nusabali

Navicula, Endah hingga Barasuara Ditatar IKLIM, Bunyikan Alarm Darurat Lingkungan Lewat 13 Lagu Kompilasi

  • www.nusabali.com-navicula-endah-hingga-barasuara-ditatar-iklim-bunyikan-alarm-darurat-lingkungan-lewat-13-lagu-kompilasi

GIANYAR, NusaBali.com - Sebanyak 13 musisi nasional ngumpul di Ubud selama empat hari dari Senin (12/6/2023). Belasan musisi ini ditatar dalam lokakarya bertajuk 'Sound the Alarm' yang mengupas habis kedaruratan global soal krisis iklim.

Belasan musisi ini membentuk forum bernama 'The Indonesia Knowledge, Climate, Arts & Music' (IKLIM). Beberapa nama besar yang bergabung adalah Navicula, Endah Widyastuti 'Endah N Rhesa', dan Iga Massardi 'Barasuara'.

Tergabung pula beberapa musisi lain yang secara sepak terjang memang memiliki visi yang sama terhadap isu kedaruratan lingkungan. Beberapa di antaranya adalah Tony Q, Tuan Tigabelas, Iksan Skuter, FSTVLST, Guritan Kabudul, Rhythm Rebels, Kai Mata, dan Made Mawut.

Gerakan musisi menyuarakan kedaruratan lingkungan ini dipioniri oleh pentolan Navicula yakni Gede Robi. Di mana, Navicula sendiri sejak berdiri 1996 sudah konsisten menyuarakan isu lingkungan dan sosial. Untuk itu, vokalitasnya terhadap isu ini tidak ujug-ujug.

Robi melihat tahun ini sebagai periode di mana musisi harus bersatu dan aktif mengampanyekan isu lingkungan demi 'menyelamatkan diri sendiri'. Karena tidak akan ada musik di tengah lingkungan yang rusak, 'No Music on a Dead Planet'.

Kata Robi, ini sudah mulai terbukti dengan banyaknya konser dibatalkan akibat cuaca ekstrem yang tidak terprediksi. Begitu pula dengan pergantian musim di Pulau Dewata yang sudah tidak bisa dihitung secara pasti.

"Kami sudah merencanakan kegiatan ini selama bertahun-tahun. Kami ingin mengampanyekan kedaruratan lingkungan ini melalui musik dan diharapkan bisa berimbas ke penggemar kami sehingga bisa mempercepat perubahan," kata Robi di sela penutupan lokakarya IKLIM, Kamis (15/6/2023) malam di The Mansion Ubud.

Tegas vokalis Navicula, pihaknya tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah. Malahan, IKLIM disebut menawarkan diri soal apa yang bisa dibantu musisi untuk mencapai target-target pemerintah di bidang lingkungan. Misalnya Net Zero Emission (NZE) RI di tahun 2060 dan NZE Bali di tahun 2045.

"Saya lihat teman-teman musisi sebenarnya sudah melakukan perjuangan ini. Tetapi masih terpencar-pencar sendiri. Saya percaya dampaknya akan lebih besar kalau kolektif," ujar Robi.

Lanjut Robi, pengaruh para musisi bisa dimanfaatkan untuk menghimpun dukungan publik. Sebab, opini publik yang terbentuk bakal mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu cara membentuk opini publik adalah lewat 'provokasi' yang disampaikan pada karya musik.

Foto: Robi 'Navicula' saat berdiskusi dengan pers di penutupan 'Sound the Alarm'. -WAYAN

Sementara itu, Tim Pendukung IKLIM Gina Lonclek menegaskan, para musisi yang sudah ditatar empat hari bakal menjadi alarm publik sebagaimana pesan pada tajuk lokakarya. Jelas Gina, 'Sound the Alarm' menjadi penegasan bahwa isu lingkungan ini sudah sebegitu daruratnya sampai alarm harus dibunyikan.

"Kami hadir untuk membangun narasi positif karena khususnya anak muda sekarang sudah tidak bisa didekati dengan narasi negatif seperti menakut-nakuti. Maka kami pakai seni yakni musik," beber Gina kepada NusaBali.com pada Kamis malam.

Selama empat hari ditatar, belasan musisi yang tergabung dalam IKLIM dibukakan pintu untuk mengenal krisis iklim secara mendalam. Pada hari pertama, seluk beluk krisis iklim mulai dari penyebab, dampak, dan solusi yang bisa diusahakan menghadapi krisis iklim telah dipaparkan.

Pada hari kedua dan ketiga, lebih banyak dibahas isu-isu krisis iklim terkini yang terjadi di Indonesia termasuk soal ketergantungan dengan batu bara. Di dalamnya juga dibahas strategi yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada termasuk seni musik sebagai media kampanye iklim.

Pembicara dari topik dalam lokakarya ini pun diisi oleh ahli di bidangnya. Beberapa pembicara di antaranya aktivis lingkungan Melissa Kowara, Enggar Paramita, Arief Aziz, Michelle Winowatan, dan penggawa Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.

Ada pula praktisi hukum Tiza Mafira, praktisi ekonomi dan kebijakan lingkungan Andhyta Firselly Utami (Afu), musisi Farid Stevy, musisi pengembara lewat konser keliling dunia di atas kapal Nova Ruth, dan sineas Handoko Hendroyono.

"Di lokakarya ini, para musisi dimatangkan pemahamannya dan pembahasan isunya. Kelanjutannya nanti, para musisi bakal membuat karya musik berkaitan dengan isu lingkungan dan krisis iklim. Karya-karya yang diciptakan bakal dikompilasi ke dalam bentuk album," imbuh Gina.

Tidak berhenti di sana, bentuk dari album juga bakal diperhitungkan secara hati-hati. Sebab, industri musik juga berkontribusi terhadap emisi karbon karena volume penggunaan energi seperti listrik. Energi ini biasanya terpakai pada acara festival, konser, maupun musik digital di platform streaming.

Untuk itu, dipertimbangkan pula bentuk kompilasi akan berupa album fisik. Lantaran, musik digital yang di-streaming berjam-jam menghasilkan emisi karbon tinggi. Emisi karbon itu dihasilkan dari salah satunya penggunaan energi pada pendingin server dari platform streaming musik.

"Album yang masih kami rahasiakan tajuknya ini akan diluncurkan pada bulan Agustus ini, jadi kurang dari tiga bulan. Termasuk nanti ada karya dari Fiersa Besari namun memang Fiersa tidak hadir di lokakarya ini karena terhalang isu pribadi," tandas Gina. *rat

Komentar