nusabali

Moderasi Berbudaya Dalam Pariwisata

  • www.nusabali.com-moderasi-berbudaya-dalam-pariwisata

SECARA sadar, pariwisata budaya Bali mengalokalisasi kearifan lokal sebagai daya tarik. Kearifan lokal adalah berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka termasuk pariwisata.

Salah satu kearifan lokal, yaitu tradisi yang kaya dengan berbagai nilai, seperti nilai religi, estetika, gotong royong, moral, dan/atau toleransi. Untuk meraih kuota kunjungan wisata dan meraup pendapatan (revenue), maka kearifan lokal diposisikan sebagai ‘panglima’. Sebagai panglima, kearifan lokal diberi marwah untuk menggerakkan pariwisata. Sebagai panglima, ia bernapaskan ‘budaya kuat’ yang memengaruhi perilaku pariwisata, khususnya untuk meningkatkan pendapatan devisa negara dan masyarakat. Di samping itu, tujuan lain adalah untuk memperluas kesempatan dan lapangan kerja, serta mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang secara ekonomi (economic rate of return). 

Dalam bahasa ekonomi kapitalis, tujuan dan manfaat pariwisata adalah untuk membebaskan masyarakat mengatur ekonominya masing-masing sesuai yang diinginkan. Walaupun memiliki dampak positif, sistem ekonomi kapitalis memiliki sejumlah dampak negatif, misalnya timbul kesenjangan sosial dan sikap individualis. Kesenjangan sosial bisa terjadi karena hanya masyarakat yang memiliki modal dan mampu mengembangkan kegiatan usaha yang akan hidup makmur. Budaya kuat sistem ekonomi kapitalis perlu dimoderasi oleh budaya lemah sistem ekonomi sosialis. Budaya lemah sistem ekonomi sosialis lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya peningkatan jumlah wisatawan dan pendapatan (economic rate of return). Jadi, tujuan dan manfaat pariwisata budaya Bali perlu diseimbangkan antara budaya kuat dan budaya lemah, agar kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan (socio-cultural rate of return) terwujud.

Menjadikan kearifan lokal sebagai panglima amat berisiko, yaitu pencemaran atau bahkan hilangnya nilai-nilai adiluhung. Hilangnya kearifan lokal membuat daya tarik dan daya tawar tidak ada, sehingga penampilan menjadi buruk (loss of appearance). Analoginya, kehilangan gigi sebagian akan memengaruhi banyak hal dalam diri seseorang, baik estetis maupun fungsi pengunyahan, bicara, dan hubungan sosial.  Sebelum kedua hal tersebut semakin parah, maka perlu dipikirkan kearifan lokal untuk memitigasi bencana alam, sosial, dan moral.

Apa yang harus dilakukan ketika pengetahuan dan pemahaman generasi penerus tentang kearifan lokalnya tidak mumpuni? Sederhananya, mungkin generasi milenia Bali tidak mengetahui konsep makna, seperti ‘anggah ungguh’, ‘buah katulampa’, ‘medaun di natah’, dan sebagainya, tahu saja tidak apalagi paham. 
Jenis-jenis pariwisata populer, seperti wisata religi, wisata bahari, wisata budaya, wisata alam, wisata belanja, wisata sejarah, dan wisata kuliner. 

Bagaimana dengan wisata edukasi (educational tourism, edutourism) ? Wisata edukasi adalah suatu program dimana wisatawan berkunjung ke suatu lokasi wisata dengan tujuan utama untuk memperoleh pengalaman pembelajaran secara langsung di objek wisata tersebut (Rodger, 1998 dalam Sifa, 2011).

Akhir-akhir ini, perilaku nyeleneh para wisatawan semakin memprihatinkan. Penyebabnya amat beragam dan salah satunya adalah ketidak-tahuan dan ketidak-pahaman pelaku terhadap konsep makna nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. 

Dalam Canakya Niti Sastra, XIII. 12 disebutkan bahwa, ‘Pikiran yang amat terikat terhadap objek kepuasan menyebabkan ikatan dan pikiran yang menyebabkan pembebasan’. Wisatawan yang terikat oleh objek kepuasan terhadap kearifan lokal yang mendorong mereka berbuat tidak sesuai dengan konsep makna suatu nilai. 

Agar tidak terulang, maka perlu disegerakan mitigasinya, seperti menerbitkan peta kawasan kesucian, memasang rambu-rambu peringatan dan larangan, mengembangkan sumber daya manusia yang mengetahui dan memahami tentang makna konsep kearifan lokal, dan/atau mengadakan briefing singkat sebelum kunjungan. Dari beberapa tindakan mitigasi, yang paling penting memberdayakan generasi pemilik aset kearifan lokal, baik aspek pengetahuan, pemahaman, penghayatan, maupun pengamalannya. Semoga. 7 

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa

Komentar