagai lakon arja.

“Saya lalu menemui Pak Made

Sanggra, minta izin untuk menjadikan cerpennya sebagai lakon arja.

Ketika saya minta izin memasukkan tokoh antagonis, beliau tak

memasalahkan,” tutur Dibia.

Made Sanggra merupakan sastrawan

kelahiran 1 Mei 1926 di Banjar Gelulung, Desa/Kecamatan Sukawati,

Gianyar dan meninggal 20 Juni 2007 karena sakit tua. Sebagai veteran

pejuang, Made Sanggra dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Gianyar.

Made

Sanggra memulai proses kreatifnya sejak duduk di kelas tertinggi

Vervlog School di Sukawati tahun 1938. Karya pertamanya terkumpul dalam

buku ‘Hikayat Prabu Mayadenawa’ berupa geguritan Sinom. Dia menulis

dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dia beberapa kali meraih juara

dalam lomba menulis. Cerpen ‘Katemu ring Tampaksiring’ menyabet juara I

Sayembara Listibiya Bali, 1972.

Made Sanggra meraih hadiah sastra

Rancage perdana untuk sastra Bali tahun 1998 melalui buku ‘Kidung

Republik’. Penghargaan lainnya, Satya Lencana Perang Kemerdekaan (1,

II), Bintang Gerilya dan Bintang Legiun Veteran RI, Penghargaan Seni

Wija Kusuma dari Pemerintah Kabupaten Gianyar (1986) dan Piagam

Penghargaan Seni dan Medali Emas Dharma Kusuma dari Gubernur Bali 1987. 7

cr78

Komentar